Oleh DR Mas ud HMN
MASALAH KERUSUHAN Papua yang dihubungkan teori konspirasi pihak asing untuk mengobok-obok Indonesia bergulir sebagai isu yang hangat belakangan ini. Dalam esensi keutuhan wilayah Indonesia dan kebangsaan kita tentu ini penting. Terangkat ke permukaan teori konspirasi yang dimaknai secara sederhana yaitu persekongkolan senyap. Secret setting beberapa orang untuk kepentingan tertentu.
Teori konspirasi oleh Merriam (2018) adalah sebagai setting secret beberapa orang, yang esensinya kesepakataan. Kemudian dapat juga dipadankan dengan teori transformasi Richard Fleefer (2017) bermakna membangun perubahan (officer explain of change). Makna pada konteks Indonesia berkemajuan agaknya di situlah ada benang merah teori konspirasi dengan tranformasi. Setidaknya untuk memberi faham kedua teori itu dan apa implikasi yang ditimbulkannya.
Akhir-akhir kita dapat memperoleh isu Presiden Amerika Donald Trump dengan konspirasinya dengan Presiden Ukraina. Implikasinya sampai pada tingkat mau memakzulkannya dari kursi Presiden. Tidak berlebihan pula ada konspirasi Amerika dan Cina tentang Papua. Meski belum ada implikasi apa-apa. Dalam hal ini, saya pernah berdiskusi dengan seorang sahabat saya bernama Desyanto, mahasiswa S3 di Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Ia mengatakan tidak tertarik dengan ungkapan teori konspirasi karena akan membawa kemundurkan.
Ada apa? Alasannya dalam persfektif dia, tidak ada pilihan kecuali kita ingin maju. Kata dia, ujung dari diskursus teori konspirasi itu adalah kesimpulan yang saling menyalahkan. Misalnya, kita miskin karena konspirasi kaum kapitalis dan semacamnya. Pembelajaran membela diri, melimpahkan salah pada pihak lain.
Ya, nampaknya begitu sepertinya argumen itu menjadi beken, popular, meletakkan kesalahan lantaran pihak lain. Kita ketinggalan, kita mengalami kemunduran karena kekuataan asing dan seterusnya. Intinya, aliran yang memanggul teori konspirasi. Menilai argumen inilah valid. Padahal tidak sepenuhnya benar, bahkan argumen itu salah.
Saya setuju dengan argument dari Desyanto. Hal itu mengingat sejarah sebagai pohon sosial. Termasuk dalam hubungan bangsa Indonesia yang bekemajuan, haruslah dalam konteks yang benar. Bagi pemerhati pembelajaran sejarah, akan mengerti bahwa kebenaran itu adalah keadilan sebagai akar, persatuan sebagai metode dan kemakmuran sebagai buah. Karena tanpa sejarah yang benar maka sejarah akan kehilangan elan vitalnya. Yang demikian menjadi problem bagaikan benang kusut yang tak selesai. Atau pohon yang tak berbuah.
Sejarah kita harus memastikan elan vital berlangsung beketerusan tanpa henti ibarat air yang mengalir. Dengan konspirasi yakni dengan saling menyalahkan, elan vital sejarah menjadi macet. Blunder dan kusut.
Pertanyaannya bagaimana mengganti atau meresisi pandangan yang berbasis teori konspirasi tersebut. Kita coba menjawabnya dengan mengajukan revisi pandangan itu dengan basis saling menyalahkan menjadi solusi transformatif.
Pertama, dengan teori tranformasi akan ada keterusan. Mengingat inti dari teori trasformasi itu adalah mencari jalan, menawarkan solusi. Sekali lagi, sejarah adalah pesan yang membawa elan vital kebenaran berkelanjutan.
Kedua, transformatif memastikan bahwa kebenaran adalah yang eksentensial. Kebenaran dapat dilaksanakan berkelanjutan. Bukan kebenaran yang mandek, macet dan terhenti.
Dari dua persfektif ini transfomasi bermakna juga tanggung jawab, objektif. Sikap hanya menyalahkan saja dengan tidak ada solusi. Sama saja tidak bertanggung jawab. Semestinya bukan demikian.
Ini membawa kita pada kesimpulan bahwa kita berada di jalan yang benar, dan kebenaran itu berlanjut. Kesepakatan pihak lain yang mengganggu eksistensi kebenaran yang kita anut kita tolak. Mari membangun kehidupan yang benar dan mulia.