Jembatan Kota Intan di Kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, yang dibangun pada tahun 1628 oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) adalah jembatan tertua di Tanah Air.
Jembatan Kota Intan telah berganti-ganti nama sesuai pergantian zaman. Pada mulanya jembatan ini disebut Engelse Burg atau “Jembatan Inggris”. Disebut Jembatan Inggris, karena pada saat jembatan itu dibangun terdapat kubu pasukan Inggris di sebelah Timur jembatan tersebut.
Pada 1628 dan 1629 terjadi penyerangan dari Banten dan Mataram terhadap Benteng Batavia. Penyerangan ini mengakibatkan jembatan gantung atau Kota Intan rusak. Namun dibangun kembali oleh Belanda pada tahun 1630 dan pada saat itu dikenal dengan nama De Hoender Pasarbrug atau “Jembatan Pasar Ayam” karena lokasinya berdekatan dengan Pasar Ayam.
Selanjutnya pada tahun 1655 jembatan ini diperbaiki kembali oleh Belanda karena mengalami kerusakan akibat sering terkena banjir dan korosi akibat air asin, dan namanya diganti menjadi Het Middelpunt Brug atau “Jembatan Pusat”.
Jembatan gantung di Jakarta Barat tersebut sarat akan sejarah, antara lain menjadi saksi pembantaian ribuan orang Tionghoa oleh pejabat VOC ratusan tahun lalu -oleh karena itu sungainya dinamakan dengan Kali Bangke atau Angke, yang konon katanya darah dari mereka yang dibantai itu sempat memerahkan pesisir laut di pelabuhan Tanjung Priok dan Sunda Kelapa selama berminggu-minggu.
Jembatan Kota Intan dilengkapi dengan semacam pengungkit untuk menaikkan sisi bawah jembatan. Penjaga dengan sigap akan menarik tali pengungkit jika ada kapal yang akan melewati jembatan menuju Kota. “Sejak tidak ada lagi kapal lewat sini, jungkit tidak lagi berfungsi. Saat ini sudah aus,” kata Yahya Saputra budayawan Betawi.
Merujuk sejarah, jembatan di kawasan Kota Intan ini pernah lima kali kali berganti nama. Seusai dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda, jembatan dinamai Jembatan Inggris. Alasan penamaan itu, karena tidak jauh dari lokasi itu yaitu di dekat Kafe Galangan, dahulu dibangun benteng pertahanan milik Inggris. Nama itu lalu diubah menjadi Jembatan Pusat, disinyalir karena pengelolaannya dipegang pemerintah pusat Hindia Belanda.
“Karena di sisi jembatan pada tahun 1900-an ramai sekali dan dijadikan pasar ayam, nama jembatan berganti lagi menjadi Jembatan Pasar Ayam,” ujarnya.
Di muara Ciliwung yang merupakan bandar Sunda Kalapa inilah pada 22 Juni 1572, Panglima Balatentara Muslim Falatehan dari Demak mengusir Portugis yang secara sepihak mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Hindu Pajajaran yang berpusat di Batutulis, Bogor.
Di kedua sisi jembatan Kota Intan kini berdiri terminal bus Jakarta Kota. Di sekitar tempat inilah Falatehan mendirikan Kraton Jayakarta. Kota Jayakarta terbentang dari utara ke selatan di mana terdapat kedua anak sungai Ciliwung.
Di tempat yang banyak terdapat pohon kelapa inilah kira-kira berdiri kraton (dalem). Di sebelah selatan terdapat alun-alun dan di sebelah barat alun-alun terdapat sebuah masjid dan selatan alun-alun terdapat pasar.
Tata kota dengan penempatan bangunan-bangunan seperti kota Jayakarta pada dasarnya tak berbeda dengan tata kota lainnya di pesisir utara Jawa pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam seperti Banten, Cirebon dan Demak.
“Bangunan-bangunan kraton, masjid, pasar, dan alun-alun mencerminkan pusat kekuasaan politik antara masyarakat dengan raja dan birokrat. Ketika itu Kraton Jayakarta , juga terdapat perumahan para abdi dalem, dikelilingi oleh pagar kota dari bambu yang kemudian menjadi pagar tembok,” kisahnya.
Dari berita Belanda, penduduk kota utama Jayakarta sekitar tiga ribu kepala keluarga atau sekitar 15 ribu jiwa. Pada 30 Mei 1619 Belanda tanpa mengenal ampun telah menghancurkan dan membumihanguskan Kraton Jayakarta. Termasuk masjid tempat ibadah yang seharusnya dihormati. Pihak penjajah bukan hanya menghancurkan Jayakarta tapi mengusir seluruh penduduk.
15 ribu jiwa termasuk anak-anak kecil harus menyingkir ke Jatinegara Kaum yang jaraknya sekitar 20 km dari Kota Intan.
Kala itu mereka harus melewati hutan belukar. Di Jatinegara Kaum mereka mendirikan Masjid Asy-Salafiah yang hingga kini masih berdiri tegak. Pangeran Jayakarta dan anak buahnya melalui masjid menggerakkan pasukan bergerilya melawan Belanda.
Kali Besar menjadi sumbu membelah Kota Lama menjadi dua bagian utama: barat dan timur menyambung dengan pelabuhan kanal (haven kanaal) di muara Sunda Kalapa.
Kota Lama sekitar Kali Besar sampai 1880 terletak dalam kota bertembok. Hingga kita dapati sekarang Jalan Pintu Besar dan Jalan Pintu Kecil. Dipisah oleh Kali Ciliwung yang sudah diluruskan pada abad ke-18, awalnya Kali Besar menjadi pemisah antara kota bagian timur dan bagian barat (Kali Besar Timur dan Kali Besar Barat).
Kota di bagian timur didominasi warga Belanda dan bagian barat oleh warga Cina, Portugis, dan berbagai etnis lainnya. Mulanya baik etnis Eropa maupun Cina tinggal dalam ‘tembok kota’. Namun, setelah pembantaian Cina pada Oktober 1740 warga Cina dilarang tinggal di sana, dan pindah ke kawasan Glodok.
Ketika Gubernur Jenderal Marsekal Herman Daendels memindahkan pusat kota Batavia ke arah selatan (Weltevreden), warga Eropa tetap menjadikan Kali Besar sebagai pusat perniagaannya. Dari Weltevreden (sekitar Harmoni, Gambir, Pasar Baru, dan Lapangan Banteng) mereka naik trem listrik ke Kali Besar. Dari kediamannya, para bule ini membawa bekal untuk makan siang dan pulangnya kembali naik trem listrik.
Dahulu, di Kali Besar tinggal para pedagang kaya VOC dan pada masa itu merupakan kejayaan kawasan ini. Mereka tinggal di rumah-rumah besar yang mentereng dan bagian dalamnya berlantaikan marmer lokal yang sangat indah. ***