Subang, Demokratis
Sejak tujuh bulan lalu wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dinyatakan masuk ke Indonesia, lalu negeri ini diterpa krisis ekonomi berat menyusul merebaknya Covid-19. Upaya pencegahannya mulai dari penerapan penjarakan sosial (physical distancing) sampai pada kebijakan penghentian seluruh kegiatan ekonomi (lockdown) atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sehingga telah menghancurkan perekonomian nyaris di semua lini.
Krisis ekonomi akibat Covid-19 di negeri ini menurut Menkeu RI Sri Mulyani lebih dari kejadian krisis ekonomi di tahun 1998.
Untuk menangani dampak krisis ekonomi ini Pemerintah Pusat dan Daerah menggulirkan beragam bantuan bagi warga di masa pandemi di antaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Sosial Tunai (BST), Bansos Sembako. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban hidup keluarga terdampak Covid-19 yang rentan dalam memenuhi kebutuhan pangannya.
Namun sangat disayangkan dalam pelaksanaannya seperti di Desa Sukatani, Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, diduga tidak sesuai dengan pedoman umum dan petunjuk teknis yang berlaku. Sehingga merugikan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang namanya terdaftar dalam Daftar Penerima Manfaat (DPM) yang telah ditetapkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Kemensos RI dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Berdasarkan hasil investigasi dan keterangan berbagai sumber disebutkan, modus penyelewengan dana BST dengan mengalihkan KPM yang terdaftar ke KPM lain sakarepe wudel dewek (Jawa : sekehendak sendiri) tidak sesuai Pedum dan Juklak Juknis yang berlaku, dengan dalih karena KPM dobel dan demi pemerataan, sehingga prinsip-prinsip penyaluran BST terabaikan dan terbuka peluang penyelewengan BST.
Mestinya, kata sumber, jika akan mengalihkan KPM yang namanya terdaftar resmi harus melalui proses yang diatur dalam Pedum dan Juklak Juknis yaitu : (a) Calon KPM pengganti adalah keluarga yang dianggap layak hasil Musyawarah Desa (Musdes). Musdes dilaksanakan dengan melibatkan ketua RT/RW, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan unsur masyarakat lain serta Pendamping Desa. Hal itu dilakukan agar terpenuhi aspek akuntabilitas dan transparansi. (b). Hasil Musdes dilengkapi dengan Berita Acara (BA) serta dilaporkan kepada Tim Koordinasi Bansos tingkat atas untuk memperoleh pengesahan.
Sebagai testimoni, ketika penyaluran BST yang diusung Kementan RI. Dari KPM sedikitnya 90 KPM/KK dibagikan secara seragam, masing-masing RT mendapat jatah 15 KPM/KK. Sementara jumlah RT di Desa Sukatani sebanyak 15 RT maka totalnya ada 225 KPM.
“Setiap KPM menerima hanya Rp 600 ribu sehingga totalnya terealisasi Rp 135 jutaan. Maka jika dari pagu anggaran BST 90 x Rp 1,8 juta (3 bulan) setara Rp 162 juta. Jadi masih ada selisih dana puluhan juta itu hinggap dimana?” tanya sumber.
Tak hanya itu, untuk memudahkan proses penyaluran dana, Pemdes/Panitia memperalat sejumlah oknum perangkat desa dan RT/RW dan masyarakat lainnya sesuai settingan, mereka mendapat upah (uang tutup mulut) masing-masing Rp 100 ribu/orang, sehingga dipastikan foto dokumentasi orangnya bukan yang terdaftar dalam DPM asal.
Disebut-sebut rekayasa ini diketahui oleh oknum petugas Kantor Pos. Menurut sumber oknum petugas Kantor Pos tersebut lebih memilih diam, lantaran diduga juga kecipratan uang haram kelebihan jatah BST yang diduga sengaja tidak disalurkan.
Peristiwa itu, juga konon sudah dilaporkan ke Irda Kabupaten Subang oleh salah seorang warga yang mengetahui hal itu. Bahkan kepala desa dan sejumlah perangkat desa sudah dipanggil oleh Irda, namun si pengadu konon diintimidasi sehingga dengan terpaksa membuat surat pernyataan pencabutan pengaduan. “Tragais memang,” gumam sumber.
Testimoni lain, penyaluran Bansos Kemensos RI tahap ke-7. Belakangan diketahui jumlah KPM kisaran 1045 KPM, masing-masing memperoleh dana Rp 300 ribu/KPM. Menurut sumber yang disalurkan diduga hanya kisaran 950-an KPM, sehingga masih ada selisih sekitar 95 KPM atau setara Rp 28,5 jutaan.
“Lagi-lagi dana itu hinggap dimana, jika bukan mampir di kantong baju safari yang biasa diapakai oknum panitia,” ujar sumber.
Kades Sukatani Abdurahman melalui Sekdes Parihin saat dikonfirmasi via WhatsApp membantah atas apa yang terjadi terkait penyaluran dana BST/BLT di desanya. Pihaknya membuat sanggahan sbb (1). Bahwa nama KPM yang muncul di BST Burtan sebagian besar sudah mendapat BST dari sumber lain, sehingga tidak bisa disalurkan kepada Ybs, karena akan terjadi tumpang tindih. (2) Jumlah penerima setiap RT KPM tidak sama, tergantung dari seberapa banyak warga yang belum kebagian, ada jumlahnya 15 orang bahkan bisa dua kali lipat. (3). Untuk dana bantuan telah disalurkan sesuai dengan Danom yang ada. “Jadi tidak ada dana yang tidak disalurkan,” ujar Parihin membantah.
Menanggapi itu, Lembaga Investigasi – Tindak Pidana Korupsi – RI (LI-TPK RI) Kabupaten Subang Udin Syamsudin SH saat dihubungi awak media di kantornya (17/10) menegaskan, bila benar ada penghimpunan dana BST di luar ketentuan itu tergolong Pungli dan Pungli merupakan bagian dari korupsi. Sudah selayaknya oknum Kades/perangkat desa dan pihak yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.
Dalam konteks ini, kata Udin, aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.
Menurut Udin, kasus ini tergolong Pungli dan Pungli adalah bagian tindak pidana korupsi. “Setiap pengutan tanpa dilandasi Undang-undang adalah Pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat Pemerintah Desa dan dipandang bertentangan dengan regulasi Pemerintah atasnya, maka batal demi hukum,” tegasnya.
Pihaknya mendorong kepada aparat penegak hukum untuk segera mengusut kasus itu dan ia berjanji, bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum. (Abh/Esuh)