Indramayu, Demokratis
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, berupaya memediasi atau mengurai benang kusut yang jadi konflik dan polemik hubungan kerja Wakil Bupati (Wabup) dengan Bupati, yang selama ini diduga bagai benang kusut, dan atau terjadi disharmonisasi hubungan kerja.
Agar tidak menjadi polemik yang tak berujung, maka kekusutan itu mulai direspons dan diurai oleh DPRD dengan mengadakan dialog kepada Wabup melalui forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) di gedung DPRD Jalan Jendral Sudirman Indramayu, pekan lalu.
Namun forum dan hasil dari RDP Dewan dan Wabup itu, mendapat tanggapan kritis dari Oushjdialambaqa selaku Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) Indramayu.
“Jika melakukan pembacaan sampai hari ini, Jumat (14/10/2022) yang benar, Dewan hanya mendengarkan uraian benang kusut sepihak atas disharmoni kinerja Bupati dengan Wakil Bupati (Wabup). Bukan upaya memediasi konflik kepentingan dari keduanya. Itu fakta konkret sampai hari ini, karena pada realitasnya seperti tidak ada RDP yang digelar,” ujar biasa disapa Oo.
Selanjutnya dipaparkan bahwa Bupati tetap dengan sikap seperti itu, dan Wabup juga tetap tidak ada perubahan atas hak protokoler kekinerjaannya, sebagaimana dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Terutama pasal-pasal tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Bupati dan Wabup, dan seperti yang dimaksudkan dalam sumpah jabatan Bupati dan Wabup. Dewan belum berani untuk menguji kebenaran klaim masing-masing pihak tersebut. Jika benar kutipan media, Wabup mengatakan bahwa tidak ada masalah hubungan dirinya dengan Bupati, itu jelas lagi bersinetron namaya, padahal nyata dan konkret dikatakannya hak protokolernya mulai dari urusan ajudan, urusan fasilitas kinerjanya, urusan dalam kerumah tanggaan kedinasan, keamanan kedinasan dan seterusnya yang dicabut atau tidak diberikan.
Semua itu ada pada otoritas Bupati. Sekretariat Daerah (Setda) atau bawahan Bupati pasti tidak akan berani, jika tidak ada perintah, karena nyaris semua Aparatur Sipil Negara(ASN) pada level yang menduduki jabatan strategis akan menjadi penghamba kekuasaan, atau akan bersedia menjadi herder kekuasaan Bupati, demi jabatan dan tunjangan jabatan, yang kisarannya bervariatif. Mulai dari Rp24 juta per bulan. Secara hirarkis ke bawah sesuai dengan jabatan yang didapatnya dengan susah payah. Itu semua rakyat yang harus membayarnya.
Konflik kepentingan itu terbaca konkret di mata publik. Hal itu bisa kita lihat dari salah satu contoh konkret yang tidak saja melanggar UU tentang Pemerintah Daerah. Seperti Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam UU adalah adanya Bupati dan Wakil Bupati, dan symbol-simbol latah karena ingin pamer foto diri. Maka selalu saja ada foto Bupati dan Wabup dalam semua spanduk atau baliho, apalagi untuk kepentingan Hari Jadi Indramayu, yang lebih tepat saya katakan, “Tujuh Oktober Hari Mendongeng Wiralodra Bagi Indramayu”. Sebab pada momen itu hanya tampak gambar Bupatinya saja, jika ada gambar yang berdampingan, itu pun bukan gambar Wabup melainkan gambar di sebelahnya adalah gambar Dirut Perusahaam Daerah Air Minum (PDAM), Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Kepala Sekolah, Kuwu (Kades) dan seterunya. Bahkan ada yang berani dalam gedung resmi hanya terpampang gambar Bupatinya saja.
Hal tersebut juga jelas melanggar UU yang tidak saja melanggar etikabilitas publik. Bahkan hak protokoler yang dijegal atau dicabut, itu jelas melanggar UU, belum lagi terkait kebijakan lainnya yang dibuat oleh Bupati, nyaris semua menabrak regulasi atau peraturan perundang-undangan.
Atas logika dan akal waras, kemudian kita mendesak Dewan untuk segera masuk ke dalam kewajiban UU untuk menggelar hak angket, kemudian lanjut ke pemakzulan, sekaligus untuk menguji bantahan Bupati, dan menguji penjelasan Wabup yang menggunakan kata-kata yang amat santun, padahal itu kebalikannya.
Jadi sangat hipokrit jika Bupati melakukan bantahan bahwa hubungannya dengan Wabup tidak ada keretakan. Bupati justru malah memainkan kata-kata yang manipulatif, atau kata-kata yang dipolitisasi. Padahal yang berbicara konkret adalah bukti, fakta dan realitas empirik, nyatanya hingga hari ini bisa kita lihat dengan kasat mata dan bisa kita urai sebagai fakta-fakta, dan bukti-bukti dan atau petunjuk lainnya yang konkret pula.
Dewan jika tidak menjadi harimau-harimau sirkus, dan kembali ke kandangnya sebagai watchdog. Maka bantahan Bupati atas tidak adanya konflik dengan Wabup, bisa digelar dalam hak angket, untuk menguji kebenaran dari klaim masing-masing pihak, dalam hal ini Bupati dan Wabup.
Yang mengenaskan dalam forum RDP itu, terlontar pertanyaan, saran dan usulan yang memalukan dari Dewan yang melucu, padahal tidak lucu, bahkan teramat konyol. Kurang lebihnya seperti kalimat berikut ini:
1. Seharusnya Wabup berinisiatif melakukan komunikasi nyelondoh (menghamba) kepada Bupati. 2. Wabup diminta mengundurkan diri, dan 3. Saya siap memfasilitasi (sonding) ke Bupati agar tidak disharmoni. Dewan yang ngomong seperti itu mengafirmasi kebenaran dan keniscayaan bahwa, itu tidak membaca atau faham UU. Jika membaca maka lupa, lantas jika lupa tak mau lagi membacanya.
Peran, fungsi dan kewajiban Dewan dalam regulasi, jika antara Bupati dengan Wabup terjadi conflict of interest, atau terjadi disharmoni yang berakibat strategis dan berdampak luas, maka Dewanlah yang harus menyelesaikan konflik tersebut, bukan kemudian untuk menjadi tontonan di layar kaca publik. Jangan-jangan lantas ada anggota Dewan yang membantahnya, karena kecelakaan dan kedangkalannya. Lantas balik bertanya, tentang berakibat strategis dan berdampak luas? Jadi lebih ngawur dan kacau balau lagi.
Jika tuntutan mundur itu diucapkan oleh publik dan atau para demonstran, tentu mosi tidak percaya menuntut mundur Bupati dan atau Wakil Bupati adalah hal yang logis. Sekalipun kemudian harus diuji kebenaran tuntutannya. Apakah mosi tidak percaya menuntut mundur itu atas dasar fakta, bukti dan realitas yang konkret, sehingga obyektifitasnya teruji benar. Atau karena atas sentimen kepentingan politik sektarian. Atau kepentingan perut atau udelnya sendiri para pihak yang menuntut mundur. Atau memang benar-benar untuk kepentingan publik, jadi bicaranya sudah lintas perutnya sendiri.
Kemudian, jika tuntutan mundur diperdengarkan kepada Wabup oleh salah satu anggota Dewan dari parpol pendukung Bupati. Maka pembacaan publik atas logika dan akal waras adalah karena kepentingan politis, bukan untuk Indramayu, melainkan untuk urusan perut atau udelnya sendiri dalam pengertian yang maha luas. Jika tuntutan mundur bersandar pada profesionalisme atau leadership dan kinerja, seperti yang dimaksudkan dalam UU, maka jauh lebih ngawur lagi, dan makin tak waras lagi. Jadi harus dibawa ke Bogor dulu yang ngomong, karena akan menjadi senjata makan tuan, yang akan menembak balik dengan pertanyaan, justru bukankah yang ngomong, dan atau jangan jangan 50 anggota Dewan semuanya harus mundur, atau mengudurkan diri, jika tahu diri, tahu etika, tahu malu dan punya kemaluan, atas standar profesionalisme, dan kewajiban menjalan konstitusi.
Jadi ucapan menuntut mundur yang diucapkan anggota Dewan itu, mencerminkan anak bau kencur asal nyeplos. Mencerminkan ketidak warasan dalam memaknai tupoksi Dewan. Dan apa bagaimana sesungguhnya Dewan itu menurut konstitusi. Itu soalnya. Kengawuran dalam kedunguan jika meminjam istilah Rocky Gerung. Adalah kok dengan enteng, mengatakan, saya siap memfasilitasinya dengan Bupati. Kedunguan itu terletak pada logika dan akal waras, bukankah itu tupoksi Dewan, bukan atas nama pribadi dan atau partainya.
Karena dalam UU, anggota Dewan itu adalah wakil rakyat, bukan wakil parpol. Kok bisa mengatakan saya siap memfasilitasi, bukankah itu menjadi kewajiban Dewan, di antara sekian dari kewajiban Dewan lainnya. Karena masyarakat tidak memiliki otoritas untuk mengambil tindakan dalam penyelesaian konflik Bupati dengan Wabup. Jika Dewan tidak berada dalam ketiak Bupati, lantaran hegemoni kekuasaannya sedemikian rupa, dan sedemikian kuat mencengkram Dewan. Niscaya akan mengatakan dengan tegas atas peran dan fungsi wactdog-nya. Bahwa Dewan yang akan memfasilitasinya dan atau menyelesaikan pertikaian kepentingan Bupati dan Wabup.
Sehingga tidak ada lagi kegaduhan yang menggangu efektivitas kinerja pemerintahan, yang berimplikasi terhadap kinerja optimal Dewan, dalam merumuskan kebijakan publik untuk perubahan Indramayu yang lebih baik. Karena hingga sekarang belum tercermin nyata ke arah perbaikan, sebagaimana mestinya tuntutan UU dan atau publik.
Kesimpulan sementara sampai hari ini atas RDP, sebagai pembacaan studi kasus. Bahwa Dewan belum mau masuk, atau belum berani pada poin, bahwa itu kewajiban. Untuk menyelesaikan konflik Bupati dengan Wabupnya, yang dalam teologi kemunafikan harus dikatakan ada disharmoni antara Bupati dengan Wabupnya. Kemudian itu cukup hanya dibantah dengan kata-kata oleh Bupati, bahwa tidak benar ada keretakan hubungan kerja dengan Wabupnya.
Wabupnya bersinetron pula dengan kata-kata, bahwa hubungan dirinya dengan Bupati baik-baik saja. Lantas Dewan pun belum ada tanda-tanda harus mengambil sikap, melalui sikap seperta apa yang akan diputuskan. Jadi lengkaplah sudah kengawuran tersebut. Maka memang jika tidak ngawur, dan juga jika tidak melucu alias konyol, dan tidak gede-gedean omong kosong, bukan Indramayu namanya. Itulah potret Indramayu sampai hari ini yang bisa kita baca dan lihat, secara nyata dan konkrit, yang melampaui kata-kata dipolitisasi dan dimanipulasi makna dan keluhuran dari kata-kata, yang diucapkan oleh Bupati, Wabup, Dewan dan para penghamba kekuasaan. (S Tarigan)