Tapteng, Demokratis
Panen raya ikan kearifan lokal lubuk larangan yang digelar warga Kelurahan Sibabangun, Kecamatan Sibabangun, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), yang tergabung dalam kelompok lubuk larangan Subulussalam-Taqwa, Kamis (23/9/2021), melahirkan kekecewaan yang mendalam.
Pasalnya, hasil panen yang digadang-gadang mencapai 1.500 kg lebih, hanya tinggal mimpi semata. Setelah melakukan pemanenan seharian penuh, ikan yang berhasil ditangkap hanya mencapai 300 kg. Padahal, untuk mencapai target panen, berbagai alat tangkap tradisional dan moderen termasuk setruman listrik telah diterjunkan.
“Setiap tahun kita selalu memanen dengan hasil produksi sekitar 1,5 ton. Tapi kali ini jauh dari perkiraan, menurun hingga 80 persen,” ujar Ambat Parsaulian Hutagalung, Ketua lubuk larangan Subulussalam-Taqwa, Minggu (26/9/2021).
Diungkapkannya, bukan karena faktor ketidakmampuan menangkap atau hoki yang tidak ada, sehingga target panen yang ditentukan tidak tercapai. Faktor ketersediaan ikan menjadi penyebab utama hasil panen menurun. Selama ini, lubuk larangan tersebut selalu dipenuhi ikan-ikan berbagai jenis. Namun dalam kurun waktu satu tahun belakangan, kepadatan ikan yang selalu menjadi ciri khas lubuk larangan, sudah tidak terlihat lagi.
Diduga, pembuangan limbah pabrik kelapa sawit yang beroperasi di hulu sungai menjadi penyebab utama menurunnya hasil panen. Setiap hari, sungai Sibabangun yang menjadi Kawasan Konservasi Perairan (KKP) selalu keruh, berlumpur dan berminyak. Kondisi ini ditenggarai menghambat perkembangan ikan. Bahkan tidak jarang, ikan-ikan bermatian akibat keracunan atau kehabisan oksigen.
“Hasil terendah dalam lima belas tahun terakhir. Kondisi ini terjadi sejak beroperasinya pabrik kelapa sawit di hulu sungai,” terang Ambat.
Ia menambahkan, terhambatnya perkembangan budi daya ikan juga dirasakan kelompok lubuk larangan lainya, termasuk kelompok lubuk larangan di Kelurahan Lumut, Kecamatan Lumut, yang memanfaatkan alur sungai Sibabangun sebagai zona kerifan lokal lubuk larangan masyarakat sekitar.
“Mereka juga merasakan itu. Ikan-ikan tidak mau besar dan berkembang,” tukasnya.
Senada, pengurus lubuk larangan lainnya, Jamin Arsyad Pasaribu menegaskan, menurunnya produksi budi daya ikan di lubuk larangan yang mereka kelola, akibat kualitas sungai Sibabangun yang tercemar. Air sisa proses pabrik kelapa sawit yang dialurkan ke sungai Sibabangun membuat kualitas air menurun. Padahal, sebagai habitat ekosistem bagi ikan, kualitas air yang baik merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya.
“Bagaimana mau berkembang, airnya sudah tercemar. Ikan-ikan banyak yang mati, telur-telur nggak ada lagi yang jadi. Kita menduga limbah yang dialurkan ke sungai Sibabangun mengandung berbagai macam larutan dan aneka bahan polutan lainnya,” kata Jamin, yang diamani Yusuf Harahap, Soritua Napitupulu, Buyung Hasugian, dan Ramadhan Situmorang, warga Sibabangun lainnya.
Akibat tercemarnya sungai Sibabangun, Jamin mengaku visi misi kearifan lokal lubuk larangan tidak lagi dapat terlaksana. Seyogianya, sebahagian hasil tiket mancing mania dan penjualan ikan, disumbangkan untuk membantu pembangunan rumah ibadah dan pemenuhan perlengkapan peralatan sosial. Namun karena produksi yang menurun drastis, kegiatan tersebut terpaksa ditiadakan.
“Bagaimana lagi mau dikatakan, peminat mancing mania juga berkurang. Mereka sudah tahu ikannya tidak banyak lagi. Ikan yang dipanen juga hanya cukup untuk dinikmati warga,” tutupnya. (MH)