Kedisiplinan dan kejujuran Jenderal Hoegeng Iman Santoso tak tergoyahkan.
Sosok yang menyukai seni lukis dan tarik suara ini menjabat Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) pada tahun 1968-1971.
Kedisiplinan dan kejujuran Hoegeng melegenda karena tak pandang bulu.
Ia pernah menolak memberi surat izin kepada putranya yang hendak mendaftar di Angkatan Udara.
Aditya Soetanto Hoegeng atau Didit (70), putra Hoegeng bercerita, pada tahun 1968, dirinya yang baru lulus SMA hendak mendaftar menjadi anggota Angkatan Udara.
“Jadi saya mendaftar semua sendiri, tes apapun semua saya lakukan sendiri tanpa memberitahu beliau,” kata Didit.
Usai menjalani serangkaian tes masuk Angkatan Udara, ada tahap pengecekan data CV.
“Itu ditemukan bahwa saya anak laki satu-satunya. Pada saat itu, anak laki pertama, atau anak laki satu-satunya dalam keluarga, harus membawa izin tertulis dari orangtua,” kata Didit bercerita.
Tidak ada jalan lain buat Didit saat itu. Ia pun bergegas menghadap Jenderal Hoegeng yang kala itu menjabat Kapolri atau ayah kandungnya.
Didit bertemu dengan ayahnya, Jenderal Hoegeng di Mabes Polri pada pukul 15.30 WIB.
Di sana Didit menemukan sosok Hoegeng yang bukan ayahnya.
“Seperti biasa saya bilang hai Pap. Beliau dengan tanpa ekspresi, tanpa hai Dit ada apa. Beliau cuma lihat dan nanya ada perlu apa. Saya juga agak shock waktu itu, tapi langsung saya sampaikan bahwa saya perlu izin orangtua,” ujar Didit.
“Dia cuma tanya untuk apa, kemudian saya sampaikan niat saya. Tanpa omong panjang, beliau bilang nanti saja, beliau terus bekerja,” sambung Didit.
Didit yang kecewa dengan sikap ayahnya di Mabes Polri lantas pulang ke rumah. Namun, begitu Hoegeng tiba di rumah, lanjut Didit, Kapolri itu kembali menjadi sosok ayah yang dikenalnya.
“Begitu beliau sampai rumah langsung nanya, ‘Dit sudah makan kamu? Rokok masih ada?’ Tanpa menyebutkan pertemuan kita tadi di kantor. Di situ saya lihat bahwa beliau memisahkan antara urusan kantor dengan urusan rumah,” kata Didit bercerita.
Didit yang meminta surat izin menjadi Angkatan Udara pun tak pernah lagi dibahas keduanya. Hoegeng pun bersikap normal di rumah.
Pada hari kelima setelah Didit meminta surat izin, ajudan Hoegeng mengundang Didit ke Mabes Polri.
Alasannya Hoegeng ingin membicarakan tentang surat izin mendaftar Angkatan Udara.
“Saya cuma berdiri, beliau minta saya duduk, dan beliau cuma menyampaikan, ‘Sudah mantap kamu mau masuk Akabri?’ Kemudian saya katakan sudah,” ujar Didit bercerita.
“Satu hal saya minta, tidak masuk polisi,” Didit menirukan ucapan Hoegeng.
Usai perbincangan tersebut, Hoegeng meminta Didit segera ke tempat pendaftaran.
“Saya bilang saya perlu izin orangtua, dia minta saya tetap ke sana. Saya pikir dia Kapolri, mungkin radiografi sudah sampai ke sana. Tapi ternyata begitu saya sampai ke tempat pendaftaran, di situ sudah dua hari yang lalu sudah tutup,” kata Didit bercerita.
Mendapati pendaftaran Angkatan Udara sudah tutup, Didit pun langsung kesal dengan ayahnya. Didit segera pulang ke rumah.
Begitu tiba di rumah, Didit yang tak berani protes kepada Hoegeng menggunduli kuas-kuas lukis kesayangan Hoegeng.
Menurut Didit, menggunduli kuas lukis Hoegeng merupakan dosa terbesar yang pernah dilakukannya.
“Beliau melukis, dan ini yang saya juga merasa berdosa besar sama beliau. Alat-alat (melukis) kesayangan beliau, kuas, itu saya gunduli. Saya tidak berani protes sama beliau ya saya protes sama kuasnya,” jelas Didit bercerita.
Tak lama setelah kejadian itu, Jenderal Hoegeng tiba di rumah. Dan mendapati putranya, Didit dalam keadaan marah.
Hoegeng, kata Didit, mengerti bahwa Didit marah karena tak diberi surat izin mendaftar Angkatan Udara.
Hoegeng pun lekas menghampiri Didit yang mengurung diri di kamar, dan menceritakan alasannya tidak memberikan surat izin.
Hoegeng kala itu memberikan penjelasan dengan kondisi sedikit emosi. Terbukti dari Hoegeng yang menggebrak meja.
“Kamu mesti ingat, bahwa saya saat ini sedang menjabat. Surat apapun yang saya keluarkan, entah itu izin orangtua, saya tidak perduli, tapi mungkin dengan surat seperti itu, kamu akan dapat kemudahan di akademi militer. Tidak ada kata, titik,” kata Didit menirukan ucapan Hoegeng.
Didit yang saat itu berapi-api ingin menjadi seorang angkatan udara pun menguburkan niatnya dalam-dalam.
Ia memahami ucapan sang ayah, yang tak ingin jabatan Kapolri memudahkan langkahnya menjadi anggota angkatan udara.
“Jadi itulah, dari satu sikap yang begitu disiplin, yang tidak bisa kita goyahkan. Karena beliau tidak mengenal warna abu-abu, yang beliau kenal hanya hitam dan putih.”
“Integritas itu yang dipegang. Jadi saya katakan saya mengerti, tidak ada komentar apa-apa, selesai sudah dan beliau kembali lagi seperti biasa,” kata Didit bercerita. (Red/Dem)