Sisa Nilai Kontrak Rp 3 M Dipertanyakan
Sukabumi, Demokratis
Pembangunan proyek Embung Gumpitan Wanadesa di Desa Cimanggu, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Sukabumi tahun anggaran 2019, dikerjakan oleh CV Angger Eman, dengan nilai kontrak Rp 11.091.635.000, dari pagu kontrak keseluruhan Rp 14.250.000.000. Sedangkan untuk supervise kontruksi dikerjakan oleh PT Padika Pranataputra dengan nilai kontrak konsultan supervisi senilai Rp 595.391.500 dari nilai pagu semula Rp 750.000.000.
Yang jadi tanda tanya besar publik adalah, kemana sisa kontrak senilai Rp 3 M?
Sementara itu konfirmasi Demokratis, sudah satu tahun sejak 2019 tidak dijawab pihak BBWS Citarum. Baik Kepala BBWS Citarum Bob Arthuur Lambogia dan Kepala Satker PJSA BBWS Citarum Jaya Sampurna serta PPK Embung Galumpit Wanadesa Andri Farhan sangat terkesan tertutup sekali. Seolah-olah “tutup mata tutup telinga”, tidak mau menjawab surat konfirmasi Demokratis, tertanggal 3 Desember 2019. Hingga berita ini diturunkan, tak ada jawaban pasti.
Proyek Embung Gumpitan Wanadesa yang didanai APBN tahun 2019 di BBWS Citarum-Kementerian PUPR tersebut, berdasarkan hasil investigasi Demokratis di lokasi proyek, tergambar dengan jelas bahwa dugaan KKN tersebut sangat nyata, dan semakin terkuak dalam hal sbb:
Pertama, ada kejanggalan dalam hal perusahaan pemenang tender Embung Gumpitan terutama dalam badan hukumnya, apakah dalam bentuk perseroan terbatas (PT) Angger Eman atau CV. Sedangkan pemantauan di lapangan, di papan nama proyek tertulis CV Angger Eman. Timbul pertanyaan, mengapa badan hukum CV memenangkan tender lebih dari Rp 10 M. Ini melanggar Kepres Pengadaan Barang dan Jasa.
Bukan itu saja, di lapangan ada dugaan kuat bahwa CV Anger Eman sebenarnya tidak mengerjakan Embung Gumpitan melainkan perusahaannya dipinjam oleh oknum pengusaha yang bekerja sama dengan oknum orang dalam pihak BBWS Citarum dan atau disubkonkan ke orang dalam oknum BBWS Citarum. Sayang seribu sayang, surat konfirmasi Demokratis, tentang hal ini tidak direspon pejabat BBWS Citarum.
Kedua, adanya dugaan KKN yang sangat kental sekali, bisa dilihat dari penggunaan batu pasang hampir seluruhnya diambil secara langsung di lapangan/bukan membeli material dari luar.
Lantas siapa yang diduga terlibat langsung dalam proyek beraroma korupsi tersebut? “Dugaan kuat telah terjadi KKN berjamaah yang mengarah kepada PPK Embung Sungai dan Danau BBWS Citarum dan Satker PJS BBWS Citarum serta Kepala BBWS Citarum, dan yang terakhir pihak perusahaan kontraktor termasuk ada dugaan keterlibatan seorang “raja/atau pengusaha kakap”, yang diduga kuat seorang pengusaha yang biasa ngatur proyek yang dari mulai tender sampai menentukan pemenang,” kata sumber Demokratis seraya menandaskan oknum pengusaha tersebut terkenal dengan sebutan “Bos Cukong”.
Sementara itu, pemerhati anggaran David, mempertanyakan pembangunan Embung Gumpitan Wanadesa. Menurutnya, pembangunan Embung Gumpitan tidak tepat sasaran dalam pembangunannya, artinya tidak sesuai juga dengan prinsip keterbukaan dan transparansi anggaran sesuai dengan Keppres pengadaan barang dan jasa. “Saya menyayangkan kenapa konfirmasi wartawan tentang Embung Gumpitan tak dijawab?” katanya terheran-heran.
Bahkan adanya penggunaan material di lokasi proyek seperti baham batu pasang (yang langsung diolah/dibom dinamit di lokasi proyek), ini artinya menyalahi spek/bestek dalam kontrak, yang jelas-jelas bisa menguntungkan para oknum dengan dugaan adanya permainan anggaran. Termasuk sisa kontrak Rp 3 M, apakah dikembalikan kepada negara? Atau dipakai bancakan?
Sementara pakar kontruksi air Jabar Ir Sukinta berkomentar adanya kebuntuan komunikasi dan informasi yang dilakukan oleh pihak BBWS Citarum menunjukan adanya unsur ketertutupan, terkesan ada hal yang disembunyikan dalam pembangunan embung gumpitan.
”Jangan-jangan proyeknya asal-asalan dan penuh dugaan permainan. Untuk itu, sebaiknya Dirjen SDA Kenterian PUPR segera merespon dugaan tersebut, dengan meminta keterangan kepada PPK, Satker dan Kebala BBWS Citarum, untuk transparansi dan menjawab dugaan tersebut kepada publik,” kata Sukimta. (IS)