Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Demokrasi Asli Warisan Sukarno dan Suharto Angkatan 1945, Sri Bintang: Demo Tidak Sama Dengan Makar!

Jakarta, Demokratis

Sri Bintang Pamungkas di bulan Agustus 2020, akhirnya bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Soekarno dan Suharto bisa tumbang saat menjadi Presiden dan orang terkuat.

“Sukarno dan Suharto memang pada akhirnya ditumbangkan oleh demonstrasi oleh rakyatnya sendiri,” urai Sri Bintang Pamungkas di Jakarta dalam cuitannya di sosial media (8/8/2020).

Untuk diketahui, Angkatan 1928 melahirkan Angkatan 1945 oleh Sukarno salah satu Bapak Kemerdekaan bersama Bung Hatta yang juga disebut sebagai The Founding Fathers dan sekaligus Proklamator yang mempersatukan wilayah negara kepulauan terbesar di dunia, dari Sabang sampai Merauke.

Di dalam perjalanannya Bung Karno yang juga penggali Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara dan falsafah bangsa terpaksa harus ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri.

“Karena ia terjebak dengan Nasakom yang dibuatnya yang tidak mungkin diterima di dalam falsafah Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dipaksa hidup berdampingan dengan paham komunis, paham impor dari negeri luar dan dari bangsa lain yang berbeda dengan kita,” ungkapnya.

Secara praktis, Soekarno sendiri terjebak oleh situasi perang dingin, yang memposisikan dirinya menolak kapitalisme, kolonialisme dan liberalisme. Yang saat itu memunculkan dikotomi politik. Dengan memilih mendekatkan diri kepada komunis lewat kedekatannya dengan PKI.

“Padahal Sukarno sudah beberapa kali diperingatkan oleh rakyat dan para tokoh yang pernah mendukungnya, termasuk Hatta tetapi ia tidak hirau lagi,” kata Bintang.

“Puncaknya adalah peristiwa 1965 yang menyadarkan rakyat untuk bergerak melakukan koreksi terhadap Sukarno. Panglima Besar Revolusi Sukarno lalu didemo oleh rakyat dengan mendesak DPRS supaya agar memanggil Sidang Istimewa MPRS,” jelasnya.

Pada saat Sidang Istimewa MPRS yang dimulai pada 7 Maret dan berakhir pada 11 Maret 1967. MPRS berhasil mencabut mandat kekuasaan Soekarno.

“Yang diawali dengan dicopotnya terlebih dahulu para anggota PKI di dalam DPRS dan MPRS,” kata Bintang wong Kediri.

Demo ribuan pemuda, pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI, KAPI dan KAPPI di Jakarta, serta mahasiswa  Bandung. Saat itu tumpah menggerudug ke ibukota.

“Akan tetapi dalam gerakan penumbangan rezim Sukarno itu tidak ada seorang pun yang ditangkap dengan tuduhan makar,” tegas Bintang dengan nada tinggi.

“Wasiat ini masih relevan bahwa gerakan rakyat ketika turun ke jalan sekalipun untuk menyingkirkan pemerintah yang berkuasa, bukanlah tindakan makar melainkan sekedar pelaksanaan konstitusi yang tertinggi, sesuai dengan prinsip daulat rakyat,” ujar Sri Bintang berteori.

“Saya adalah yang melawan Presiden Jenderal Besar Suharto yang berdiri paling depan hingga sampai dipecat dari anggota DPR di era orde baru. Suharto pun saat terjadi pencabutan mandat kekuasaan oleh rakyat adalah juga lewat tekanan demo.”

“Dan saat itu pun tidak ada satu pun rakyat yang ditangkap, ditahan ataupun dihukum karena berbuat makar,” katanya dengan sorot mata yang tajam.

“Padahal jasa Suharto jadi otoriter karena berhasil menghabisi pemberontakan G30S/PKI yang dibantu oleh RRC, yang membikin dirinya pongah kemudian,” kata Bintang lagi.

Dimana dengan bantuan angkatan bersenjata, Soeharto menjadi diktator. Ingin berkuasa terus-menerus sebagai Presiden lewat calon tunggal dengan mengabaikan prinsip daulat rakyat.

Bahkan sempat melawan kekuatan Islam yang hidup di tengah mayoritas dengan memaksakan Pancasila sebagai ideologi asas tunggal bukan sebagai dasar negara dan falsafah bangsa lagi saja.

Sementara nilai-nilai Pancasila telah hidup membudaya ratusan tahun di kalangan rakyat. Atas nama segala usahanya itulah, guna untuk mencapai masyarakat adil dan makmur itu pun, akhirnya Suharto kandas juga karena dilaksanakan dengan cara-cara kediktatoran serta melawan prinsip-prinsip demokrasi dan ekonomi kerakyatan yang sudah tertuang dalam konstitusi.

“Sekiranya Suharto tidak buru-buru berhenti, tentulah gedung MPR RI sudah menjadi ajang persidangan rakyat baginya,” kata Bintang.

Dikatakan, ketika itu tidak hanya rakyat yang menumbangkan Suharto, tetapi juga negara-negara barat, termasuk AS dan para mafia konglomerat Cina yang sempat dibesarkan Soeharto serta para pengkhianat pribumi pengusaha juga ikut serta menumbangkan Suharto yang telah dibesarkannya selama 32 tahun.

Suharto dipermalukan oleh para kapitalis asing dan aseng serta pengusaha pengkhianat domestik di akhir kekuasannya.

“Ternyata para pengusaha itu laten dan licin bersembunyi, namun malah gagal dicium oleh  Suharto sejak dini dan rezim militernya yakni TNI dan Polisi sekarang, dahulu ABRI,” bebernya.

“Dan sejarah kembali terulang, rezim otoriter Suharto jatuh dan digantikan rezim baru lewat demo rakyat tapi tidak ada yang duhukum makar,” ujar Bintang.

Setelah Suharto tumbang bersama jalan kapitalis asing dan aseng bersama dengan menggunakan politisi pengkhianat di era reformasi. Lalu dengan esktrim ditempuhlah amandemen mengubah UUD 1945 menjadi UUD palsu sengaja untuk menghancurkan Indonesia.

Dari mulai tanah serta kekayaan alamnya dirampok di dalamnya dengan memporak porandakan segala kekuatan rakyat, budayanya tidak diurus.

Sementara falsafah Pancasilanya, kerukunan di antara umat beragamanya, Bhinneka Tunggal Ikanya menghasilkan demokrasi oligarki yang dilahirkan oleh pemodal besar dan yang terpilih yang bermodal besar.

“Lalu output-nya jadilah presiden eleksi produk demokrasi oligarki. Misi usahanya itu malah untuk pelemahan terhadap Republik Indonesia. Dahulu berada dalam pelukan barat sekarang bulan madu dengan China Komunis? Daulat rakyat akan menjawabnya,” pungkasnya. (Erwin Kurai)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles