Penjelasan atas pemahaman utuh dari Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( P-4) ini, yaitu Ekaprasetia Pancakarsa, dan butir butirnya ini adalah hasil ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia(MPR-RI), dengan nomorĀ II/MPR/1978, pada masa Pemerintahan Rezim Orde Baru (Orba) berkuasa, yang di tanda tangani, Adam Malik sebagai ketua dan diperkuat oleh 5 Wakil Ketua diantaranya adalah, Mashuri.SH.
Dari Sejumlah Naskah, terkait pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila yang sudah terpublikasikan dari berbagai sumber, serta seiring berlalunya waktu, maka semestinya bangsa ini sudah memperoleh pedoman hidup dalam keadaan berkeadilan sosial, sejahtera serta rukun dan damai. Namun mungkin karena pemahaman Pancasilanya yang diduga gagap atau gugup, juga bisa jadi gagal faham. Sehingga maknaĀ fungsi dan tujuan ber Pancasila, makin terasa hanya sebagai semboyan dan atau hiasan dinding, yang berguna untuk kepentingan sesaat di butuhkan saja, seperti kalimat “kepetik, tapi ora kewilang” (ada, namun tiada).
Padahal dari berbagai literatur tentang Pancasila telah sangat terasa familiar dan gamblang dalam menuntun cara bagaimana untuk sebagai pedoman hidup berprilaku sebagai bangsa dan bernegara. Bahkan rasanya tuntunan tersebut sudah ada sebelum Republik Indonesia Merdeka pada 77 tahun lalu. Namun sesulit apa sih, berprilaku Pancasila secara bulat dan utuh itu?. Sehingga sampai hari ini, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara terasa semakin “jauh” dari Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan berKeadilan sosial.
Yang tampak justru wujud Keberhalaan, Kerobotan, Keterbelahan, Arogan/main hukum sendiri serta Otoriter, Ketamakan, korup yang berujung sifat Pragmatisme. Wujud itulah yang menjadi keprihatinan serta kekuatiran kehidupan masa depan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pancasila seperti tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, merupakan kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima silanya. Hal itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa ini, bahwa kebahagian hidup akan berhasil bila di dasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, sebagai pribadi yang bermasyarakat, beralam, berglobal, beketuhanan, dalam menggapai kesejahtraan hidup lahir dan batin.
Dengan keyakinan dan kebenaran Pancasila, maka manusia di tempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya, sebagai mahluk ciptaan tuhan yang maha esa, sebagai pribadi sekaligus mahluk sosial. Dan ternyata hasil penghayatan dan pengamalan Pancasila itu, bisa bulat dan utuh di tentukan kembali oleh kemauan dan kemampuan seseorang dalam memahami, mengendalikan diri dan kepentingannya. Hal itu agar dapat melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara dan masyarakat.
Dalam menghayati dan mengamalkan Pancasila secara bulat dan utuh, dengan menggunakan pedoman sebagai berikut.
1 – Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan sila ketuhanan yang maha esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap tuhan yang maha esa, dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap tuhan yang maha esa. Sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Di dalam kehidupan di kembangkan sikap saling hormat menghormati. Bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda beda. Sehingga tercipta kerukunan hidup sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa. Sadar, bahwa agama dan kepercayaan adalah kebutuhan rohani pribadi dengan tuhan yang maha esa yang di percaya dan yang di imaninya. Maka menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai ajaran agama dan kepercayaannya. Serta tidak memaksakan agama dan kepercayaannya kepada orang lain.
2 – Sila Kemanusian Yang Adil Dan Beradab. Dengan sila ini, manusia di akui dan di perlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, sebagai mahluk tuhan, yang sama derajat kemuliaannya, hak dan kewajiban asasinya. Serta tanpa membeda bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan hak hak asasi kemanusian.
Karena itu, di kembangkanlah sikap hidup saling mencintai, tenggang rasa (tepa selira), serta tidak berprilaku sewenang-wenang terhadap sesama manusia. Sebab Sila ini, sangat menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan, gemar berkegiatan sosial kemanusiaan, dan berani membela kebenaran secara adil dan sadar bahwa manusia adalah sederajat. Maka sebagai bangsa Indonesia yang berpancasila, merasa sama hak asasinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
3 – Sila Persatuan Indonesia. Tafsir dari Sila ini, bahwa sebagai bangsa, menempatkan Persatuan, Kesatuan serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau golongan. Menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadinya.
Artinya bahwa manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya bila di perlukan. karena sikap tersebut ada di landasi oleh rasa cinta kepada tanah air dan bangsanya. Maka dikembangkanlah rasa kebanggaan berkebangsaan dan tanah air Indonesia. Senantiasa memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian abadi dan Keadilan sosial. Persatuan di kembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan mamajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa.
4 – Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan, Perwakilan. Dengan sila ini, manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, dalam menggunakan hak haknya, dan menyadari perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.
Karena itu, maka pada dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang di paksakan kepada pihak lain, sebelum di ambil keputusan terkait kepentingan bersama, terlebih dahulu diadakan musyawarah. Keputusan di usahakan secara mufakat. Musyawarah untuk mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah. Karena itu semua pihak yang bersangkutan harus menerimanya dan melaksanakannya, dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab.
Di sini kepentingan bersamalah yang di utamakan, diatas kepentingan pribadi dan golongan. Pembicaraan dalam musyawarah di lakukan dengan “Akal Sehat” dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Setiap Keputusan yang diambil harus dapat di pertanggung jawabkan secara moral kepada tuhan yang maha esa. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai nilai kebenaran dan keadilan. Mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan di berikan kepada wakil wakil yang di percayai.
5 – Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dengan Sila ini, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama, untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini di kembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana ke keluargaan dan ke gotong royongan.
Untuk itu harus di kembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta menghormati hak hak orang lain. Demikian pula perlu di biasakan sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan, agar dapat berdiri sendiri. Dengan sikap yang demikian senantiasa tidak akan menggunakan hak miliknya untuk usaha dan upaya yang bersifat pemerasan dan penindasan terhadap orang lain, juga tidak untuk hal hal yang bersifat pemborosan dan hidup ber”GAYA MEWAH” (Hedonisme), serta perbuatan atau prilaku lainnya yang bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
Demikian juga harus di dorong sikap suka dan semangat bekerja, serta sikap menghargai hasil karya (hak intlektual) orang lain, yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesehjateraan bersama. Kesemuanya itu di laksanakan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Demikian dengan di tetapkan P-4 Pancasila ini, bertolak dari tekad yang tunggal, janji yang luhur kepada diri sendiri, bahwa sadar akan kodratnya sebagai mahluk pribadi dan sekaligus mahluk sosial, manusia harus mampu mengendalikan diri dari kepentingannya agar dapat melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat. Kesadaran akan kodratnya dan kemampuan mengendalikan diri dan kepentingan pribadi, golongannya, itu merupakan modal serta untuk mendorong tumbuhnya karsa pribadi guna menghayati dan mengamalkan kelima sila dari Pancasila, yang karenanya dinamakan Pancakarsa.
Terlepas dari mitos atau fakta, historis kesakralan dan kesaktian Pancasila, selaluĀ berlaku terhadap setiap warga bangsa ini yang mengingkarinya. Bahkan tragisnya konon yang sebagai konseptornya pun, turut jadi tumbalnya. Juga para rezim yang gemar sekedar mengaku ngaku mengidiologikannya melalui P-4, atau dengan retorika lain, pasti tak luput menjadi tumbalnya.
Seperti di ketahui bersama, bahwa sejumlah warga bangsa ini telah menjadi korban kesakralan Pancasila dengan berbagai peristiwa “Berdarah”. Seperti peristiwa pada tahun 1948, 1965, 1998, misalnya. Dari tentetan peristiwa demi peristiwa tersebut, seharusnya cukup menjadi hikmah untuk para penguasa dan warga bangsa ini, agar selanjutnya mampu menerapkan makna kesaktian Pancasila secara murni, utuh dan konsisten. Jika tidak maka kisah “Kelam” akan selalu berulang, bahkan keberadaan NKRI pun bisa di “tawar” dan menjadi tidak harga mati lagi. Karena penghianatan yang berwujud Exploitasi Sumber Daya Alam (SDA), Hutang yang berjangka panjang, dan korupsi yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM), adalah bertentangan dengan hakikat Pancasila. padahal ancaman terbukti sudah bahwa Pancasila selalu tidak segan segan menelan takdir jiwa warga bangsanya yang telah menghianati dan “menantang” kesaktiannya. Wassallam. ***