Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dugaan KKN di Pemdes Gunungtua Merajalela

Subang, Demokratis

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat PPKM Darurat karena mewabahnya Covid-19 membuat perekonomian warga di Desa Gunungtua, Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, kini semakin sulit.

Namun hal tersebut sepertinya tak menjadi halangan bagi Pemerintah Desa Gunungtua untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan menggerogoti anggaran desa (baca: APBDes) sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa.

Korupsi tidak hanya sekedar persoalan elit politik dan penegak hukum tetapi adalah pangkal musibah dari segala macam persoalan politik, ekonomi, hukum dan sosial kemasyarakatan, sehingga setiap upaya untuk membungkam gerakan pemberantasan korupsi adalah bagian dari musuh besama masyarakat.

Realitas ini tentu harus dilihat sebagai masalah yang mengancam kepentingan dan hajat hidup orang banyak.

Merebaknya dugaan tindak pidana korupsi yang melanda Desa Gunungtua disinyalir dipicu akibat lemahnya implementasi peraturan perundang-undangan serta lemahnya pengawasan dan penerapan sanksi hukum.

Pengelolaan keuangan desa seharusnya merujuk pada asas-asas transparansi, akuntabel, partisipatif, tertib dan disiplin anggaran sebagaimana diamanatkan Undang-undang Desa dan peraturan pelaksanaannya serta UU Keterbukaan Informasi Publik. Namun aspek-aspek itu seolah diabaikan, hal ini menyebabkan keuangan desa sulit dikontrol, sehingga berpotensi terjadi penyelewengan.

Berdasar hasil investigasi bersama-sama aktivis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi–RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang dan keterangan berbagai sumber disebutkan, dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tidak/kurang memfungsikan para kasi/kaur selaku pejabat pelaksana kegiatan desa (PPKD).

Padahal jika merujuk Perbup Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa bahwa yang melaksanakan kegiatan adalah kasi dan kaur yang membidanginya {(Pasal 6 ayat (1)}, kecuali kegiatan yang karena sifat dan jenisnya tidak dapat dilaksanakan sendiri dapat dibantu oleh tim yang berasal dari unsur perangkat desa (kadus), lembaga kemasyarakatan desa dan masyarakat yang dibentuk dengan SK kepala desa.

Dengan begitu kepala desa selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa (PKPKD) atau istilah lainnya pengguna anggaran (PA) dianggap mengangkangi Perbup tersebut.

Sementara itu, bendahara desa pun tidak/kurang difungsikan sebagaimana mestinya, seperti keberadaan bendahara mestinya dalam mengelola keuangan desa menyimpan uang tunai di brankas maksimal hanya sebesar Rp5.000.000 (Perbup Nomor 44/2019 Jo Pasal 52, ayat (2)).

Tapi hal itu disinyalir tidak dilakukan, sehingga menjadi penyebab keuangan desa sulit dikontrol dan berpotensi terjadi penyelewengan.

Tak hanya sampai di situ, buku-buku administrasi desa tidak dikerjakan seseuai ketentuan, seperti buku kas umum (BKU), buku kas pembantu (BKP), dan buku bank desa.

Hal ini dianggap mengangkangi Permendagri Nomor 47 Tahun 2016 tentang Administrasi Pemerintahan Desa. Padahal buku-buku itu dimaksudkan sebagai sarana evaluasi, monitoring dan pengendalian transaksi keuangan desa. Hal ini menunjukkan pengelolaan keuangan desa terkesan semerawut dan menjadi indikator bila buruknya tata kelola keuangan desa tak terbantahkan.

 

Program Bantuan Desa (Bandes)

Akan halnya dugaan peyelewengan keuangan desa bersumber bantuan desa (bandes) atau lazim disebut dana pokok-pokok pikiran (pokir) dulu populer disebut dana aspirasi.

Kades Gunugtua Crm ditengarai bersekongkol dengan oknum anggota dewan yang terhormat sebagai aspirator kompak mengutil dana bantuan desa itu.

Sumber mengurai, modus operandinya mulai dari klaim sepihak, pungutan liar (pungli) dengan prosentase tertentu, praktek nepotisme, hingga yang paling parah dugaan adanya kegiatan fiktif.

