Subang, Demokratis
Harapan Pemerintah Pusat untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat lewat agenda Nawa Cita membangun negeri ini dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa sepertinya kurang mendapat respon dari sejumlah desa di wilayah Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Sementara dana miliaran rupiah yang digelontorkan ke desa-desa oleh kepala desa terkesan hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Tak peduli apakah hasil (output) dan manfaatnya (outcome) betul-betul dapat dirasakan masyarakat, yang penting dana tersebut bisa diserap, sementara sisanya raib entah kemana.
Ending-nya, kegiatan pembangunan yang sudah rampung dikerjakan hasilnya terkesan morat-marit dan memprihatinkan.
Tudingan miring itu seperti temuan yang dirilis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi–RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang yang diterima Demokatis dan keterangan dari berbagai sumber yang berhasil dihimpun.
Kabid Dumas GNPK RI Kabupten Subang Yudi Prayoga Tisnaya mengungkapkan pengelolaan dana bantuan desa (Bandes) atau dana pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD atau dulu lazim disebut dana aspirasi dewan bersumber APBD Kabupaten Subang yang digelontorkan ke desa-desa diduga dijadikan ajang bancakan oknum anggota DPRD Subang dan kepala desa penerima bantuan, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Dugaan persekongkolan (kolusi) korupsi berjamaah yang dilakukan sejumlah oknum dewan yang terhormat dan kepala desa penerima bantuan membuat rakyat seperti putus asa dan kehilangan harapan seakan tak ada cahaya di ujung terowongan sana.
Bantuan dana Pokir sendiri dialokasikan bagi organisasi sosial kemasyarakatan dan kelompok masyarakat yang diperuntukkan untuk pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan pendidikan.
Yudi mensinyalir penyelewengan dana Pokir (Bandes-red) bersumber APBD Kabupaten Subang TA 2020 sebesar Rp 47.178.000.000 yang tersebar di 759 titik kini semakin terkuak.
Bila saja dana bantuan desa ini dibancak sedikitnya 30 persen dari pagu anggaran, maka berpotensi merugikan keuangan negara/desa hingga lebih dari Rp 14 miliar.
Adapun modus operandi penjarahan dana itu terjadi mulai dari klaim sepihak, pungutan liar (Pungli) dengan prosentase tertentu, praktek nepotisme, lebih parahnya lagi adanya kelompok abal-abal.
Disebut abal-abal, lantaran kelompok ini dibentuk secara tiba-tiba, kemudian kepengurusan dan anggotanya tidak jelas, diduga kelompok ini dibentuk hanya sebagai sarana pencucian uang (money laundry).
“Selain itu dengan cara mengurangi volume fisik, pengadaan material tidak sesuai standar pekerjaan (spek) teknis dan RAB, mark–up upah tenaga kerja (HOK) dan adanya proyek fiktif atau lebih dikenal SPJ fiktif artinya SPJ dibuatkan seolah-olah kegiatannya telah dilaksanakan sesuai proposal, tetapi kenyataan lapangan tidak dikerjakan,” jelas sumber.
Sementara untuk mengungkap skandal penyelewengan dana Pokir sendiri bukanlah perkara mudah layaknya bagai mengurai benang kusut.
Berbagai pihak yang terlibat di dalamnya terkesan tutup mulut dan beberapa di antaranya justru menganggap praktek-praktek penyelewengan seperti itu merupakan hal yang lumrah sehingga menjadi bahan ‘bancakan’.
“Sebelum dana dikucurkan calon penerima dana atau pelaksana kegiatan harus bersepakat dahulu dengan oknum-oknum petinggi partai, anggota dewan yang terhormat atau pejabat tertentu mengenai besaran fee,” ujar sumber.
Masih menurut sumber tadi, besaran fee yang harus disetor kepada oknum tersebut, berkisar antara 10–30 persen dari total dana yang dikucurkan.
Eksesnya Kades selaku pengguna anggaran (PA) bersikap latah (ikut-ikutan-red) turut menyunat, sehingga dana yang direalisasikan hanya berkisar 70 persen bahkan hingga 50 persen saja.
Sebagai testimoni, ditemukan sejumlah penerima bantuan di antaranya Pemerintahan Desa (Pemdes) Jatimulya. Dari tiga titik kegiatan di antaranya diperuntukkan pengurugan lapang bola desa berbiaya Rp 100 juta.
Diperoleh keterangan dibelanjakan tanah arugan 93 truk senilai kisaran Rp 25 jutaan, disetor ke oknum anggota DPRD selaku aspirator (AK Kader Gerindra) sebesar Rp 40 jutaan atau setara 40 persen dari pagu anggaran yang diterima melalui H Tatang (Koleha oknum dewan-red), dan sebesar Rp 35 jutaan diduga dibancak Kades Jatimulya Din Wah.
Padahal semestinya jika dana yang sudah diterima dari Bendahara dalam kurun waktu 10 hari belum bisa dibelanjakan, maka PPKD wajib mengembalikan kepada Kaur Keuangan untuk selanjutnya disimpan dalam kas desa (Pasal 62, ayat (2) Perbup Nomor 44/2019).
Lebih mirisnya lagi ketika Karang Taruna mempertanyakan dana peruntukkan lapangan sepak bola, Kades Din Wah malah tersinggung bahkan terkesan murka. “Bila dirinya bersih mengapa mesti risih,” ujar sumber.
Lantaran dananya sebagian besar dibancak, sehingga pekerjaannya mangkrak, faktanya kendati sudah sejak lama dana diterima, namun hingga menyeberang tahun anggaran 2021 pembangunannya tidak kunjung rampung.
Tak hanya itu, kata sumber, Kades Jatimulya Din Wah dalam mengelola anggaran desa bersumber dari tanah kas desa seluas 19,75 bau dan aset tanah Pemprov Jabar seluas dua bau bernilai puluhan bahkan ratusan juta tidak transparan dan sarat KKN.
Menanggapi itu, H Tatang ketika dikonfirmasi awak media via WhatsApp (22/12) mengaku dirinya yang mengambil jatah AK sebagai success fee sebesar Rp 40 jutaan. “Iya saya yang menerima langsung dari Pak Kades Jatimulya Din Wahidin yang merupakan jatah pak dewan sebagai barter pembayaran utang piutang. Bagi saya, sih, bagaimana sikap Pak Kades, jika Kades menghendaki dikembalikan, akan saya kembalikan uang itu,” ujarnya.
Namun anehnya selang beberapa hari pasca dikonfirmasi awak media, H Tatang mengembalikan dana itu berupa urugan tanah yang diratakan dengan beko, tapi menurut Cheker Karang Taruna yang dihubungi sumber nilainya kisaran Rp 20 jutaan.
Kades Jatimulya Din Wahidin saat dikonfirmasi via WhatsApp membantah bila pengurugan lapang bola itu mangkrak, namun diakuinya pelaksanaan kegiatan sendiri baru mencapai 30 persen sesuai hasil Monev pihak kecamatan. Sementara dalam realisasi anggaran pihaknya tidak pernah menyerahkan ke pihak manapun. “Hasil Monev kecamatan menyatakan fisiknya baru mencapai 30 persen, tidak ada kaitan dengan siapapun, pembangunan akan saya pertanggung jawabkan hingga 100 persen,” tandas Kades berkilah.
Penggunaan dana Bandes yang diduga menyimpang juga terjadi di Pemdes Mulyasari. “Dari sebanyak empat titik kegiatan, di antaranya pengadaan Mobil Siaga dengan besaran anggaran Rp 150 juta, namun realisasinya hanya dibelanjakan Rp 70 jutaan atau 47 persen dari dari pagu anggaran,” ujar sumber.
Kades Mulyasari Abdul Basit ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya menyangkal tudingan itu. Dirinya menerangkan bila anggaran yang diperuntukan membeli Mobil Siaga sudah dibelanjakan sesuai pagu anggaran.
Adapun testimoni proyek/kegiatan fiktif seperti terjadi di Pemdes Padamulya, mendapat Bandes Rp 950 juta untuk kegiatan di sembilan titik melalui aspirator anggota dewan HP (dulu kader Golkar, kini Nasdem).
Kades Padamulya saat itu Momo, ketika dikonfirmasi mengungkapkan, bila pekerjaan proyek/kegiatan dikerjasamakan dengan pihak ketiga (diborongkan-red). “Jadi segala sesuatunya sudah diserahkan kepada pemborong Bapak H Lupi,” kilahnya.
Hal serupa juga terjadi di Pemdes Bojonegara, mendapat Bandes Rp 30 juta untuk pembangunan jalan rabat beton Jalan Gambar-Panyurungan (pembangunan lanjutan), melalui aspirator Srdn (Kader PDI-P).
Kades Bojonegara M Rosyidi, dikonfirmasi secara tertulis melalui surat No 66/Jp/Biro-Sbg/Konf tidak berkenan menjawab.
Menanggapi itu, GNPK RI Kabupaten Subang melalui Kabid Pengaduan masyarakat Yudi Prayoga Tisnaya di kantornya Komplek BTN Poskopad Sukajaya, Kelurahan Cigadung-Subang (4/1), menyesalkan tindakan oknum kepala desa dan pihak-pihak yang diduga terlibat menyelewengkan keuangan desa itu dikategorikan perbuatan korupsi.
“Kepala desa itu kapasitasnya sebagai pengguna anggaran (PA) ketika mengelola keuangan desa khususnya dana Bandes harus berdasarkan asas transparansi, partisipatif, tertib, disiplin anggaran dan dipertanggung jawabkan secara baik dan benar,” tandasnya.
Perilaku oknum Kades dan pihak yang terlibat penyelewengan keuangan desa itu bisa dijerat UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001, Jo Pasal 3 bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.
Pihaknya mendesak aparat pengawas seperti Inspektorat Daerah (Irda) dan penegak hukum Kepolisian dan Kejari Subang segera menyelidiki kasus-kasus dugaan pelanggaraan hukum itu. “Jerat oknum pelakunya hingga bisa diseret ke meja hijau. Tak usah menunggu laporan pengaduan, karena ini merupakan peristiwa pidana,” tegas Yudi.
“Bila terbukti beri hukuman setimpal, agar ada efek jera karena dana itu berasal dari uang kenduri rakyat yang dihimpun melalui pajak yang benar-benar harus dipertanggung jawabkan,” sambungnya. (Abh/Esuh)