Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Pemerintah (Presiden Joko Widodo) sebagai representasi negara mengambil pilihan keputusan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketimbang lockdown seperti yang banyak diterapkan negera-negara lain dalam menghentikan pendemi Covid-19 sebagai bencana wabah global (dunia). Alasan pokoknya adalah agar rakyat masih bisa beraktivitas dan atau agar kegiatan ekonomi tidak terhenti. Pemerintah memperkuat dengan sejumlah regulasi, antara lain, Permenkeu No: 19/PMK.07/2020 Tentang Penyaluran dan Penggunaan DBH (Dana Bagi Hasil), DAU (Dana Alokasi Umum), dan DID (Dana Intensif Daerah) TA 2020 Dalam Rangka Penanggulangan Corona Virus Disease Covid-19, pada 16/3/2020. PP No: 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), pada 31/3/2020. Perpu No: 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penangangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, pada 31/3/2020. Permenkes RI No: 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar pada 3/4/2020. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan No: 119/2813/SJ. Nomor 117/KMK.07/2010 Tentang Percepatan Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020 Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional, pada 9/4/2020. Kepres No: 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nasional Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Dengan seperangkat regulasi tersebut Pemerintah telah mengunci bantah membantah belbagai kalangan atas sikap pemerintah yang dikatakannya terus menerus menyembunyikan kejelasan Covid-19, padahal dalam realitas faktanya sudah menyebar luas di banyak daerah, termasuk persoalan daya tahan perekonomian kita. Sekalipun regulasi tersebut telah diterbitkan, masyarakat intelektual dan para akademisi kritis tetap menyoal dengan serius dan sungguh-sungguh karena menyangkut keselamatan bangsa dan negara jika salah langkah dalam kebijakannya.
Alasan pokok Pemerintah, tentu sangat menarik bagi kita, sekaligus mengundang banyak pertanyaan, salah satunya, benarkah argumentasi tersebut tanpa ada problem atau persoalan lainnya seperti kemampuan daya dukung ekonomi jika melakukan lockdowon? Ataukah pilihan PSBB tersebut agar tidak kehilangan muka di hadapan rakyatnya atas ketidakmampuan daya dukung ekonomi?
Jika kita melakukan pembacaan secara cerdas atas PP No. 21 Tahun 2020 Tentang PSBB, pasal 2 ayat (2): PSBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, maka bertemu dan bertautlah dalam satu sumbu lilin yang mencerminkan kebingungan negara yang disembunyikan dalam baju PSBB. PSBB sesungguhnya merupakan pertimbangan politis yang dilogikan akan mampu memberikan jaminan akan stabilitas pemerintahan untuk tidak jatuh di tengah jalan, dan sekaligus memperlihatkan cermin ketidakpercayaan Pemerintah pada dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, jika lockdown yang menjadi pilihan, secara politik bisa menjadi rentan bahkan bisa beresiko ketidakstabilan politik yang dalam skenario ekstrim akan bisa menjatuhkan kekuasaan pemerintah jika terjadi public distrust meluas dan menguat secara sosial bergejolak di belbagai daerah yang dipicu oleh persoalan perut hari ini hingga lusa, jika daya dukung ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup rakyat selama lockdowrn sedangkan keberhasilannya sangat bergantung pada ketegasan Pemerintah dan kedisiplinan masyarakatnya serta merta pemahaman masyarakat itu sendiri terhadap lockdown dan ancaman akan bahaya atas wabah Covid-19 bagi dirinya sendiri.
PSBB yang tidak serentak diberlakukan pada semua daerah, kecuali yang memenuhi Permenkes RI No: 9 Tahun 2020, maka usia stabilitas politik kekuasaan masih dimungkinkan bisa menarik-ulur kemarahan sosial, masih ada celah dan ruang untuk bisa meredam dan menenangkannya dengan menyodorkan pilihan banyak paket kebijakan bantuan yang terkena dampak Covid-19, yaitu dengan menggelontorkan APBN Rp 405,1 triliun (2,5% dari PDB) untuk penangan Covid-19 dengan alokasi anggaran untuk bidang kesehatan termasuk intensif tenaga medis Rp 75 triliun. Jaring Pengaman Sosial (social safety net) Rp 110 triliun (untuk paket prakerja Rp 10 triliun). Dukungan sektor pembiayaan anggaran untuk Covid-19 Rp 150 triliun. Intensif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat Rp 70,1 triliun. Paket kebijakan tersebut untuk masa 3 bulan (April, Mei dan Juni).
Pilihan PSBB tersebut sesungguhnya mencerminkan (seoalah-olah) lingkaran Istana tidak mempunyai ahli metematikawan eksakta, matematikawan sosial dan ahli logikawan untuk bisa memproyeksikan, memprediksi dan mengkalkulasi dengan segala sateris paribusnya, apakah kebijakan tersebut tidak beresiko lebih besar ketimbang melakukan lockdown di awal isu penyebaran pandemik global yang dimulai dari inang negaranya China akhir Desember 2019 yang kemudian sangat dahsyat menyebar kebelbagai negara, di mana kita bisa melakukan lockdown sedini mungkin atau paling tidak pada pertengahan Januari 2020. Me-lokcdown orang datang atau masuk dari negara luar, karena faktanya terungkap positif Covid-19 pada 14/2/2020 sudah berada di sekitar kita, yang berasal dari kontak langsung dengan 2 orang WNA; Jepang dan Malaysia. Presiden baru mengumumkannya pada 2/3/2020 dan mengambil tindakan regulasi akhir Maret dan pelaksanaannya baru awal April 2020, di mana sudah meluas penyebarannya.
Kini apa hendak dikata, nasi sudah bukan lagi menjadi bubur, sudah menjadi tajin yang encer. Keterlanjuran dan keterlambatan tak bisa lagi memutar jarum jam hari yang lampau. Realitas yang menjadi fakta yang tak bisa terbantahkan lagi, belbagai daerah mengajukan PSBB, jumlahnya sudah mencapai 2 Provinsi dan 21 Kabupaten/Kota (sumber: Setkab.go.id per 23/4/2020). Total kasus positif Corona mencapai 12.438 orang. Jumlah pasien sembuh 2.317 orang dan yang meninggal sebanyak 895 orang (Sumber: Jubir Penangan Covid-19 Achmad Yurianto: per Rabu, 6/5/2020, pk. 12.00 WIB), dan kemungkinan besar akan terus bertambah, apalagi sekarang Presiden mengambil kebijakan (paradoks dan menjadi inkonsistensi) pelonggaran PSBB, begitu juga dalam pelaksanaannya menjadi PSBB parsial di beberapa daerah terlampau longgar, kurangnya pengawasan yang ketat, sehingga tak lebih dari sekedar himbauan atau seruan semata untuk berharap adanya kesadaran kolektif dari masyarakat itu sendiri. Padahal, kita kurang memiliki budaya dan tradisi disiplin sosial, di mana pandemik Covid-19 itu berbahya dan mengancam keselamatan dirinya. Tak mau peduli dengan alasan urusan perut tidak bisa ditunda. Pada sisi lain, refocusing anggaran (APBD) bagi daerah menjadi persoalan tersendiri, sehingga banyak daerah yang terkena sanski penundaan DAU 35% seperti yang terjadi di 20 Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan daerah lainnya, yang berdasakan Kemenkeu (Jumat, 8/5/2020) ada 65 daerah. Refocusing APBD menjadi miris, bernuansa menari-nari di atas air mata corona.
Kebingunan negara pun bisa terbaca sekalipun disembunyikan, dengan kita menelisik dan melakukan pembacaan atas target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% berubah menjadi konjungtur pesimisme, yang dalam skenario terburuk bisa mencapai negatip 04%. Presiden Donald Trump mengakui pandemik global Covid-19 ini lebih parah dari serangan Jepang ke Pearl Harbor saat perang dunia ke-II dan serangan ke gedung World Trande Center New York, 9/11. Akibat Covid-19 pertumbuhan ekonomi AS kuartal I minus 4,8% (AFP, Kamis, 7/5/2020). Bayangkan negara maju dan adidaya saja -4,8% apalagi kita. Tapi ternyata kita masih jauh lebih hebat dari AS, seperti terlihat dalam tabel (sekalipun menurun):
“Dalam skenario berat hanya akan tumbuh di kisaran 2,3% dan pertumbuhan ekonomi bisa mengalami kontraksi hingga negatif 04% disebabkan konsumsi rumah tangga yang menurun serta pertumbuhan investasi juga mengalami tekanan. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan mengalami kesulitan dari revenue. Beberapa prakiraan lembaga-lembaga internasional terhadap pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2020, JP Morgan memasang prakiraan angka -1,1% dan Economist Intelligence Unit memproyeksikan -2,2%. Sedangkan IMF menyebutkan bahwa dunia saat ini sudah memasuki fase resesi. Perubahan sangat dinamis dan cepat di dunia ini, mengancam perekonomian dan stabilitas sektor keuangan dalam negeri. Pandemi Covid-19 mengakibatkan kegiatan ekonomi menurun, bahkan berpotensi menekan lembaga keuangan. Hal ini lantaran sejumlah kredit yang tak bisa dibayarkan oleh masyarakat akibat terdampak virus corona. Skenario terburuk bisa terjadi jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat, menjadi 3,2% dalam skenario berat, hingga 1,6% dalam skenario sangat berat. Pertumbuhan konsumsi pemerintah hanya tumbuh 6,83% atau 3,73% yang berpotensi meningkatkan defisit hingga 5,07%.
Hal ini diikuti dengan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga turun 1,78% hingga 1,91%. Penyebab lainnya, kinerja investasi yang kurang positif, hanya tumbuh 1% atau bahkan menurun 4%. Ekspor yang menurun tajam 14% hingga 15,6%, serta impor turun 14,5% hingga 16,65%. Selain itu, dari sisi nilai tukar rupiah diprediksi mencapai Rp 20.000 per Dolar AS dalam skenario sangat berat. Sementara skenario berat kurs bisa mencapai Rp 17.500 per dolar AS di tahun ini. Proyeksi tersebut juga lebih tinggi dari target dalam APBN 2020 yang hanya Rp 14.400 per dolar AS. Inflasi pun diproyeksi meningkat hingga 5,1 persen di tahun ini untuk skenario sangat berat dan 3,9 persen untuk skenario berat. Angka ini juga jauh di atas target sebesar 3,1 persen dalam APBN 2020. Sektor rumah tangga merupakan bagian perekonomian yang paling terkena dampak pandemi corona karena dari sisi konsumsi mereka tidak melakukan aktivitas ekonomi. Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) juga merupakan sektor yang terpukul. Korporasi juga akan mengalami tekanan dari sisi rantai pasokan dan perdagangan. Hal ini kemudian akan merembet ke sektor keuangan. Meski begitu, berharap, skenario tersebut tak terjadi.” (Ibid).
Pada akhirnya, pilihan mengatasi covid-19 dengan melakukan PSBB dengan melakukan pembacaan atas paparan Menkeu Sri Mulyani, menjadi sangat jelas bahwa negara sesungguhnya dalam kebingungan apalagi jika hingga akhir tahun ini bencana wabah pandemik global (Covid-19) belum teratasi, karena kemampuan daya dukung ekonomi sebagai konsekuensi diterapkannya PSBB pun tidak mampu dalam jangka waktu lebih dari 10 bulanan, dan resiko yang terburuknya jika hutang luar negeri pun tidak didapat. Keterpurukan ekonomi makin menjadi masalah terhadap stabilitas politik, di mana kemarahan sosial tidak bisa lagi diredam, dan adanya politik identitas yang makin meguat akan bisa bersenyawa dengan kemarahan sosial, sehingga tidak menutup kemungkinan berpotensi mempercepat mengkristalnya kemarahan sosial akibat urusan perut yang tidak bisa lagi ditunda hingga pekan depan. Jika saja Pemerintah mau terbuka dan jujur menjelaskan bahwa daya dukung ekonomi kita belum mampu, niscaya rakyat mau mengerti, sehingga akan menjadi keniscayaan pula bahwa kemarahaan sosial tidak akan terjadi, sekalipun korupsi tetap marak di mana-mana walau dalam bencana nasional wabah pandemi.
