Subang, Demokratis
Salah satu instrumen Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebagai kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan dan dampak Covid-19 melalui program sembako bertujuan untuk mengurangi beban daya beli keluarga miskin akan kebutuhan pangannya.
Namun dalam pelaksanaannya tidak sedikit oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan program itu menjadikannya sebagai ajang meraup untung.
Seperti yang dilakukan pengusaha PB. BTP yang berlokasi di Kampung Cimalingping, Desa Sindangsari, Kecamatan Kasomalang, Subang, yang diduga memalsukan pengadaan beras untuk mengisi kebutuhan program sembako Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang merupakan pengembangan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di agen-agen BRILink yang menjadi partner-nya.
Modus operandinya dalam pengadaan beras pengusaha PB. BTP meminjam royalti produk pengemasan beras merk Cinta Asih (CA) milik Roh yang berlokasi di Desa Cibuluh, Kecamatan Tanjungsiang dengan cara berkolaborasi pihak PB. BTP sebagai pemroduksi beras, sedangkan CA sebagai penyedia karung (kemasan).
Dengan begitu pengusaha PB. BTP dianggap sebagai pelaku utama dugaan tindak kejahatan pemalsuan produk beras, sementara pengusaha CA sebagai pihak yang turut membantu tindak kejahatan dan para agen BRILink sebagai penadah.
Fakta itu menjadi temuan yang dirilis LSM FESOMAS dan diterima awak media, belum lama ini.
Saat awak media melakukan investigasi dan konfirmasi terhadap pemilik PB. BTP Hj. Ash di kediamannya (4/11/2022), membantah bila dirinya melakukan pemalsuan pengadaan beras program sembako. Dirinya berdalih bila penggunaan merk CA itu atas dasar kerja sama antara pihaknya dengan CA yang dituangkan ke dalam MoU dan diketahui pihak instnasi terkait, namun Hj. Ash tidak merinci yang dimaksud instansi terkait itu intansi apa. Begitu pula ketika ditanya naskahnya seperti apa, pihak enggan memperlihatkan.
Tak hanya sampai di situ, Hj. Ash juga mengaku sudah memiliki lisensi produk pengemasan beras dan berlabel terdaftar di Kementan serta memiliki ijin edar dari Polda Jabar, tapi anehnya tidak bersedia memperlihatkan dokumen itu kepada awak media.
Ketika ditanya bila benar sudah berlisensi, kenapa PB. BTP tidak menggunakan merk/label sendiri, Hj. Ash menerangkan untuk sementara pihaknya masih menggunakan label/merk CA karena untuk kesinambungan persahabatan yang saling membantu.
Menurutnya, suatu perusahaan yang sudah memiliki ijin resmi itu boleh dan bisa menerbitkan beberapa merk produk, asalkan masih berada di dalam naungan perusahaan pemilik yang bersangkutan.
Pentolan LSM FESOMAS Dedi Supriatna menduga perjanjian kerjasama (MoU) antara PB. BTP dan CA hanya dilakukan di bawah tangan, tidak dibuat di hadapan notaris serta tidak didaftarkan ke Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) maka bisa dianggap cacat hukum dan tidak sah.
Lantaran tidak terdaftar di OKKPD maka tidak terpantau, sehingga akibatnya suatu ketika pernah terjadi kasus beras bermerk/label CA yang dikirim PB BPT ke agen BRILink milik ASH (Asep Cell) di Desa Gardusayang, Kecamatan Cisalak, kualitasnya buruk (berkutu), resikonya CA mengalami kerugian moril dan matriil (mengganti beras).
Labih lanjut Dedi mengungkapkan, Hj. Ash menjadi gagap saat diberi ilustrasi bila hal yang dilakukan PB. BPT nyaris sama dengan suatu kejadian produk beras merk Rojolele Cianjur, namun diproduksi di Sumedang dan itu kena razia oleh Polda Jabar, lantaran didiuga ada pemalsuan kemasan/karung, pemalsuan isi dan pemalsuan daerah.
“Bedanya bila PB. BTP melakukan kemasan/karung dikirim oleh perusahaan pengemasan beras merk CA atau dimungkinkan bisa saja pesan di tukang sablon, tapi diduga ada pemalsuan isi dan daerah, sebab alamat CA di Desa Cibuluh, Kecamatan Tanjungsiang, sedangkan gudang PB. BTP berada di Desa Sindangsari, Kecamatan Kasomalang, maka diduga kuat hal itu adalah terjadi pemalsuan isi dan daerah,” tandasnya. (Abh)