Jakarta, Demokratis
Kejadian horor dialami oleh pewarta bersama Stephen (53) dan istrinya, Deasy (45), saat berkunjung ke Gedung Lippo St Moritz, Jl. Puri, Kembangan, Jakarta Barat, pada hari Jumat (21/10/2022) sore. Betapa tidak, saat menumpang lift untuk turun dari lantai 19 menuju ke lantai G (Ground), lift yang ditumpangi mengalami slip.
Lift tersebut meluncur deras dari lantai 17 hingga diduga terhenti di tengah antara lantai 3 dan 4. Pada situasi itu, lampu indikator lantai menunjukan “G”.
Meluncurnya lift itu, kami merasa bagai menaiki roller coaster, jantung serasa melayang ditambah lagi ada goncangan. Suasana jadi lebih menegangkan ketika lift yang terhenti tersebut sempat bergoyang seperti berayun. Timbul rasa panik dan pemikiran jika lift yang kami tumpangi tidak benar-benar sudah berada di lantai G atau lantai dasar.
Kondisi ini diperparah karena kami bertiga tidak bisa langsung keluar dari lift alias terjebak. Meski demikian, di tengah rasa panik, untungnya masih bisa melakukan komunikasi dengan seseorang melalui tombol yang bersimbol lonceng atau bell di dalam lift, sejenis intercom.
Selama terjebak di dalam lift yang error dan tidak mendapat sinyal seluler, seseorang di balik alat komunikasi itu mengabarkan jika teknisi sedang menuju ke lift yang kami tumpangi, namun tidak menyebutkan lift yang kami tumpangi tersebut sedang berada di lantai berapa. Sempat terbayangkan kami sebetulnya sedang tertahan di ketinggian yang bisa berakibat fatal jika kabel lift putus. Cemas dengan situasi itu, kami sesekali melempar canda dan kata-kata rohani untuk mengurangi kepanikan, walau canda itu menjadi hambar cenderung tidak lucu. Bahkan Deasy sempat menangis.
Selama kurang lebih 10 menit terjebak, kemudian lift kembali bergoyang yang membuat jantung berdegup kencang. Sempat petugas dibalik alat komunikasi tidak menjawab saat coba dihubungi, namun akhirnya petugas memberi kabar, kami terjebak di lantai 3. Ini cukup menjawab kegelisahan bahwa kami ternyata memang belum benar-benar di lantai “G”.
Singkat cerita, kami berhasil dievakuasi dengan selamat keluar melalui pintu lift yang dibuka sedikit paksa oleh tiga orang staf teknisi. Lantai 3 itu sendiri kami lihat kondisinya kosong, tampak seperti sedang direnovasi. Lalu kami menggunakan lift lainnya untuk sampai di lantai G.
“Sangat menegangkan. Syok,” kata Stephen setelah berada di lantai dasar sambil berharap segera mendapatkan bantuan medis akibat peristiwa tersebut.
Namun harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Setelah pewarta melaporkan kejadian yang baru saja kami alami ke bagian front office Gedung Lippo St Moritz yang terintegrasi dengan Lippo Mall Puri, malah terkesan diabaikan.
Padahal Stephen yang selama terjebak di dalam lift, mengalami syok, membutuhkan tindakan medis, minimal untuk mengukur tekanan darah dan jantung. Bersama pewarta, Stephen juga sekaligus ingin mengingatkan manajemen gedung dan pengelola untuk memperhatikan kondisi lift yang kami tumpangi dan dinilai berbahaya bagi keselamatan pengunjung.
Terlebih lagi, pewarta sendiri memperoleh informasi dari staf dan narasumber lainnya yang merupakan karyawan bahwa kejadian itu adalah kedua kalinya yang terjadi di hari yang sama. Namun kejadian pertama, penumpang lift “hanya” terjebak, tidak sampai slip.
Sempat berbincang beberapa saat dengan staf security dan teknisi di luar gedung, akhirnya kami diantar oleh staf security ke ruang medis di dalam Lippo Mall Puri yang berada di lantai dasar.
Mirisnya, sekian lama menunggu di ruang medis yang tampak dilengkapi dengan tempat tidur pemeriksaan, tabung oksigen, serta peralatan medis lainnya, tak satupun petugas medis yang muncul. Selama menunggu itu hanya ditemani oleh staf security, tanpa ada tindakan apapun.
“Kami menyayangkan respon kurang siap dan seriusnya dari pihak pengelola gedung dalam penanganan insiden,” cetus Stephen. (Albert S)