Senin, November 25, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Cerita Warga Detik-detik Pesawat Garuda Mendarat di Bengawan Solo

Pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-300-Flight GA 421 yang dipiloti Kapten Abdul Rozaq, mendarat darurat di aliran Sungai Bengawan Solo, tepatnya di Desa Serenan, Juwiring, Klaten, pada 16 Januari 2002.

Meski pendaratan pesawat Garuda di Sungai Bengawan Solo sudah 19 tahun berlalu, sejumlah warga di Serenan masih menyimpan memori tersebut di benak mereka masing-masing.

Pada hari kejadian bersejarah itu sekitar pukul 16.00 WIB, Lantip Joko Anggoro, 44, mencari angin segar di tanggul di aliran Sungai Bengawan Solo, di Surtanan RT 009/RW 004, Serenan, Juwiring, Klaten.

Waktu itu, pria yang juga dikenal sebagai ketua RT 009 Surtanan hendak beristirahat sekaligus mencari hiburan pascabekerja memahat dan mengukir kayu di rumahnya.

Lantip saat ditemui  di rumahnya, di Serenan, Juwiring, Klaten, Sabtu (16/1), mengisahkan saat dirinya tengah mencari angin segar kala itu tiba-tiba dikagetkan dengan suara bergemuruh dari Sungai Bengawan Solo.

Penasaran dengan sumber suara tersebut, Lantip langsung berdiri dari tempat duduknya. Dari tempat berdirinya, dia melihat ekor pesawat terbang.

Suara gemuruh itu pun juga didengar warga lainnya. Suara gemuruh yang muncul dari Sungai Bengawan Solo memang bisa didengarkan siapa saja yang berada di Serenan dan sekitarnya berjarak satu kilometer dari sumber suara. Warga kampung pun keluar dari rumah mereka masing-masing dan mendekati bibir Sungai Bengawan Solo.

Lantip dan 50-an warga kampung lainnya berinisiatif ingin memberikan pertolongan ke penumpang, pilot, kopilot, pramugari, yang masih berada di dalam pesawat.

 

Persoalan Teknis

Belakangan diketahui, pesawat yang mengangkut 54 penumpang dan enam awak pesawat itu baru saja mengalami persoalan teknis, yakni mesin mati di ketinggian 8.000 kaki. Pesawat yang terbang dari Mataram (NTB) ke Jogja itu ternyata juga ditumpangi seorang gubernur asal Mataram, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jateng, warga negara asing (WNA) asal Australia, dan lainnya.

Lantip Joko Anggoro dan puluhan warga lainnya sudah mengetahui, suara gemuruh yang didengar hingga jarak satu kilometer itu berasal dari pesawat Garuda Indonesia yang mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo.

Semula, warga meneriaki para penumpang agar segera menepi ke sungai dengan nyemplung di Sungai Bengawan Solo.

“Warga teriak-teriak, kaline cetek [sungainya dangkal]. Saat itu, ketinggian sungai di lokasi jatuhnya pesawat sekitar sepaha orang dewasa,” kata Lantip.

Warga berinisiatif nyemplung ke sungai untuk mengevakuasi para penumpang dan kru pesawat.

Satu per satu, para penumpang dan kru pesawat berhasil dievakuasi secara manual dengan selamat. Di antara penumpang itu ada yang masih bayi dan lanjut usia (lansia). Salah seorang penumpang lansia mengalami patah tulang.

“Saat itu yang dilakukan warga memberikan pertolongan dengan mengevakuasi penumpang. Evakuasi rampung menjelang Magrib. Kami mengangkut penumpang itu dibawa ke RS dr Oen Solo dengan lima unit mobil pikap. Setelah evakuasi rampung, mulai turun hujan deras. Pesawat yang masih di sungai itu nyaris terhanyut karena derasnya aliran air. Di malam harinya hingga beberapa hari ke depannya, dimulai evakuasi bangkai pesawat,” katanya.

 

Bau Bahan Bakar

Selain mengevakuasi para penumpang dan kru pesawat, warga di sekitar lokasi sepakat tidak merokok di dekat lokasi jatuhnya pesawat. Tujuannya, agar api rokok tidak merembet ke tumpahan bahan bakar pesawat yang ada di aliran sungai.

“Bau bahan bakar pesawat sangat menyengat. Para penumpang dan awak pesawat dibawa di rumah Pak Umar sebelum dibawa ke rumah sakit (RS). Selain orang, evakuasi barang bawaan juga dilakukan warga,” katanya.

Lantip mengaku sampai sekarang masih terheran-heran dengan kisah itu.

“Memang ada seorang pramugari yang meninggal dunia saat itu. Tapi, kami pun masih bertanya-tanya, apakah pramugari itu meninggal dunia karena melompat dari pesawat atau terpental keluar saat membuka pintu darurat. Pilotnya sendiri, saya akui memang jago,” kata dia.

Warga Nambangan RT 007/RW 003, Serenan, Juwiring, Nur Satria, 40, menceritakan tahapan evakuasi bangkai pesawat Garuda membutuhkan waktu beberapa hari.

“Saat kejadian, saya sempat ke lokasi kejadian. Saat itu, ada salah satu penumpang meminta bantuan ke saya agar membelikan susu untuk bayinya. Begitu saya diberi uang, saya segera belikan susu. Saat itu, saya juga melihat satu koper yang isinya uang semua. Seumur-umur, saya baru melihat duit sebanyak itu. Semua orang dan barang-barang aman seluruhnya. Setelah itu, selama proses evakuasi, saya memilih jadi tukang parkir daripada kerja sebagai tukang kayu,” katanya. (*)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles