Rabu, Oktober 30, 2024

Desa dan Kelurahan Menjadi Mesin Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode

Oleh O’ushj.dialambaqa*)

Episode 1. Bupati dan Bupati Asbun telah kita perbincangkan. Berikutnya episod. 2. ASN Sebagai Mesin Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode telah kita perbincangkan. Kini episode 3. Desa dan Kelurahan Menjadi Mesin Politik elektoral Bupati Nina 2 Periode, kita perbincangkan juga. Perbincangan kita tentu dalam konstruk politik Machiavellian, politik Orwellian, politik Post-Truth, dan politik Pork Barrel (politik Gentong Babi).

Bupati Nina tidak saja melakukan Machiavellian, tetapi juga mengelaborasi dengan sempurna politik Post-Truth dan Orwellian, karena dalam acara Pembinaan Pemantapan Penguatan dan Peningkatan Kemampuan Pilar-Pilar Sosial Tahun 2024 (Dok-vidio-PKSPD).

Bupati dengan sangat jelas dan gamblang mereduksi Politik Post-Trut dan Politik Orwellian dalam Machiavellian, supaya apa yang disampaikannya dalam acara-forum tersebut tidak dikatakan sebagai politik rasaisme. Padahal, ketika menstabilo persoalan bibit-bobot-bebet dan keturunanya adalah merupakan persoalan rasisme, yang melanggar hukum kodrati atas derajat demokrasi dan status sosial sebagai warga negara.

Bupati seolah-olah hadir sebagai sosok negarawan, pemimpin yang paham moral, etika dan demokrasi-Pancasila. Bupati seolah-olah hadir sebagai pemimpin bukan sebagai penguasa. Mseki fakta konkretnya menjadi penguasa tulen, bukan pemimpin sebagaimana dimaksudkan dalam konstitusi, demokrasi dan Pancasila.

Dalam acara tersebut, Bupati Nina mengatakan, saya kadang menyayangkan buat masayarakat, juga di pemerintah desa dan di kecamatan juga. Mungkin di sini ada bapak ibu guru , RT, RW juga, ga usah berpolitik, yang ikut-ikutan di politik yang jadinya akhirnya berantem, bener ga? Bener (koor kompak serempak dari yang hadir).

Jika ada orang dari luar negeri adakadabra mendengarkan, tentu, akan mengatakan, sungguh luar baisa, dan patut mendapatkan segudang penghargaan dari pusat, propinsi maupun lembaga-lembaga non pemerintah, bahkan harus mendapatkan penghargaan lembaga-lembaga internasional tanpa kecuali yang berada dalam naungan PBB (Perserikatan Bangsa bangsa). Menjadi takjub setengah mati.

Hal itu tentu karena referensinya tunggal, hanya mendengarkan forum acara formal tersebut, sehingga tidak melihat fakta konkretnya yang terbalik, bagaikan langit dengan bumi. Fatamorgana memang seperti itu. Kita memang sering terperangkap dalam kepalsuan, jika logika dan akal waras sudah dalam kerangkeng  ketidakwarasan. Tidak mampu membaca lompatan narasi yang berantakan, melompat-lompat.

Akan tetapi, kita yang berada di luar negeri adakadabra. Niscaya akan termangu-mangu dan takjub luar biasa, ada seorang pemimpin-Bupati yang amat sangat luar biasa. Tetapi, kita yang berada di negeri adakadabra-negeri soak, menjadi bengong dan tak bisa dimengerti ucapan, kata-kata dan prilaku kekuasaannya.

Fakta konkretnya adalah, para Kuwu-Desa (309 Desa)  dan Keluharan (8 Kelurahan) juga menjadi mesin politik elektoral Bupati 2 periode secara tsm, seperti harus memasang baliho bergambar tunggal Bupati Nina dengan teks: Selamat Ramadhan, Selamat Idul Fitri dan Selamat Idul Adha 1445 H.

