Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dana Bandes Diduga Jadi Ajang Bancakan Oknum Dewan dan Kades Penerima Bantuan

Subang, Demokratis

Pemberantasan korupsi di negeri ini sepertinya masih menggantung di langit, bak mengepel lantai di bawah genting bocor, lantainya tak akan pernah kering, persisnya korupsi terus tumbuh subur.

Perilaku korupsi di negeri ini bukan lagi merupakan gejala, melainkan sudah akut dan merupakan bagian dari kehidupan dan kegiatan di hampir semua lini, baik di birokrasi, sosial, ekonomi, budaya dan tak terkecuali di bidang politik.

Berbagai praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan rezim penguasa bersama oknum politisi dinilai telah menghianati legitimasi yang diberikan rakyat. Virus korupsi dengan berbagai dalih dan modus kini kian mewabah dan cenderung sporadis. Hal tersebut tidak saja merugikan keuangan negara, menghancurkan perekonomian dan menyengsarakan rakyat, tetapi dalam skala lebih luas juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional sebagai akibat dari efek domino.

Fenomena ini seperti yang melanda di tubuh pemerintahan desa di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, terkait penggunaan anggaran desa (baca: Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa/APBDes) bersumber dari bantuan desa, dulu lazim disebut dana aspirasi atau pokok-pokok pikiran (pokir) yang menggelontor ke desa–desa diduga dijadikan bancakan oleh oknum anggota DPRD dan kepala desa penerima bantuan, di mana kasusnya berulang setiap tahun anggaran, tetapi nyaris tak tersentuh oleh Inspektorat daerah ataupun aparat penegak hukum (APH), sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa hingga mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah.

Dana bandes sendiri dialokasikan bagi organisasi sosial kemasyarakatan dan kelompok masyarakat yang diperuntukkan pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan pendidikan.

Disebut-sebut Inspektorat Daerah terkesan gamang ketika mengaudit kegiatan/proyek yang bersumber dari bandes itu, bahkan ketika melakukan pemeriksaan reguler nyaris kegiatan/proyek itu diduga sengaja tidak disentuh. Sebagai indikasinya tak pernah ada temuan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP). Ada apa gerangan sesungguhnya, apakah jika di ranah itu sebelumnya sudah terbangun KKN di antara eksekutif dan legislatif?

Mengutip statemen Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto seperti dilansir Demokratis (30/6/2021), pihaknya mensinyalir, kegamangan itu lantaran adanya MoU antara Kemendagri, Kejaksaan RI dan Kepolisian Negara RI, tentang pengusutan korupsi dana desa. MoU tersebut dinilai menjadi tameng para koruptor dana desa bisa bebas dari jeratan hukum.

Ia melihat isi MoU yang menugaskan Inspektorat Daerah (Irda) menjadi pemeriksa awal sekaligus pelaksana audit penggunaan dana desa/anggaran desa menjadi celah melindungi kepala desa (kades) atau mantan kades yang dilaporkan masyarakat. Dengan adanya kewenangan itu, para koruptor kerjasama atau kongkalikong dengan oknum aparat inspektorat daerah. Caranya memanipulasi hasil audit sehingga jenis pelanggaran yang dilakukan hanya pelanggaran administrasi. Kemudian total dana yang dikorupsi tidak lebih dari Rp100 juta.

Dari laporan masyarakat, dia mendapati bila Irda berkepentingan melindungi kades atau mantan kades yang dilaporkan. Mereka bekerjasama dengan Badan/Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa di daerah. Alasannya, mereka adalah atasan langsung dari Kades yang dilaporkan. Artinya, jika kades bermasalah, mereka juga harus bertanggungjawab. Karena itu mereka bersama-sama menutupi kades atau mantan kades yang dilaporkan.

Terkait itu pihaknya meminta nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dicabut, karena melanggengkan praktek korupsi di desa. “Akibat kehadiran MoU itu, masyarakat yang mencari keadilan menjadi kecewa karena banyak laporan berujung sebatas pelanggaran administrasi,” pungkas Abrahan di Jakarta.

Ihwal tudingan miring itu seperti temuan yang dirilis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi–RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang yang diterima Demokatis dan keterangan dari berbagai sumber yang berhasil dihimpun.

