Entah kenapa kata demokrasi kriminal dan kudeta konstitusional itu muncul. Dua persoalan paradoks saling bertentangan. Antara demokrasi dan kriminal serta kudeta dan kostitusional. Padahal dua dari akar kata yang pada dasarnya baik. Bukankah kata demokrasi dan konstitusional itu bernilai? Tiba-tiba diberi ajektif atau tambahan kriminal dan kudeta makna berubah.
Persoalan pertama datang dari Rizal Ramli seorang tokoh intelektual Indonesia mengungkapkan bahwa demokrasi awalnya bagus tapi semakin ke sini dibuat banyak aturan mengubah demokrasi kita mundur dan menjadi demokrasi kriminal (Tribunnews, 4 September 2020).
Wujud demokrasi kriminal oleh Rizal Ramli dikaitkan dengan demokrasi berbasis threshold, yaitu ambang suara dari partai politik yang boleh mencalonkan menjadi presiden. Hanya seorang calon presiden yang didukung oleh partai politik dalam jumlah tertentu yang boleh maju menjadi calon presiden. Yang tidak mencapai batas itu wassalam alias tidak dapat mencalonkan jadi presiden.
Apa yang terjadi turunan dari sistem itu, harus ada langkah berkoalisi dari partai-partai. Muncullah calo menawarkan harga untuk mencalonkan seorang kandidat. Terjadilah tawar menawar. Masing-masing partai menawarkan angka bagi seorang calon. Demokrasi menjadi identik dengan uang. Demokrasi dikalahkan uang. Kemudian muncullah turunan kriminal lainnya, sogok, transaksi proyek dan wani piro (mampu berapa).
Jadi demokrasi bukan lagi dengan nilai suara rakyat, tapi kuasa uang. Dominasi para mafia kejahatan ikut campur memainkan demokrasi di tengah masyarakat.
Persoalan kedua, yaitu kudeta konstitusional. Ini kasus ditunjukkan oleh pembajakan partai politik. Model yang lazim dengan dalil muktamar luar biasa partai. Intinya bagaimana sebuah partai diarahkan kepada satu nama dan oleh karena itu ketua partai diambil alih.
Yang terjadi biasanya, pendiri partai ditumbangkan. Diganti dengan figur atau sosok lain yang dipandang dapat mengamankan kehendak transaski politik. Tiada di suatu nilai atau budaya santun, hormat menghormati.
Kejadian dari berlangsungnya demokrasi kriminal dan kudeta konstitusional menimbulkan kekacauan, kekisruhan yang fatal. Mengapa? Karena tidak ada yang bermanfaat dari demokrasi dan konstitusional karena semua sudah lenyap. Hilang ibarat dibawa angin berembus (gone with the wind).
Lenyapnya manfaat demokrasi dan berantakannya konstitusi ada sebabnya. Tiap sesuatu ada awalnya. Setidaknya dengan mengutip Aristoteles pemikir filsafat Yunani kuno hilangnnya nilai dasar masyarakat disebabkan tiga hal berikut:
Pertama, hilangnya pathos, yaitu rasa pertimbangan, tanggung jawab.
Kedua, hilangnya logos atau logika akal sehat. Di mana rasio tidak tegak pada fungsinya sebagai fungsi ilmu pengetahuan.
Ketiga, hilangnya ethos, nilai pembeda baik dan buruk. Lalu mana yang manfaat dan mana mudharat.
Inilah kiranya yang menjadi sumber atau biang masalah yang terjadi di masyarakat kita. Tentu dengan segala embel dan turunannya. Seperti kejahatan berjemaah, kriminal, suap, korupsi dan segala hal jelek lainnya. Akibatnya kita kehilangan nilai, etika dan tanggung jawab. Sehingga menyebabkan masyarakat menjadi sakit.
Akhirnya, marilah kita sadari ini semua dan berusaha mengatasinya. Dengan memfungsikan pertimbangan moral, meluruskan logika pikir yang sehat serta menjunjung tinggi etika. Semoga berhasil.
Jakarta, 28 Februari 2021
*) Penulis adalah Doktor Pengajar Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammmadiyah Prof Dr Hamka (UHANKA) Jakarta