Kesimpulan dari cerita rakyat ini, adalah satu kisah yang konon berasal dari daerah suku Karo atau yang biasa disebut orang (kalak) Karo, Sumatera Utara. Kisahnya bisa merakyat dari generasi, hingga ke penulis, karena dongengan tersebut, hingga sekarang menjadi layak untuk dijadikan hikmah, bahkan sindiran (kuan-kuan) bagi siapa saja yang berprilaku serupa.
Diketahui bahwa para orang tua kepada anak anaknya saat memberi dongengan tersebut, sering diungkapkan kepada anak-anaknya, biasa pada waktu istirahat berkebun, setelah makan siang di gubug (sapo) ladang mereka, sembari memperbincangkan hal-hal hasil tentang tanaman ladang mereka.
Kisah ini diimulai dari rasa keprikebinatangan seoarang petani, yang lokasi kebun atau ladangnya berbatasan langsung dengan hutan. Pada cerita, didongengkan, satu waktu ladang petani tersebut didatangi seekor kuda. Kuda yang habitat sesungguhnya di hutan itu. Digambarkan fisik dan rupanya, mirip dengan kuda yang biasa dijuluki keledai.
Rasa ke prikebinatangan petani tersebut, timbul dari penampilan si kuda yang dirasa petani sangat berbeda pada kuda umumnya. Kuda yang memasuki ladangnya ini, terlihat sangat indah dan gagah. Sehingga tidak ada sedikit pun kehendak petani untuk menghalau kuda tersebut keluar dari ladangnya. Seperti umumnya, di atara tamu yang sering datang tak diundang adalah gerombolan kera (monyet, dan atau bengkala), terkadang harimau atau gajah.
Bahkan ada niatan baik si petani untuk menangkap kuda liar itu, yang akan menjadi kuda peliharaannya. Dengan harapan pada saatnya nanti, bisa hidup bersama dan saling bantu, agar bisa jadi teman bertani dan meringankan beban hidup berladang. Maka dikisahkanlah, setelah kuda tertangkap, si petani dengan sigap dan semangat untuk membangun kandang si kuda di kampung belakang rumahnya. Karena senangnya si petani, kandang si kuda pun dibangun dengan bahan yang bagus, bertiang kayu dan beratap seng, dengan bentuk semi permanen.
Padahal selama ini, rumah tinggal si petani dan keluarganya pun tidak sebagus kandang si kuda yang dibangun. Namun begitulah rasa keprikebinatangan si petani, dia lupakan rasa sayangnya itu kepada si kuda, dengan diberi pakan cukup dan perhatian yang lebih. Namun sayang pada akhirnya, karena kurang menyadari seperti apa sesungguhnya sifat asli dari binatang. Si kuda tetap memberontak, sangat sulit untuk merubah kebiasaannya yang liar di hutan, untuk diubah menjadi binatang peliharaan yang jinak dan berkampung.
Pada waktunya, si kuda kemudian merusak kandangnya hingga ambruk tanpa setahu si petanii. Si kuda melarikan diri kembali ke hutan. Dari kisah ini, tersebutlah julukan baru untuk si kuda liar, menjadi kuda simanggotok (nggak tau diuntung, dan atau perusak kandangnya sendiri). Begitulah ceritanya, kisah tersebut menjadi dongengan hikmah dan nasehat para orang tua kepada anak anaknya.
Maksud dari nasehat, mereka berharap janganlah saat hidup bersaudara, berhukum adat, bertetangga, berkomunitas, berbangsa dan bernegara, meniru prilaku kuda simanggotok yang karena sifat “liar” (dan atau primitif)nya, hingga merusak kandangnya sendiri. Begitulah bagian dari hikmah dan nasehat, dari cerita rakyat yang didongengkan turun temurun oleh para orang tua, bahkan sudah seperti tradisi atau kuan-kuan di masyarakat taneh Karo si malem.
Pesikaplah kuta kemulihenta (jaga dan rawatlah kampung kelahiran dan tempat kembali kita), begitu kuan-kuannya. Jika dikuankan ke skala nasional bisa bermakna, jaga dan rawatlah NKRI, dari prilaku kuda simanggotok. Karena jika NKRI ingin harga mati, maka kembalilah pupuk kesadaran atau rasa nasionalisme, dan atau persatuan Indonesia, dengan fikiran bahwa NKRI adalah kampung kelahiran dan kematian. ***