Disebut fiktif, lantaran kegiatannya sendiri tidak direalisasi/dilaksanakan, tetapi administrasi/SPJ dibuatkan seolah-olah pembangunan fisiknya diterapkan.

“Sebelum dana dikucurkan calon penerima dana atau pelaksana kegiatan harus bersepakat dahulu dengan oknum-oknum petinggi partai, anggota dewan yang terhormat atau pejabat tertentu mengenai besaran fee,” ujar sumber.

Masih menurut sumber tadi, besaran fee yang harus disetor kepada oknum anggota dewan yang terhormat, berkisar antara 10 persen hingga 30 persen dari total pagu anggaran.

Eksesnya bagi kepala desa akhirnya latah (ikut-ikutan) diduga turut menyunat antara 10-20 persen dari pagu anggaran, sehingga dana yang direalisasikan berkisar 60 persen bahkan hingga 50 persen saja.

“Bila saja dana bandes yang menggelontor di Desa Gunungtua TA 2020 (APBD murni), sebesar Rp430 juta diperuntukan membiayai sebanyak lima titik kegiatan, TA 2020 (APBD-P) sebesar Rp855 juta untuk sebanyak sepuluh titik kegiatan, maka dana yang diduga menguap (baca : dikorupsi) dapat untuk membeli mobil Avanza baru,” tandas sumber.

 

Program Bantuan Sosial Tunai (BST)

Dugaan adanya penyelewengan penyaluran dana bantuan sosial tunai (BST), kata sumber, menimpa pada KPM di RT,02/05 dari jumlah seluruhnya 35 KPM hanya dibagikan 18 KPM. “Lalu sisanya dikemanakan?” tanyanya.

Tak hanya itu, fenomena yang menimpa pada KPM Opik dan Rani yang sudah memiliki barcode. Saat mereka hendak mencairkan BST di Kantor Pos terpaksa harus gigit jari, pasalnya kata petugas pos-nya sudah diambil oleh oknum perangkat desa. Karena merasa haknya diambil orang, salah seorang KPM Rani komplain kepada Pemdes Gunungtua, akhirnya uang BST yang menjadi haknya diserahkan. Sementara Opik yang tidak komplain, uang BST-nya entah hinggap di mana.

Berbeda dengan kasus yang dialami KPM Deni Sopian/Tumeng penduduk RT 02/05. Selama kurun waktu 12 bulan dirinya hanya menerima BST sebanyak 4 kali, sebanyak 3 kali pelimpahan dari KPM atas nama Rijki, dan satu kali dari KPM atas nama Bili.

Dari di antara jatah itu Deni harus setor japrem (dipungli-red) Rp200 ribu kepada Endang Maulana. Disebut-sebut kelakukan Endang yang memalak Deni lantaran mendapat support oknum Sekdes Gunungtua Tfk.

“Pernyataan Deni itu seperti tertuang dalam surat pernyataan di atas kertas bermaterai Rp10.000 tertanggal 22 Mei 2020. Lagi-lagi sisa jatah uang BST Deni kemana terbangnya, bila tidak disantap oknum tidak bertanggung jawab,” ujar sumber geram.

Kepala Desa Gunungtua Carmo AMd saat dikonfirmasi melalui surat bernomor : 06/DMK/Biro –Sbg/VII/2021, perihal klarifikasi dan permohonan informasi publik, Carmo tidak berkenan menanggapi, padahal peluang waktu untuk menjawab tenggang waktunya cukup lama.

Menanggapi itu, aktivis GNPK-RI Kabupaten Subang Udin Samsudin SSos saat ditemui di kediamannya (9/8/2021) menegaskan, bila benar di Pemdes Gunungtua terjadi tindak pidana korupsi (tipikor) terkait penggunaan keuangan desa (APBDes) dan adanya pungutan biaya yang menyalahi ketentuan itu berarti pungutan liar (pungli) sangat disesalkan.

“Setiap pungutan tanpa dilandasi peraturan perundangan yang legal adalah pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat pemerintah desa dipandang kontradiski dengan regulasi pemerintah atasnya, sehingga batal demi hukum,” tegasnya.

Maka itu sudah selayaknya oknum kepala desa dan pihak-pihak yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.

Masih kata Udin, dalam konteks ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.

Pihaknya berjanji, bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum. (Abh)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles