Jakarta, Demokratis
Rencana pemerintah mengirimkan 600 ribu pekerja migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi harus diiringi dengan skema pengawalan yang ketat, mengingat di masa lalu sebelum ada moratorium, kerap terjadi penyiksaan terhadap PMI yang mencari nafkah di Arab Saudi.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai NasDem Nurhadi mengingatkan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) jangan lagi mengandalkan command center atau call center, melainkan jemput bola langsung ke lapangan.
“Selama ini, pemerintah memang telah menyediakan call center pengaduan bagi PMI yang menghadapi masalah. Namun, pada praktiknya, layanan ini sering kali kurang efektif karena berbagai keterbatasan, seperti sulitnya akses komunikasi bagi PMI yang bekerja dalam kondisi tidak memungkinkan,” ucap Nurhadi saat dihubungi di Jakarta, Minggu (16/3/2025).
Dirinya menilai, penting bagi pemerintah Indonesia untuk membentuk tim khusus (timsus) yang secara berkala mengecek kondisi PMI di luar negeri.
“Tim ini dapat bekerja sama dengan perwakilan Indonesia di Arab Saudi untuk melakukan pengawasan, memberikan pendampingan hukum, serta memastikan bahwa PMI bekerja dalam kondisi yang layak dan aman,” ujarnya.
Terkait pencabutan moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi, kata dia, tentu menjadi keputusan yang perlu dikaji secara mendalam.
“Pasalnya, selama ini kita masih sering mendengar kasus kekerasan terhadap PMI di negara tersebut, mulai dari eksploitasi, penyiksaan, hingga ancaman hukuman berat seperti penjara dan hukuman mati,” ungkap Nurhadi.
Meskipun kebijakan ini membuka kembali peluang kerja bagi banyak warga negara, perlindungan terhadap PMI harus menjadi prioritas utama. “Dan terkait rencana pemerintah yang akan mengirimkan 600 ribu PMI ke Arab Saudi setelah moratorium dicabut, ini adalah angka yang sangat besar dan berisiko jika tidak diimbangi dengan sistem perlindungan yang kuat,” tegasnya.
Pemerintah, lanjut dia, harus memastikan setiap PMI yang diberangkatkan benar-benar memahami hak-haknya, mendapatkan kontrak kerja yang jelas, serta memiliki akses terhadap bantuan hukum jika menghadapi masalah di tempat kerja.
Selain itu, perlu ada perjanjian bilateral yang lebih ketat dengan Arab Saudi, agar hak-hak PMI lebih dijamin dan mereka tidak lagi rentan terhadap perlakuan semena-mena.
“Kesimpulannya, pencabutan moratorium ini harus disertai dengan langkah-langkah konkret dalam melindungi PMI. Tanpa sistem perlindungan yang kuat, kebijakan ini justru bisa meningkatkan risiko bagi pekerja kita di luar negeri,” ucap dia.
Sebelumnya, Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding mengungkap hasil pembahasan mengenai pekerja migran dengan Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Merdeka sore ini. Dalam pertemuan tersebut, Karding melaporkan rencana pembukaan kembali kerja sama bilateral terkait penempatan tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi setelah moratorium yang diberlakukan sejak 2015.
“Hari ini saya menghadap kepada Pak Presiden dalam rangka melaporkan rencana kita, Kementerian P2MI, untuk membuka kembali kerja sama bilateral penempatan tenaga kerja di Arab Saudi. Kita ketahui bahwa sejak tahun 2015 kesepakatan kerja sama dengan Arab Saudi itu dimoratorium oleh pihak kita di Indonesia,” kata Karding kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2025) sore.
Menurutnya, moratorium yang telah berlangsung hampir satu dekade mengakibatkan lebih dari 25 ribu pekerja Indonesia tetap berangkat ke Arab Saudi secara ilegal setiap tahunnya. Oleh karena itu, Kementerian P2MI telah menjalin komunikasi dengan Kementerian Tenaga Kerja Arab Saudi untuk membahas pembukaan kembali kerja sama tersebut.
“Itu yang kami laporkan kepada Pak Presiden dan dalam waktu dekat ini MoU-nya akan ditandatangani di Jeddah,” ucapnya.
Dalam pembahasan ini, Karding mengungkap Prabowo menyambut baik rencana pembukaan kembali kerja sama ini. Prabowo bahkan turut meminta agar skema pelatihan serta penempatan pekerja segera disiapkan.
“Beliau alhamdulillah sangat setuju dan kita ketahui bahwa pada kesempatan ini memang Arab Saudi menjanjikan sekitar 600 ribu job order, 600 ribu orang untuk dikirim di sana, terdiri dari 400-an ribu domestik pekerja lingkungan rumah tangga yang 200-250 ribu mereka janjikan untuk pekerja formal,” ujarnya. (EKB)