Baliho yang mengatasnamakan masyarakat desa masing-masing juga harus dibuat dan dipasang di wilayahnya dengan teks seperti yang tertulis di baliho di atas. Bahkan RT-RW juga harus membuat dan atau memasang baliho Bupati Nina untuk kepentingan elektoral 2 periode, yang dimanipulatif atau disamarkan dengan teks tulisan jumlah warga yang ada di RT-RW  berdasarkan jenis kelamin.

Tidak hanya itu Machiavelliannya. Untuk semua itu, tentu desa menggunakan Dana Desa (DD) untuk kepentingan elektoral Bupati 2 periode. Jika dimatematikan dari baliho ucapan Selamat Ramadhan, Selamat Idul Fitri 1445 H dan Selamat Idulk Adha 1445 H saja menjadi sebesar  (Rp 100.000,00-Rp 200.000,00 X jumlah desa + kelurahan) X 3 sebesar  Rp? (silakan dihitung dengan kalkulator, jangan sampai matematikanya jeblog).  Jumlahnya 309 Desa, 8 Kelurahan dan 31 Kecamatan.

Belum lagi dengan baliho Bupati Nina 2 periode yang mengatasnamakan masyarakat desa. Seolah-olah itu atas prakarsa Kuwu masing-masing desa. Padahal, kakak pembina dan tim pengarah merayap dalam senyap, dan intruksinya, tentu, secara hirakis. Beberapa Kuwu menjelaskannya seperti itu. Jadi bukan atas inisiatif dari para Kuwu. Bupati punya  banyak tentakel untuk melakukan  Machiavellian.

Sehingga, berapa milyar DD yang dipakai, belum untuk kegiatan lainnya yang dibebankan atau menjadi beban desa masing-masing atas kegiatan kebupatian atau kecamatan yang relasi kuasanya untuk kepentingan electoral Bupati Nina 2 periode. Problemnya, tidak ada Kuwu yang tidak melakukan korupsi atau bersih diri. Apakah uang korupsinya itu dimakan sendiri dan atau uang korupsinya mengalir ke mana-mana. Bagaikan Bengawan Solo, mengalir sampai jauh.

Para Kuwu,  langsung maupun tidak langsung harus manut-tunduk dan patuh atas perintah atasannya, di mana anggaran desa tersebut, mau tidak mau harus keluar dari rel UU dan regulasinya, dicincang ramai-ramai. Inspektoratnya tidak mau melek, karena berada di ketiak Bupati. Inspektorat menjadi  mata, telinga, kaki-tangan Bupati. Itu soalnya.

Menurut pengakuan Kuwu, intruksi Machiavelliannya berjenjang, di mana Camat mengemban tugas mengkonsolidasi, memobilisasi Kuwu untuk membuat baliho dengan teks yang telah dibuatkannya. Bahkan lebih jauh dari itu, beberapa Kuwu mengatakan, bahwa Bupati minta kepada Kuwu untuk menargetkan suara warga desanya untuk pemenangan Bupati Nina sebagai petahana pada Pilbup Nopember 2024 nanti.

Beberapa Kuwu menjelaskan, permintaan Bupati Nina sangat tidak rasional, karena untuk bisa mendapatkan 5% suara warganya saja suatu hal yang muskil. Alasan Kuwu sangat rasional, bisa kita terima logika dan akal waras. Tidak ada makan siang dan minum kopi gratis. Bagaimana mungkin itu bisa dipenuhi, uangnya dari mana Kuwu untuk melakukan transaksional dengan warganya yang selalu bilang wani piro.

Tentu, semua kepentingan elektoral tersebut harus merampok DD, meski ada Kuwu yang berapologi, bahwa itu bukan dari DD, melainkan dari uang pribadi Kuwu. Persoalannya, adakah Kuwu yang bersih diri dan atau tidak berkorupsi sepertri yang dimaksudkan dalam UU Tipikor, dan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Argumentasi naif dan irasional, sebab untuk bisa terpilih menjadi Kuwu saja harus menyogok dan atau harus melakukan transaksi jual beli suara dengan masyarakatnya yang bobrok. Masyarakat yang bobrok memegang semboyan wani piro setiap ada momen-pesta demokrasi; Pilwu-Pilkades, Pilgub, Pilbup, Pelpres dan atau Pemilu.

Maoney politics bukan lagi barang haram di negeri adakadabra-Negeri Soak. Soak moral, soak etika, soak integritas, soak agama dalam keberagamaan, soak pengetahuan, dan bahkan soak ingatan untuk melawan lupa, sehingga kebenaran menjadi hilang-lenyap, terkuburkan.

Untuk terpilih menjadi Kuwu, ada yang menelan Rp 1 milyaran bahkan lebih. Logika dan akal waras,  melihat fakta mentalitas calon Kuwu dan Kuwu yang menang dalam Pilwu, tentu, logika dan akal warasnya. harus balik modal. Money politics tidak bisa terbantahkan.

Machiavellian lainnya sebagai fakta konkret, tiba-tiba dadakan digelar program Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa Sebagai Garda Terdepan Pembangunan pada Kamis, 4/7/2024 di di Gedung Srba Guna Sekar Jaya Widasari. Peningkatan Kapasitas TP PKK dan Posyandu, di RM Sekar Wangi Widasari, pada Rabu, 31/7/2024. Digelar  Peningkatan Kapasitas Lembaga Kemasyarakatan (LKD), RT/RT, dan seterusnya pada Selasa, 30/7/2024  di Aula Unwir.

Program dadakan tersebut tersebut tidak ada dalam APBD, karwek. Maksud dan tujuannya sangat mudah dibaca meski dikemas terselubung dengan label peningkatan kapasitas, yaitu kepentingan elektoral Buapati Nina 2 periode. Politik Gentong Babi pun dipertontokan, RT/RW diberikan BPJS Ketenagakerjaan yang ditanggung APBD.

Sama sekali tidak mempertimbangkan bagaimana persoalan RT/RW yang acapkali diganti-gonta ganti, setiapkali ganti Kuwu, RT/RW pun bisa ganti semua, seperti halnya keberadaan pamong desa, perangkat desa. Undang-undang tinggallah undang-undang, sudah menjadi kultul dari Kuwu ke Kuwu semuanya bisa diganti. Seharusnya dibuat dulu regulasinya. Itu namanya, kebijakan politik menghalalkan segala cara, Machiavellian tak bisa terbantahkan lagi.

Semua itu merupakan bagian integral dari Machiavellian, Politik Post Truth dan Orwellian, kekuasaan senantiasa memproduksi hoax,  dan kaum intelektual salon dan akademisi kaleng mencari-cari pembenaran, yang oleh filsuf Perancis-Pierre Boudieu dikatakannya sebagai pengkhiatan intelektual, karena melakukan pembenaran dan mencari pembenaran-pembenaran, bukan mencari kebenaran atas kebenaran itu sendiri. Menyamarkan ketidakbenaran, seolah-olah itu kebenaran adanya.

Machiavellian, akhirnya memngacak-acak APBD, dan bahkan Dana Desa dengan berbagai program dadakan yang serentak menjelang bulan pilbup 2024, lantaran dirinya maju lagi. Sehingga, menjadi semakin jelas bagaikan kaca, kendatipun dikemas dengan berbagai dalih, dalil, apologi dan alibi seperti Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD)-RT/RW, TP PKK-Posyandu dan seterusnya.

Kemasan terselubung gaya Orla-Orba dan Joko Widodo itu mudah kita kenali dan mudah kita baca, karena Orwellian, Post-Truth dan Pork Barrel telah menjelaskan pada kita yang mau melek-yang punya logika dan akal waras,  yang masih memiliki integritas dan moralitas absolut, bahwa yang meng-ada dan yang diada-adakan, itu semua menjelaskan tanda dan penanda, bahwa relasinya adalah untuk kepentingan elektoral Bupati Nina 2 periode. Itu semua mencerminkan moral hasad yang membara, dan itu sesmua sebagai potret fujurism yang bersemayam dalam diri yang membara. ***

Singaraja, 4.8.2024.

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles