Ketua LSM FESOMAS Dedi Supriatna : Akibat perilaku korup oknum, dimana kasusnya berulang setiap tahun anggaran, sehingga berpotensi merugikan keuangan Negara/Daerah hingga ratusan juta bahkan miliaran rupiah
Subang, Demokratis
Untuk memacu kesejahteraan rakyat, pemerintah pusat lewat agenda Nawa Citanya akan membangun negeri ini dari pinggiran, guna memperkuat daerah-daerah dan desa, sepertinya kurang direspons sepenuhnya oleh sejumlah desa di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Sementara dana miliaran rupiah yang digelontorkan ke desa secara tunai melalui dana transper seperti Dana Desa/DD (APBN), Bantuan Keuangan Propinsi (APBD-I), Alokasi Dana Desa/ADD, Bantuan Keuangan Desa/Kelurahan (BKUD/K), Bantuan Desa (APBD-II), dan bagi hasil pajak oleh kepala desa terkesan hanya sebatas menggugurkan kewajiban, bahkan lebih memprihatinkan sebagianya dana tersebut diduga dijadikan ajang bancakan.
Tak peduli apakah hasil (output) dan manfaatnya (outcome) betul-betul dapat dirasakan masyarakat, yang terpenting dana tersebut bisa diserap, sementara sisanya raib entah hinggap di mana.
Berbagai praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan rezim penguasa (baca: Pemdes) bersama oknum politisi dinilai telah menghianati legitimasi yang diberikan rakyat. Virus korupsi dengan berbagai dalih dan modus kini kian mewabah dan cenderung sporadis. Hal tersebut tidak saja merugikan keuangan Negara/daerah, menghancurkan perekonomian dan menyengsarakan rakyat, tetapi dalam skala lebih luas juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional sebagai akibat dari efek domino.
Perilaku korupsi di negeri ini bukan lagi merupakan gejala, melainkan sudah akut dan merupakan bagian dari kehidupan dan kegiatan di hampir semua lini, baik di birokrasi, sosial, ekonomi, budaya dan tak terkecuali di bidang politik.
Jika ada yang mengatakan bila penyakit Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sudah menjalar hingga ke tingkat pedesaan, fenomena ini memang telah lama berlangsung, hanya saja ada yang mencuat dan tidak mencuat ke permukaan.
Ironis memang, tindak pidana korupsi (Tipidkor) ini tidaklah sama dengan tindak pidana lainnya. Tipidkor merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Pemberantasan korupsi di negeri ini sepertinya masih menggantung di langit, bak mengepel lantai di bawah genting bocor, lantainya tak akan pernah kering, persisnya korupsi terus tumbuh subur.
Tudingan miring itu seperti temuan yang dirilis LSM Forum Ekonomi dan Sosial Masyarakat ( FESOMAS) bermarkas di Jln.Raya Gardusayang , Komplek kantor Pos dan Giro Gardusayang RT.03/RW.02, Kec.Cisalak, Kab.Subang dan diterima Ka Biro SKU Demokratis Kab.Subang, belum lama ini.
Pentolan LSM PESOMAS Dedi Supriatna membeberkan adanya indikasi penyelewengan keuangan desa terkhusus bersumber dari dana Bantua Desa (Bandes) yang lazim disebut dana pokir alias dana aspirasi dewan, diduga dijadikan ajang bancakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/daerah/desa.
Fenomena ini seperti yang terjadi di kebanyakan pemerintahan desa di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, terkait penggunaan anggaran desa (baca: Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa/APBDes) bersumber dari bantuan desa, dimana kasusnya berulang setiap tahun anggaran, tetapi nyaris tak tersentuh oleh Inspektorat daerah ataupun aparat penegak hukum (APH), sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa hingga mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Dana bandes sendiri dialokasikan bagi organisasi sosial kemasyarakatan dan kelompok masyarakat yang diperuntukkan pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan pendidikan.
Disebut-sebut Inspektorat Daerah terkesan gamang ketika mengaudit kegiatan/proyek yang bersumber dari bandes itu, bahkan ketika melakukan pemeriksaan reguler nyaris kegiatan/proyek itu diduga sengaja tidak disentuh. Sebagai indikasinya nyaris tidak ada temuan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP). Ada apa gerangan sesungguhnya, apakah jika di ranah itu sebelumnya sudah terbangun KKN di antara eksekutif dan legislatif?
