Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Episode 5. Dirut PDAM TDA, Avonturir Ataukah Profesional?, harus kita perbincangkan, karena ada relasi kuasa. Episode sebelumnya kita telah memperbincangkan episode 4. Bakul Banyu Reinkarnasi Dari Dirut PDAM, Bermain Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode. Episode 3. Desa dan Kelurahan Menjadi Mesin Politik elektoral Bupati Nina 2 Periode. Episode 2. ASN Sebagai Mesin Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode dan episode 1. Bupati dan Bupati Asbun.
Episode 5. Dirut PDAM TDA, Avonturir Atau Profesional?, adalah bagian yang tak terpisahkan dalam konstruk politik Machiavellian, politik Orwellian, politik Post-Truth, dan politik Pork Barrel (politik Gentong Babi) untuk menjawab pertanyaan publik atas persoalan Dirut PDAM baik secara personal-tubuh publik maupun dalam konteks sebagai ke-dirut-annya yang seringkali menjadi samar dan campur aduk untuk menjelaskan persoalan profesionalitas yang dimaksudkan dalam keprofesionalan.
Ady Setiawan yang amat sangat suka memajang gelarnya: Dr, Dr, Ir, H. Ady Setiawan SH., MH, MM, MT, IPM Asean Eng, bagaikan rentengan bledogan pesta hura-hura. Entah maksudnya apa gelarnya suka dipajang. Padahal, seharusnya otaknya yang harus dipajang, karena gelarnya tidak parallel dengan isi batok kepalanya, otaknya berada di dengkul, dan dengkul difungsikan menjadi otaknya. Itu soalnya.
Ady Setiawan adalah mendadak mundur dari status Dirut PDAM Jember, dan kini menjadi Dirut PDAM TDA Indramayu melalui jelur (K)KN (Kolusi dan Nepotisme)-sang kuasa bandar-Bupati Nina Agustina.
Untuk mengelabui publik yang tidak melek, Bupati membentuk pansel rekruitmen jabatan Dirut PDAM, seolah-olah keberadaan Ady Setiawan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; PP. 54 Tahun 2017 tentang BUMD. Jalur seleksi dipublikasikan, dan Ady Setiawan seolah-olah melalui jalur seleksi terbuka untuk umum, karena memang ikut seleksi.
Naasnya, tidak ada kebohongan atau kejahatan itu sempurna untuk disembunyikan. Jika berangkat-bermula dari kebohongan akan melahirkan kebohongan berikutnya untuk menyembunyikan kebohongan-kejahatannya.
Hukum alamiah atau hukum kodrati, ternyata menjadi kebalikannya. Jika kebohongan ditutupi dengaan kebohongan, manjadi keniscayaan bau busuk yang membusuk tersebut akan menjadi fakta yang terbuka sebagai sebuah kebohongan atau permainan atau pemanipulasian suatu value kebenaran itu sendiri.
Pansel mengumumkan hasil seleksi dengan Surat No. 23/Pansel-BUMD/VI/2021 yang ditanda tanggani oleh Ketua Tim Penguji Maman Kostaman (Asda). Ady Setiawan dinyatakan tidak lolos seleksi.
Pansel membuat keputusan dalam suratnya hanya menetapkan 3 besar, yaitu Cecep Ferdy Firdaus Nugraha (R-1), Mochamad Nawiruddin (R-2) dan Supendi (R-3). Pleno penetapan hasil seleksi digelar pada 3/6/2021, dan pada Rabu, 9/6/2021 harus mengikuti proses lanjutannya, yaitu wawancara dengan Bupati Nina sebagai KPM (Kuasa Pemilik Modal).
Tahapan wawancara dibatalkan, tidak dilaksanakan. Pembatalan oleh Bupati tanpa argumentasi yang bisa diterima logika dan akal waras, kecuali alasan konkret, yaitu poltik Machiavellian. Munculah nama Ady Setiawan yang konon hasil seleksinya berada pada rangking ke-5.
PP No. 54 Tahun 2017 sebenarnya memberikan ruang sampai dengan 5 besar, tetapi pansel telah menetapkan hanya memutuskan 3 besar. Artinya itu sudah mejadi ketetapan-harga mati dari keputusan pansel. Ady Setiawan tidak lolos, tetapi yang dilantik menjadi Dirut PDAM adalah Ady Setiawan, Kamis, 4/11/2021.
Karena pansel posisinya adalah ASN di bawah kuasa bandar, maka menjadi lumpuh total, kecuali menuruti kemauan sang bandar-Bupati Nina yang otoriter. Tak peduli mau menabrak aturan atau apa pun namanya. Keputusan bandar adalah mengangkat dan melantik Ady Setiawan-kolega lamanya untuk menjadi Dirut PDAM, Kamis, 4/11/2021. Kolusi dan nepotisme menjadi fakta yang konkret dan tak bisa terbantahkan adanya.
Fakta konkret tersebut menunjukkan-mengidentifisir bahwa Ady Setiawan bukanlah orang profesional seperti yang kita definisikan dengan profesionalisme. Karena, Ady Setiawan bisa menjadi Dirut PDAM TDA melalui jalur nepotisme dan kolusi yang dikemas dengan seolah-olah rekruitmen jabatan Dirut PDAM telah sesuai regulasi.
Hal lainnya, yang membuat hasil rekruitmen tersebut tidak akan menghasilkan orang profesional, karena pansel sendiri juga tidak tergolong sebagai orang profesional, bahkan buta membaca Neraca dan tidak melek bagaimana persoalan PDAM yang sakit tersebut kemudian sebagai materi dalam mencari orang profesional untuk menangani tata kelola PDAM. Pansel dalam konteks ini, telah melakukan pembohongan kepada publik-rakyat sebagai pemegang saham BUMD-PDAM.
Debas (Dermayu Banyu Sehat), digembar-gemborkan dan diklaim oleh Dirut sebagai program inovasi. Padahal itu bukan suatu hal yang baru. Hal yang bisa saja. Klaim sebagai program inovasi tersebut mencerminkan klaim bukan sebagai orang yang profesional, melainkan klaim seorang ovontorir, karena tidak dibangun dengan argumentasi logika dan akal waras akademik.
Inovasi program Debas menjadi program-inovasi Dlebus (omong kosong, membual), karena fakta konkretnya, PDAM yang ditangani Dirut Ady Setiawan, masih jauh dari stantar baku mutu air sehat berdasarkan Permenkes No.492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Pasal 1 angka 1 menyebutkan, air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Pasal 3 ayat 2 (wajib dipatuhi dan ditaati, dijalankan) Permenkes tersebut, ternyata fakta konkretnya diabaikan oleh Ady Setiawan sebagai Dirut PDAM yang memegang otoritas manajemen dan sumber daya manusia di PDAM. Problematikanya, BUMD-PDAM sebagai Tong Sampah, yang kemudian dikelola dengan Manajemen Sampah pula dari sang ovonturir. Itu soalnya.
Ady Setiwan baru menjadi Dirut, belum sampai seumur jagung, telah mengambil tindakan, yang diklaim oleh Dirut sebagai tindakan profesional, yaitu memecat-memberhentikan 15 pegawai-honor yang telah bekerja melampaui masa percobaan menurut UU Ketenagakerjaaan. Setelah diberhentikan, selang bulan, ke-15 orang tersebut dipanggil kembali untuk ikut menjalani proses seleksi-rekruitmen pegawai.
Fakta konkret tersebut menunjukkan sikap Manajemen Sampah, dan bukan orang profesional, karena orang profesional akan mengambil keputusan setelah dilakukan analisis koprehensif, melakukan analisis kebutuhan ketenagkerjaan dan beban kerja, dan seterusnya. Bukan dakir (dadak mikir), yang sama halnya dilakukan Bupati Nina dalam banyak hal. Cocok betul, nyekrup, baut-ketemu-mur. Orang profesional-manajemen profesional, tidak akan melakukan tindakan menjilat ludahnya sendiri setelah ludah tersebut sudah dikeluarkan.
Masih banyak lagi fakta konkret untuk membuktikan bahwa Dirut PDAM bukanlah orang profesional, melainkan seorang ovonturir. Untuk itu mari kita berikan fakta konkret ke-ovonturir-annya, sekalipun tidak mungkin dalam keterbatasan ruang ini kita paparkan semua fakta konkretnya.
Pada spanduk-baliho yang diproduksi dan dipasang tersebar di mana-mana, mengatasnamakan Bakul Banyu, yang sesungguhnya adalah sebagai Dirut PDAM, mengatakan, Mengabdi Untuk Indramayu. Baliho lainnya, Dirut mengatakan, Dukung Bupati Nina 2 Periode.
Dekontruksi Jacques Derrida mengajarkan pada kita untuk membongkar persembunyian dalam kata. Dalam hal ini, kata-kata: Mengambdi Untuk Indramayu, dan kata-kata: Dukung Bupati Nina 2 Periode.
Kata-kata pada dua hal tersebut merupakan persembunyian makna manipulatif, karena yang sejatinya adalah bukan mengabdi untuk Indramayu, tetapi mengabdi untuk kepentingan-menghamba pada Bupati Nina dan kepentingan elektoral.
Kepentingan elektoral jika kita bongkar dalam persembunyian manipulatif makna-kemunafikkan, dengan dekontruksinya Derrida menyimpulkan adanya kepentingan dalam dua pihak-personal, yaitu untuk Bupati Nina, dan untuk kepentingan elektoral dirinya untuk dilirik atau digaet oleh Bupati Nina dan atau untuk kepentingan elektoral dirinya jika ada lembaga survey politik elektoral. Itu semua adalah karakteristik dari seorang ovonturir. Ambisius mengalahkan rasionalitas.
Mengail di air keruh, siapa tahu dapat ikannya. Tindakan yang spekulatif. Tindakan spekulatif bukanlah ciri karakteristik profesionalitas. Jika profesional, alasan apa untuk tidak memilih jalur independen, dan alasan apa tidak mundur dari Dirut atau sebagai pegawai PDAM, karena peraturan perundang-undangan melarangnya dan atau harus mengundurkan diri dulu jika mau terlibat dalam kegiatan politik elektoral.
Fakta konkret lainnya yang bisa kita bongkar makna kata dalam persembunyian manipulatif atau kemunafikkan adalah baliho dengan tulisan: Bakul Banyu Mengabdi Untuk Indramayu, dan baliho lainnya dalam rentang bulan politik elektoral bertuliskan: Siap Mengabdi Untuk Kota Semarang. Monggo Sareng Guyup Membangun Semarang.
Bagaimana mungkin bisa mengabdi pada dua daerah yang bersamaan rentang waktunya, apakah PDAM Indramayu satu bejana dengan PDAM Semarang setelah ditangani Dirut Ady Setiawan? Dungu betul jika begitu, kita bisa menerima logikanya. Pengabdian macam apa yang bisa diberikan oleh seorang yang bernama Ady Setiawan yang suka memajang gelarnya bagaikan rentengan bledogan pesta hura-hura.
Logika dan akan waras baru bisa menerima jika Ady Setiawan posisinya sebagai Presiden, itu baru bisa mengatasnamakan mengabdi untuk negeri. Pun jika Ady Setiwan cuma menjadi Gubernur apalagi hanya menjadi Bupati, hal yang naif, hal yang konyol betul kedunguannya akan bisa dan atau dibolehkan dalam rentang waktu yang bersamaan untuk mengabdi pada kepentingan kedua daerah tersebut.
Dungu betul, jika kita bisa memaklumi bahwa itu bisa saja dilakukan. Kita juga menjadi dungu keterlaluan jika kita melakukan pembenaran bahwa Ady Setiawan sebagai Dirut adalah untuk mengabdi atau mengabdi untuk Indramayu.
Bukankah, Ady Setiawan sebagai Dirut PDAM, gaji dan tunjangannya (penghasilan) berdasarkan standar keprofesionalitasan, meski dirinya tidak bisa membuktikan sebagai orang profesional.
Maka, sebagai pejabat publik, jika tahu diri tahu malu dan punya kemaluan, akan sadar bahwa dalam dirinya tidak memiliki tubuh privat. Sebagai pejabat publik dalam dirinya hanya memiliki tubuh publik, karena Makan minum, sakit, ngorok, batuk, gelak tawan, berak dan kencingnya, semua harus ditanggung rakyat. Maka itu yang disebut sebagai tubuh publik.
Jika menggunakan diksi ‘mengabdi’, maka Ady Setiawan tidak akan meminta dan atau menerima gaji dan tunjangannya yang totalnya +/- Rp 25 jutaan/bulan yang harus dibayar oleh rakyat sebagai pemegang saham PDAM, padahal rakyat tidak pernah tahu seperti apa neraca PDAM, sakit parahkah atau biasa-biasa saja?
Jika sebagai pengabdian, seharusnya menerima berapapun besarnya gaji dan tunjangan yang diberikan kepadanya, harus diterima, karena itu sebagai bentuk bukti pengabdian. Mengabdi Untuk Indramayu.
Jika mengabdi untuk kota Semarang, dipersilakang henkang dari PDAM-Indramayu. Karena yang dibutuhkan sekarang bukan orang yang bersikap mendua atau ovonturir, melainkan orang yang menjadi pejabat mempunyai karakter visioner, tahu diri, tahu malu dan punya kemaluan, jika Indramayu ingin merubah takdir sosialnya.
Untuk itu, bisakah kita percaya atau menerima logika bahwa Semarang amat sangat menrindukan dirinya, sehingga sejarah dan zaman memanggilkanya kembali pulang ke Semarang.
Bukankah di Semarang amat sangat banyak para cerdik cendika, intelektual dan para profesional jika kita sandingkan atau bandingkan dengan yang namanya Ady Setiawan yang suka memajang gelarnya bagaikan rentengan bledogan pesta hura-hura, tetapi tidak memperlihatkan atau memajang pikiran-pikiran briliannya atau lompatan-lomapatan imaji liarnya yang brilian yang dituntun medodologi akademik.
Kata dan kalimat yang berhamburan di ruang publik, yang menjadi berita rilis media dan atau yang berserakkan di spanduk-baliho hanya mencerminkan potret seorang ovonturir, bermain slogan dan jargon, di mana kata-kata dimainkan dalam persembunyian makna.
Yang tersisa, dari kesimpulan atas fakta konkret atas dasar dekontruksi Jacques Derrida adalah kata ‘mengabdi’, merupakan pemanipulasian dari kata ‘abdi’. ***
Singaraja, 6.8.2024
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com