Kebingunan negara juga terlihat ketika melakukan penundaan pelaksanaan jaring pengaman sosial bagi penerima bantuan, karena data yang tumpang tindih, dan bahkan menuai protes masyarakat di seluruh daerah, berpotensi menjadi kristal kemarahan sosial, menjadi krisis kepercayaan atas Pemerintah, negara dianggap tidak hadir, sehingga menjadi tergugat, di mana kah negara?
Di balik bencana wabah pandemi Covid-19, menjadi kita semua tahu, selama ini yang dikatakan dan dinyatakan Pemerintah dalam statistik angka (dalam garis) kemiskinan dan penerima bantuan program Pemerintah selama ini carut marut, dan tidak berdasarkan basis data yang benar, akurasi datanya sangat rendah validitasnya antara realitas fakta dengan data yang dinyatakan selama ini, terutama angka kemiskinan dan angka rentan kemiskinan. APBN selama ini banyak berhamburan dalam kebijakan program tanpa data yang sesungguhnya menjadi fakta dan realitas sosial di negeri ini seperti PKH, KIS, KIP, BPNT, Jamkesda/JKN (BPJS tanggungan negara), Kartu Sembako, Rutilahu, Kube, dan lainnya; semua yang beraroma bantuan negara atas nama pengentasan kemiskinan atau pemulihan ekonomi.
Inkonsistensi Pemerintah (Presiden) terlihat dari kebijakan PSBB yang kemudian menjadi pelonggaran PSBB dan sekarang Presiden Jokowi mengambil langkah beralih kebijakan dari PSBB (yang belum sesungguhnya PSBB) menjadi Pelonggaran PSBB kemudian menjadi New Normal. Kita harus mampu berkompromi dan atau berdampingan hidup dengan Covod-19 yang mematikan itu dengan alasan kegiatan ekonomi harus berjalan seperti biasa. Sesungguhnya menunjukkan negara dalam kebingungan yang sungguh-sungguh karena APBN tidak mampu untuk negara berkewajiban menanggung resiko penuh atas rakyatnya jika diberlakukan PSBB yang sungguh-sungguh, yang kemudian akan beresiko terjadinya kemarahan sosial dan kemarahan rakyat yang tidak disiplin (semaunya dan seenaknya sendiri). Dengan mengganti PSBB menjadi PSBB Longgar dan menjadi New Normal, Presiden bisa berapologi jika nanti terjadi kemarahan sosial dan kemarahan rakyat yang semaunya sendiri dan seenaknya sendiri (tidak berdisiplin diri), sehingga keberlangsungan pemerintahan atau kekuasaan tidak jatuh di tengah jalan seperti tahun 1998, di mana krisis ekonomi tidak bisa dikendalikan.
Ada banyak berkah dan pelajaran pahit dari pandemi Covid-19 di negeri ini adalah kita bisa memberikan kesimpulan sementara (yang bisa jadi akan menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan lagi) bahwa data dari belbagai daerah bukanlah data yang benar-benar data dari realitas empirik atas sebuah fakta. Data yang dikirim dan dipakai selama ini dalam pengambilan kebijakan seperti apa yang dikatakan Keith R. Legh adalah berbasis relasi kuasa, hubungan emosionalitas dalam konteks “Tautan-Tuan-Hamba dan Politisi.”
Sekali lagi, di balik bencana pademi Covid-19 ini memberikan pelajaran yang amat berharga bagi kita semua. Semoga negara (dalam hal ini Pemerintah) tersadarkan, bahwa betapa pentingnya arti dan makna sebuah data sebagai tanda dan penanda, sehingga realitas empirik sebagai fakta haruslah dijadikan basis untuk keluar dari kemelut dan atau untuk solusi penyelesaian akar masalah yang kita hadapi kini dan masa datang. Pikiran, logika dan akal waras tidak tertawan oleh bagaimana kepentingan politik kekuasaan terselamatkan, padahal itu semua sama dengan kita tengah menggali kubur buat diri kita sendiri.***
*)Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Desa Singaraja. HP/WA: 0819 3116 4563. e-mail: jurnalepkspd@gmail.com