Dedi mengungkapkan, dugaan persekongkolan (kolusi) korupsi berjamaah yang dilakukan sejumlah oknum dewan yang terhormat dan kepala desa penerima bantuan semakin terkuak dan membuat rakyat seperti putus asa dan kehilangan harapan seakan tak ada cahaya di ujung terowongan sana.
Bila dikalkulasi tambah Dedi, dana bandes yang digelontorkan ke desa-desa, bersumber APBD Kabupaten Subang tahun ini saja (TA 2022) mencapai Rp 68.538.500.000,-Milyar dan tersebar di 997 titik.
Dengan rincian Bantuan Keuangan Khusus –Bantuan Keuangan Desa (BKK-Bandes) Hasil Musdesus Tahap-I sebesar Rp.5.575.000.000,- tersebar di 94 titik; Tahap-II Rp.13.023.500.000,- di 170 titik, Tahap-III Rp.3.365.000.000,- di 45 titik, Tahap-IV Rp.5.170.000.000,- di 65 titik,-
Sedangkan BKK-Bandes Tahap-I sebesar Rp.5.500.000.000,- tersebar di 94 titik, Tahap-II Rp.4.150.000.000,- di 75 titik; Tahap-III Rp.19.200.000.000,- di 260 titik; Tahap-IV Rp.5.880.000.000,- di 108 titik; Tahap-V Rp.6.675.000.000,- di 116 titik.
Bila saja dana bantuan desa ini dibancak sedikitnya 30 persen dari pagu anggaran, maka berpotensi merugikan keuangan negara/desa hingga lebih dari Rp.20 Milyaran.
Berdasarkan hasil investigasi dan keterangan dari berbagai sumber menyebutkan, modus operandi penjarahan dana itu terjadi mulai dari klaim sepihak, pungutan liar (pungli) dengan prosentase tertentu, praktek nepotisme, lebih parahnya lagi adanya kelompok abal-abal. Disebut abal-abal, lantaran kelompok ini dibentuk secara tiba-tiba, kemudian kepengurusan dan anggotanya tidak jelas, diduga kelompok ini dibentuk hanya sebagai sarana pencucian uang (money laundry).
“Selain itu dengan cara mengurangi volume fisik, pengadaan material tidak sesuai standar pekerjaan (spek) teknis dan RAB, mark–up upah tenaga kerja (HOK) dan adanya proyek fiktif atau lebih dikenal SPJ fiktif artinya SPJ dibuatkan seolah-olah kegiatannya telah dilaksanakan sesuai proposal, tetapi kenyataan lapangan tidak dikerjakan,” jelas sumber.
Sementara untuk mengungkap skandal penyelewengan dana bandes sendiri bukanlah perkara mudah layaknya bagai mengurai benang kusut.
Berbagai pihak yang terlibat di dalamnya terkesan tutup mulut dan beberapa di antaranya justru menganggap praktek-praktek penyelewengan seperti itu merupakan hal yang lumrah sehingga menjadi ajang ‘bancakan’.
“Sebelum dana dikucurkan calon penerima dana atau pelaksana kegiatan harus bersepakat dahulu dengan oknum-oknum petinggi partai, anggota dewan yang terhormat atau pejabat tertentu mengenai besaran fee,” ujarnya lagi.
Masih menurut sumber tadi, besaran fee yang harus disetor kepada oknum tersebut, berkisar antara 10–30 persen dari total dana yang dikucurkan.
Eksesnya Kades selaku pengguna anggaran (PA) bersikap latah (ikut-ikutan-red) turut menyunat, sehingga dana yang direalisasikan hanya berkisar 70 persen bahkan hingga 50 persen saja.
Sebagai testimoni, ditemukan sejumlah penerima bantuan di antaranya Pemerintah Desa (Pemdes) Sukamaju mendapat kucuran bandes Rp250 juta (TA 2020 dan 2021) peruntukan suntikan modal BUMDes kepemimpinan Utam, namun oleh Kades Sukamaju H Usp diduga berkolusi dengan oknum anggota dewan berinisial Sup (kader Golkar) malah disalurkan ke BUMDes tandingan (baca: ilegal) kepemimpinan Cari Sugiarto dengan dalih akan disalurkan ke para pedagang UMKM sebagai penambahan modal melalui program usaha simpan pinjam.
Kades Sukamaju H Usup saat dikonfirmasi awak media via WhatsApp enggan menanggapi secara detail. “Datang ajalah ke desa, biar jelas segalanya. Wasalam Kades Sukamaju,” tuturnya.
Namun saat dikonfirmasi via sambungan seluler, kades mengaku bila pihaknya benar telah membentuk BUMDes yang diketuai Cari Sugiarto dan telah menerbitkan SK kepengurusannya, sebagaimana dilansir Jabar Press.com bersama LSM Jarrak.
Ihwal dana bandes TA 2020 dan 2021 sudah disalurkan ke BUMDes yang diketuai Cari Sugiarto melalui anggota DPRD Supri. Kades H Usup berdalih kenapa disalurkan melalui Supri lantaran sebagai aspiratornya. “Dana bandes hanya numpang lewat setelah sebelumnya dicairkan melalui rekening Pemerintah Desa Sukamaju,” ujar H Usup.
Buntut carut marut penggunaan dana BUMDES itu, akhirnya Kades Sukamaju H Usup dilaporkan ke Kejari Subang oleh LSM Pendekar dengan No.surat : 0212/LSM-PDKR/III/2022, Perihal Pelaporan dugaan penyalahgunaan Anggaran BUMDES Desa Sukamaju, Kecamatan Sukasari Th 2020 dan 2021.
Sebuah sumber yang mengetahui seluk beluk Pemdes Sukatani menyebutkan kegiatan yang didanai bandes TA 2020 (APBD Murni & APBD-P) sebesar Rp385 juta tersebar di enam titik, pekerjaannya terkesan asal jadi (asjad-red), seperti pembangunan jalan rigid di Blok Makam sepanjang kurang lebih 300 dan lebar 2 meter yang menelan anggaran senilai Rp200 jutaan, kini sudah retak-retak. Sementara bangunan TPT-nya sebagian amblas, padahal usia bangunan baru seumur jagung.
Tak hanya itu, keberadaan mobil siaga dengan pagu anggaran Rp150 jutaan terkesan tidak berbanding lurus dengan kondisi fisiknya diduga harganya di-mark-up. Sementara pemanfaatan mobil terkesan seperti milik pribadi yang didominasi oknum tertentu yang mengklaim pengurus DKM Al-Munawar, padahal mobil itu merupakan aset desa (inventaris/kekayaan desa).
Ironisnya, realisasi dana Bandes TA 2019 diduga fiktip, lantaran pembangunan diduga tidak direalisasikan. Sesuai SK Bupati No.141/KEP.152-DISPEMDES/2019 Desa Sukatani mendapat bantuan Rp.200 juta diperuntukan membangun TPT 2 titik di Dsn.Sukatani dan pengaspalan di 2 titik Jalan Gang di Dsn Sukatani, namun pada kenyataannya tidak diterapkan (fiktip). Ujar sumber.
Kades Sukatani Abdurahman ketika dikonfirmasi saat itu menjelaskan, bila rencana kegiatan pembangunan di 4 titik bukan tidak diterapkan, tetapi kegiatannya dialihkan ke Dusun Bojongsari diantaranya untuk pembangunan TPT. Ujarnya berkilah.
Dugaan tilep menilep dana haram di Desa Sukatani, kini sedang dilakukan Pulbaket, ujar sumber di Tipidkor Polres Subang.
Dugaan penyimpangan dana bandes berikutnya di Pemdes Jatireja. Dari tiga titik kegiatan fisik TA 2020 diantaranya diperuntukkan pembangunan Jembatan di Dsn Lamaran RT 03/RW 06 yang menghubungkan antara Dsn.Lamaran (Desa Jatireja)- Desa Mekarjaya, pagu anggarannya Rp.100 juta (APBD Murni TA 2020) diduga tidak direalisasikan (fiktip).
Pasalnya menurut sumber, pembangunan jembatan dimaksud pembiyaannya diperoleh dari iuran warga yang memiliki tanah bantaran PJT, dan disokong seorang donatur tokoh masyarakat setempat H.Salam.
Tak hanya itu, dugaan dana Bandes yang selewengkan, bantuan modal Kelompok Usaha Ternak “ Sinar Harapan” dengan pagu Rp.40 juta, hanya dibelanjakan domba sebanyak 20 ekor, seharga kisaran a Rp.800 ribuan/ekor, sehingga masih tersisa anggaran puluhan juta tidak jelas pertanggung jawabannya.
Kepala Desa Jatireja Abin saat akan dikonfirmasi di kantornya, kendati sudah berulang kali awak media berkunjung di kantornya, namun belum berhasil ditemui. Salah seorang Kepala Urusan (N) saat itu ketika ditemui di ruang kerjanya menerangkan ihwal penggunaan dana Bandes diperuntukan pembangunan jembatan jalan Usaha Tani yang menghubungkan antara Desa Jatireja-Mekarjaya di Dsn.Lamaran RT 03/RW.06 sudah dilaksanakan yang mengerjakan pihak ketiga yakni mantan anggota DPRD berinisial (Sur).
Padahal diperoleh keterangan, pembangunan jembatan dimaksud pembiyaannya diperoleh dari iuran warga yang memiliki tanah bantaran PJT, dan disokong seorang donatur tokoh masyarakat setempat H.Salam.
Untuk melengkapi tanggapan Kades Jatireja, awak media konfirmasi via surat tertulis No.01/DMK/Biro-Sbg/Konf/I/2021, namun meski cukup luang waktunya, hingga berita tayang Kades Jatireja Abin tidak berkenan menjawab.
Berikutnya dugaan dana Bandes yang dibancak terjadi di Pemdes Sumbersari, diperuntukan pembangunan Majlis Ta’lim, pagu anggrannya Rp.200 juta (APBD TA 2021) tapi kenyataanya tidak diterapkan (Fiktip).
Kini kasusnya sedang ditangani pihak Kejari Subang. Diantara pihak yang diperiksa adalah Anggota Dewan terkait (aspirator). Hal ini dikonfirmasi oleh Kepala Kejari Subang I Wayan Sumertayasa melaui Kasi Intelejen Akhmad Adi Sugiarto,SH.,MH.
Akhmad Adi menyebut, anggota Dewan yang belum diketahui indentitasnya ini, bahkan sudah di BAP. “ Ada anggota Dewan yang di BAP,” ucap Ahmad Adi sebagaimana dilansir Jabarpress.com. Terkait kasus ini Kejari Subang sudah menahan satu tersangka berinisial YSM sejak tanggal 30 Agustus 2022 di Lapas Kelas II A Subang, berdasarkan SP Penahanan Ka Kejari Subang No: 01/M.2.28/Fd.1/08/2022.
Tersangka YSM diketahui merupakan ex petinggi/pengurus salah satu partai berpengaruh di Kabupaten Subang, konon tersangka menggunakan dana haram itu untuk keperluan dirinya ketika mencalonkan Kepala Desa periode 2021-2026 di Desa Sumbersari, Kecamatan Pagaden, kab.Subang.
Berikutnya bancakan dana Bandes menggelontor di Pemdes Padamulya dengan pagu Rp.1,95 Milyar (APBD-P TA 2018 dan TA 2019) yang diduga tidak direalisasikan (fiktip) dengan perincian sumber APBD-P TA Rp.950 juta diperuntukan membangun pengerasan jalan di Kp.Bbk.Bandung sebanyak 9 titik dan sebesar Rp.1 Milyar (APBD-P TA 2019) diperuntukan membangun TPT Jalan Lingkungan dan Jalan Poros Desa di 10 titik tersebar di sejumlah Dusun/kampung.
Disebut-disebut carut marut pengelolaan dana Bandes selain Kades Padamulya saat itu Mm juga turut terlibat pihak ketiga (baca: Pemborong) HL dan oknum anggota Dewan yang terhormat (aspirator) berinisial HP.
Ketika awak media mewawancarai sejumlah ketua RT diantaranya RT.03/01 Endang Taher membenarkan bila Jaling-jaling di Kp.Bbk Bandung dimana lokasi penetapan kegiatan yang dibiayai dari Bandes TA 2018 (APBD-P) tidak pernah ada, “ Lagian Jalan Lingkungan di Kp. Bbk.Bandung seluruhnya sudah diaspal,” tandasnya.
Pengakuan Taher itu dikuatkan Ketua BPD Nana Wikarna saat ditemui di kediamnnya, pihaknya membenarkan bila program/kegiatan yang direncanakan dibiayai dari Bandes baik APBD-P TA 2018 dan 2019 tidak ada yang realisasikan. Ujar Nana.
“ Padahal pihaknya berharap bila dana sebesar milyaran itu direalisasikan mantan Kades Padamulya Momo, akan besar manfaatnya terkait roda pemerintahan dan perekonomian warga Desa Padamulya. Temuan IRDA TA 2019 senilai Rp.200 jutaan mantan Kades Momo hanya baru mengembalikan Rp.30 jutaan, “ ujarnya.
Mantan Kades Padamulya Momo saat masih menjabat ketika dikonfirmasi melalui surat No. 108/Biro-Sbg/Konf/VII/2019 tidak berkenan menjawab.
Namun secara lisan Momo menerangkan, bila seluruh program/kegiatan berbiaya dari dana Bandes sudah diserahkan pekerjaannya kepada Sdr.HL selaku Pihak ketiga (pemborong-Red).
Sementara itu HL ketika dihubungi di kediamannya pada saat itu tidak bersedia memberikan tanggapan. Namun menurut sumber membenarkan bila HL adalah pemborong dan orang yang berperan memfasilitasi dengan pihak anggota Dewan HP guna menggolkan proyek dana Bandes sekaligus mendanai kepentingan operasional (membayar inden/ Down Payment) dan komitmen tertentu dengan mantan Kades Padamulya. Ujarnya.
Menurut sumber kasus ini konon pernah ditangani pihak Kejati prop.Jawa Barat, namun tidak jelas endingnya, sepertinya masuk angin.
Dugaan bancakan dana Bandes berikutnya terjadi di Pemdes Cimeuhmal. Kades Cimeuhmal pada saat itu menjabat bersekongkol dengan oknum anggota Dewan yang terhormat kompak menggasab (baca : mencuri) dana Bandes itu.
Adapun dana Bandes yang menggelontor di Desa Cimeuhmal ; TA 2020 (APBD) untuk pengadaan Lampu penerangan (PJU) berbiaya Rp.50 juta, TA 2020 (APBD-P) Penataan Destinasti Wisata “Pasir Junti Batu Riung“ berbiaya Rp.100 juta.
Dalam penerapannya ditengarai tidak sesuai dengan rencana (RAB) dan terkesan asal-asalan.
Pentolan LSM FESOMAS Dedi Supriatna menyesalkan atas tindakan oknum Kepala Desa dan pihak-pihak yang diduga terlibat penyelewengan keuangan desa itu dikatagorikan perbuatan korupsi. “ Kepala Desa itu posisinya sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa (PKPKD) atau lazim disebut Pengguna Anggaran (PA), ketika mengelola keuangan desa bersumber dari dana-dana trasnper dimana merupakan sumber penerimaan APBDes harus dipertanggung jawabkan secara baik dan benar,” tandasnya.
Pengelolaan anggaran desa seharusnya merujuk pada asas-asas transparansi, akuntabel, partisifatip, tertib dan disiplin anggaran sebagaiamana diamanatkan UU Desa No.06/2014 dan Peraturan Pelaksanaannya serta UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) No.14/2008.
Perilaku Kades dan pihak-pihak yang terlibat itu, bisa dijerat UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU No 20 Tahun 2001, Jo Psl 3 bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,- dan paling banyak Rp.1.000.000.000,-
Melihat kondisi ini, pihaknya mendesak aparat pengawas seperti Inspektorat Daerah (Irda) dan penegak hukum Kepolisian dan Kejari Subang segera menyelidiki kasus-kasus pelanggaraan hukum itu. “ Jerat oknum pelakunya hingga bisa diseret ke meja hijau. Tak usah menunggu laporan pengaduan, karena ini merupakan peristiwa pidana,” tegas Dedi.
Bila terbukti beri hukuman setimpal, agar ada efek jera karena dana itu berasal dari uang kenduri rakyat yang dihimpun melalui pajak yang benar-benar harus dipertanggung jawabkan. Pungkasnya. (Abh)