Aktivis GNPK RI Kabupten Subang Udin Samsudin SSos mengungkapkan, dugaan persekongkolan (kolusi) korupsi berjamaah yang dilakukan sejumlah oknum dewan yang terhormat dan kepala desa penerima bantuan membuat rakyat seperti putus asa dan kehilangan harapan seakan tak ada cahaya di ujung terowongan sana.

Udin yang akrab disapa Item mengungkapkan, dana bandes yang digelontorkan ke desa-desa, bersumber APBD Kabupaten Subang TA 2021 sebesar Rp80.473.500.000 dan tersebar di 1230 titik kini semakin terkuak.

Bila saja dana bantuan desa ini dibancak sedikitnya 30 persen dari pagu anggaran, maka berpotensi merugikan keuangan negara/desa hingga lebih dari Rp24 miliaran.

Adapun modus operandi penjarahan dana itu terjadi mulai dari klaim sepihak, pungutan liar (pungli) dengan prosentase tertentu, praktek nepotisme, lebih parahnya lagi adanya kelompok abal-abal.

Disebut abal-abal, lantaran kelompok ini dibentuk secara tiba-tiba, kemudian kepengurusan dan anggotanya tidak jelas, diduga kelompok ini dibentuk hanya sebagai sarana pencucian uang (money laundry).

Kondisi pengurugan lapang bola Desa Jatimulya dengan pagu anggaran Rp100 juta hingga kini pembangunannya mangkrak.

“Selain itu dengan cara mengurangi volume fisik, pengadaan material tidak sesuai standar pekerjaan (spek) teknis dan RAB, mark–up upah tenaga kerja (HOK) dan adanya proyek fiktif atau lebih dikenal SPJ fiktif artinya SPJ dibuatkan seolah-olah kegiatannya telah dilaksanakan sesuai proposal, tetapi kenyataan lapangan tidak dikerjakan,” jelasnya.

Sementara untuk mengungkap skandal penyelewengan dana bandes sendiri bukanlah perkara mudah layaknya bagai mengurai benang kusut.

Berbagai pihak yang terlibat di dalamnya terkesan tutup mulut dan beberapa di antaranya justru menganggap praktek-praktek penyelewengan seperti itu merupakan hal yang lumrah sehingga menjadi ajang ‘bancakan’.

“Sebelum dana dikucurkan calon penerima dana atau pelaksana kegiatan harus bersepakat dahulu dengan oknum-oknum petinggi partai, anggota dewan yang terhormat atau pejabat tertentu mengenai besaran fee,” ujarnya lagi.

Masih menurut sumber tadi, besaran fee yang harus disetor kepada oknum tersebut, berkisar antara 10–30 persen dari total dana yang dikucurkan.

Eksesnya Kades selaku pengguna anggaran (PA) bersikap latah (ikut-ikutan-red) turut menyunat, sehingga dana yang direalisasikan hanya berkisar 70 persen bahkan hingga 50 persen saja.

Sebagai testimoni, ditemukan sejumlah penerima bantuan di antaranya Pemerintah Desa (Pemdes) Sukamaju  mendapat kucuran bandes Rp250 juta (TA 2020 dan 2021) peruntukan suntikan modal BUMDes kepemimpinan Utam, namun oleh Kades Sukamaju H Usp diduga berkolusi dengan oknum anggota dewan berinisial Sup (kader Golkar) malah disalurkan ke BUMDes tandingan (baca: ilegal) kepemimpinan Cari Sugiarto dengan dalih akan disalurkan ke para pedagang UMKM sebagai penambahan modal melalui program usaha simpan pinjam.

Menurut pentolan LSM Jarrak Wawan Setiawan, dugaan persekongkolan antara Kades H Usp dengan oknum anggota dewan Sup dalam penyaluran dana bandes ke BUMDes tandingan sebagai modus operandi penjarahan dana program.

“Betapa tidak, BUMDes tandingan ini di akhir tahun tidak pernah menggelar RAT, tidak menyetor SHU sebagai kontribusi APBDes (sumber pendapatan), tidak melaporkan perkembangan aset, jenis usaha monoton alias tidak inovatif, hal ini menunjukkan bila manajemen dana bandes yang dikelola BUMDes kepemimpinan Cari Sugiarto terkesan amburadul dan sarat KKN,” ujarnya.

Kades Sukamaju H Usup saat dikonfirmasi awak media via WhatsApp enggan menanggapi secara detail. “Datang ajalah ke desa, biar jelas segalanya. Wasalam Kades Sukamaju,” tuturnya.

Namun saat dikonfirmasi media online Jabar Press bersama LSM Jarrak via sambungan seluler, kades mengaku bila pihaknya benar telah membentuk BUMDes yang diketuai Cari Sugiarto dan telah menerbitkan SK kepengurusannya.

Ihwal dana bandes TA 2020 dan 2021 sudah disalurkan ke BUMDes yang diketuai Cari Sugiarto melalui anggota DPRD Supri. Kades H Usup berdalih kenapa disalurkan melalui Supri lantaran sebagai aspiratornya. “Dana bandes hanya numpang lewat setelah sebelumnya dicairkan melalui rekening Pemerintah Desa Sukamaju,” ujar H Usup.

Selanjutnya sudah dibagikan kepada sejumlah pedagang yang bergerak di bidang UMKM seperti pedagang pindang, tukang endul dsb. “Dana itu sudah disalurkan kepada mereka sebagai tambahan modal dengan nominal variatif sesuai kebutuhan masing-masing ada yang mendapat Rp2 juta, Rp5 juta dst disaksikan unsur anggota BPD, pengurus LPMD, dan telah didokumentasi,” ujarnya.

Ketika ditanyakan berapa seluruhnya pedagang yang pinjam (debitur-red), Usup mengaku tidak tahu persis.

Hasil investigasi dan keterangan sejumlah sumber yang mengetahui seluk beluk Pemdes Sukatani menyebutkan kegiatan–kegiatan terutama yang didanai bandes TA 2020 (APBD Murni & APBD-P) sebesar Rp385 juta tersebar di enam titik, pekerjaannya terkesan asal jadi (asjad-red), seperti pembangunan jalan rigid di Blok Makam sepanjang kurang lebih 300 dan lebar 2 meter yang menelan anggaran senilai Rp200 jutaan, kini sudah retak-retak. Sementara bangunan TPT-nya sebagian amblas, padahal usia bangunan baru seumur jagung.

Tak hanya itu, keberadaan mobil siaga dengan pagu anggaran Rp150 jutaan terkesan tidak berbanding lurus dengan kondisi fisiknya diduga harganya di-mark-up. Sementara pemanfaatan mobil terkesan seperti milik pribadi yang didominasi oknum tertentu yang mengklaim pengurus DKM Al-Munawar, padahal mobil itu merupakan aset desa (inventaris/kekayaan desa).

Dugaan penyimpangan dana bandes berikutnya di Pemdes Jatimulya. Dari tiga titik kegiatan di antaranya diperuntukkan pengurugan lapang bola desa berbiaya Rp100 juta.

Diperoleh keterangan dibelanjakan tanah arugan 93 truk senilai kisaran Rp25 jutaan, disetor ke oknum anggota DPRD selaku aspirator AK (kader Gerindra) sebesar Rp40 jutaan atau setara 40 persen dari pagu anggaran yang diterima melalui H Tatang (Koleha oknum dewan-red), dan sebesar Rp35 jutaan diduga dibancak Kades Jatimulya Din Wah.

Pentolan LSM Fesomas Dedi Supriatna saat diwawancarai awak media di kantornya.

Lebih mirisnya lagi ketika Karang Taruna mempertanyakan dana peruntukkan lapangan sepak bola, Kades Din Wah malah tersinggung bahkan terkesan murka. “Bila dirinya bersih mengapa mesti risih,” ujar sumber.

Lantaran dananya sebagian besar dibancak, sehingga pekerjaannya mangkrak, faktanya kendati sudah sejak lama dana diterima, hingga menyeberang tahun anggaran 2021 pembangunannya hingga kini tidak kunjung rampung.

Menanggapi itu, H Tatang ketika dikonfirmasi awak media via WhatsApp mengaku dirinya yang mengambil jatah AK (kader Partai Gerindra) sebagai success fee sebesar Rp40 jutaan. “Iya saya yang menerima langsung dari pak Kades Jatimulya Din Wahidin yang merupakan jatah pak dewan sebagai barter pembayaran utang piutang. Bagi saya, sih, bagaimana sikap pak Kades, jika Kades menghendaki dikembalikan, akan saya kembalikan uang itu,” ujarnya.

Namun anehnya selang beberapa hari pasca dikonfirmasi awak media, H Tatang mengembalikan dana itu berupa urugan tanah yang diratakan dengan beko, tapi menurut Cheker Karang Taruna yang dihubungi sumber, nilainya kisaran Rp20 jutaan.

Kades Jatimulya Din Wahidin saat dikonfirmasi via WhatsApp membantah bila pengurugan lapang bola itu mangkrak, namun diakuinya pelaksanaan kegiatan sendiri baru mencapai 30 persen sesuai hasil monev pihak kecamatan saat itu. Sementara dalam realisasi anggaran pihaknya membantah, merasa tidak pernah menyerahkan ke pihak manapun. “Hasil monev kecamatan menyatakan fisiknya baru mencapai 30 persen, penggunaan dana bandes peruntukkan pengarugan lapang bola tidak ada kaitan dengan siapapun, pembangunan akan saya pertanggungjawabkan hingga 100 persen,” tandas Kades berkilah.

Adapun testimoni proyek/kegiatan fiktif seperti terjadi di Pemdes Kawungluwuk yang mendapat dua titik kegiatan. Untuk pemagaran area utama Bukit Wisata Pamoyanan, terletak di Kampung Sudi (RT 02/01) berbiaya Rp50 juta dan bantuan permodalan perkumpulan Kelompok Usaha “Jaya Mandiri” di Kampung Nangkod (RT 06/02) sebesar Rp15 juta. Namun dalam pelaksanaannya menurut temuan LSM Fesomas, tidak jelas juntrungannya dan diduga fiktif.

Kepala Desa Kawungluwuk Adim saat dikonfirmasi di kantornya, menerangkan bila pihaknya mengaku pemagaran di area utama Bukit Wisata Pamoyanan tidak direalisasikan, melainkan kegiatannya dialihkan untuk pemagaran di lingkungan perkantoran Pemerintah Desa Kawungluwuk. Dia beralasan pemagaran di lingkungan kantor desa lebih mendesak.

Pentolan LSM Fesomas Dedi Supriatna mensinyalir, bila pengalihan rencana kegiatan pemagaran di area utama Bukit Wisata Pamoyonan tidak ditempuh secara prosedural. Tindakan Kades Kawungluwuk itu dianggap mengangkangi regulasi yang berlaku atau melampaui wewenang kades (abuse of power).

Berdasarkan ketentuan, tambah Dedi, perencanaan yang sudah jadi rencana kegiatan pembangunan desa (RKPDes) tidak dapat dirubah (Pasal 120, Jo ayat (1) dan (2), PP Nomor 43/2014), kecuali terjadi peristiwa khusus, seperti fors majure (bencana alam), krisis politik, krisis ekonomi dan/atau kerusuhan sosial yang berkepanjangan atau terdapat perubahan mendasar kebijakan pemerintah atasnya, untuk selanjutnya dibahas dan disepakati dalam Musrenbangdes dan ditetapkan dengan Perdes.

Dedi melanjutkan, pihaknya menyesalkan atas tindakan oknum kepala desa dan pihak-pihak yang diduga terlibat menyelewengkan keuangan desa itu dikategorikan perbuatan korupsi.

“Kepala desa itu kapasitasnya sebagai pengguna anggaran (PA) ketika mengelola keuangan desa khususnya dana bandes harus berdasarkan asas transparansi, partisipatif, tertib, disiplin anggaran dan dipertanggungjawabkan secara baik dan benar,” tandasnya.

Perilaku oknum kades dan pihak yang terlibat penyelewengan keuangan desa itu bisa dijerat UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001, Jo Pasal 3 bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000.

Pihaknya mendesak aparat pengawas seperti Inspektorat Daerah (Irda) dan penegak hukum Kepolisian dan Kejari Subang segera menyelidiki kasus-kasus dugaan pelanggaraan hukum itu. “Jerat oknum pelakunya hingga bisa diseret ke meja hijau. Tak usah menunggu laporan pengaduan, karena ini merupakan peristiwa pidana,” tegasnya.

“Bila terbukti beri hukuman setimpal, agar ada efek jera karena dana itu berasal dari uang kenduri rakyat yang dihimpun melalui pajak yang benar-benar harus dipertanggungjawabkan,” sambungnya. (Abh/Esuh)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles