Subang, Demokratis
Niat baik permerintah terhadap warga khususnya yang kurang mampu terkait pembuatan sertifikat massal program Pedaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di desa-desa peserta program se-Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, ternyata dicorengi oknum panitia dan pemerintah desa setempat, sehingga memicu kecaman warga.
Pasalnya panitia dan Pemdes setempat diduga masih saja mengutip biaya di luar ketentuan alias pungutan liar (pungli). Sementara pungli sendiri merupakan bagian tindak pidana korupsi.
Tindakan oknum itu dituding warga sebagai ‘pencuri’ lantaran diduga melakukan pungli secara terang-terangan tanpa jelas payung hukumnya, meski dengan dalih telah dimusyawarahkan.
“Terkait hal itu, Aparat Penegak Hukum (APH) diminta segera mencokok oknum pelakunya yang terlibat hingga diseret ke meja hijau tanpa harus menunggu adanya pengaduan dari masyarakat, lantaran kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” ujar sejumlah sumber yang berhasil ditemui Demokratis, (3/11/2025).
Berdasarkan investigasi dan keterangan berbagai sumber yang berhasil dihimpun membeberkan, dugaan pungli pembuatan sertifikat massal program PTSL, setiap pemohon/warga peserta program dipungut biaya kisaran Rp300 ribu/bidang.
Padahal menurut regulasi batasan toleransi Rp150 ribu/bidang, seperti termaktub dalam SKB 3 Kementerian (Menteri ATR/BPN, Mendagri dan Mendes PDT) No. 25/SKB/V/2017; No. 590.3167A Tahun 2017 dan No. 34 Tahun 2017 tentang pembiayaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Selain itu juga diatur dalam Perbup Subang Nomor 88 Tahun 2018 tentang Pembebanan Pembiayaan Persiapan PTSL.
Pungutan itu berlangsung merata di 8 desa (Desa Purwadadi Barat, Pasirbungur, Rancamahi, Panyingkiran, Koranji, Belendung, Wanakerta dn Parapatan), sementara 2 desa lagi (Desa Purwadadi dan Pagon) tidak mengikuti program PTSL. Bila rata-rata mendapat kuota 1.000 bidang maka akan terakumulasi dari selisih Rp150 ribu dikali 8.000 bidang, sehingga terhimpun dugaan dana haram sebesar Rp1,2 miliar.
Menurut sumber kelebihan fulus makruh itu tidak saja dinikmati oleh oknum panitia dan Pemdes saja, akan tetapi juga mengelontor ke sejumlah oknum pejabat di tingkat kecamatan dan sejumlah oknum LSM dan ormas, masing-masing mengantongi Rp80 jutaan berasal dari iuran setiap desanya menyetor Rp10 juta.
“Informasi itu diperoleh dari pengakuan sejumlah perangkat desa yang sempat mengadakan pertemuan di suatu kesempatan dengan aktivis APM beberapa waktu lalu,” ujarnya.
Masih kata sumber dugaan adanya permufakatan jahat atas pelaksanaan program PTSL itu sebelumnya diketahui berlangsung pertemuan seluruh desa peserta program yang diundang di kantor Kecamatan Purwadadi untuk mendapat pengarahan seperlunya dari pihak instansi terkait.
Bila benar ada pungutan biaya PTSL di luar ketentuan, mengapa Camat Purwadadi Andri Darmawan, S.STP., MM selaku pejabat pembina dan pengawas pemerintahan desa terkesan membiarkan pungutan tersebut, jika Camat bukan bagian dari kolusi atas pelaksanaan program PTSL, maka sepatutnya melakukan teguran keras dan tindakan dengan memberikan sanksi administratif baik lisan maupun tertulis terhadap para kepala desa.
“Tak hanya itu, lantaran Camat dituding membiarkan dugaan praktek pungutan liar, ini bisa dipandang mengarah kepada tindakan indisipliner serta kode etik sebagai pejabat negara yang notabene adalah seorang ASN yang terikat PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS,” ujar sumber yang ditemui di sebuah kedai nasi di sekitar PT Wilbes Global.
Sejumlah warga yang berhasil ditemui awak media di antaranya Hasan (nama samaran) warga Desa Pasirbungur mengaku dibebani Rp300 ribu /bidang, dirinya mengaku mendaftarkan 2 bidang tanah darat, tapi dia baru membayar down payment/DP (baca: uang muka) separuhnya. “Saya baru bayar uang muka saat itu, sisanya nanti setelah jadi sertifikat,” ucapnya saat diwawancarai.
Begitu juga Ny. Neneng (nama samaran) warga Desa Wanakerta mendaftarkan sebidang tanah mengaku dibebani dengan nominal Rp300 ribu/bidang.
Menurut mereka, biaya sebesar itu diklaim hasil rapat dan sosialisasi dengan pihak panitia desa. Namun ironisnya biaya sebesar itu sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia. “Jadi penentuan biaya menurut kami bukan hasil musyawarah, besarannya sudah ditentukan pihak panitia dan Pemdes. Padahal biaya sebesar itu bagi warga yang tidak mampu dirasa memberatkan,” ungkapnya.
Bila merujuk Permen ATR/BPN Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan PTSL bahwa tujuan program PTSL adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum Hak atas tanah masyarakat secara adil dan merata, kepada subyek (baca: warga) yang memenuhi persyaratan, sehingga dapat memperbaiki serta meningkatkan keadaan sosial ekonominya. Sementara programnya sendiri sudah dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah bersumber dari APBN alias gratis seperti tertuang di Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) di kantor BPN.
Peruntukan anggaran tersebut meliputi biaya pengukuran dan pemetaan bidang tanah, penyuluhan, pengumpulan dan pengolahan data yuridis, sidang panitia, pembukuan hak dan penerbitan sertifikat. Sedangkan kewajiban masyarakat (peserta program) di antaranya : Menunjukkan tapal batas bidang tanah pada saat pengukuran; Melengkapai data-data identitas diri serta menyerahkan bukti-bukti penguasaan tanah/data yuridis (jika ada) dan dokumen yang diperlukan untuk kepentingan pemberkasan; Menyiapkan patok 4 buah dan materai secukupnya; Membuat surat pernyataan sesuai kepentingannya.
Menanggapi kasus itu, aktivis LSM El-Bara Kabupaten Subang Yadi. S saat dihubungi via aplikasi WhatsApp (2/11) manyatakan, bila benar ada pungutan biaya itu tergolong korupsi, karena program tersebut sudah dibiayai pemerintah yang dianggarkan dalam APBN.
Sudah selayaknya oknum kades, panitia dan pihak yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.
Dalam konteks ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.
Menurutnya definisi laporan dengan pengaduan jelas berbeda, dalam ketentuan umum Pasal 1 poin 24 dan 25 KUHAP dijelaskan, bahwa laporan peristiwa pidana adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang, karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang, tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
Sedangkan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum terhadap seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
Masih kata Yadi. S, kasus ini tergolong pungli dan setiap pungli adalah merupakan bagian tindak pidana korupsi. “Setiap pengutan tanpa dilandasi undang-undang adalah pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat pemerintah desa dipandang kontradiski dengan regulasi pemerintah atasnya, sehingga batal demi hukum,” tegasnya.
Sebagai Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung (MA) Kasasi No. 301/Pidsus/2021 dan sudah inchract menghukum an. H. Solikhin Bin Rasiwan selaku Keala Desa Kedungwungu, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu untuk menjalani hukuman pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp50.000.000 subsider pejara kurungan 3 bulan, karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pihaknya berjanji, bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum.
Disebutkannya, jika merujuk Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2018 tentang PTSL bahwa pendanaan untuk program PTSL, dibebankan pada APBN, APBD, dan/atau sumber lain yang sah.
Idealnya, pendanaan ini seharusnya sudah cukup untuk meng-cover semua kegiatan program, termasuk pembuatan sertifikat tanpa membebani masyarakat. Jika dalam prakteknya masih ada biaya yang dibebankan kepada masyarakat, hal ini bisa jadi indikasi adanya masalah dalam implementasi atau pengelolaan dana program.
Mengutip pernyataan Ka Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Barat, saat itu dijabat Sri Mujianto sudah mewanti-wanti, bila aparat BPN Kabupaten/Kota dan aparat desa agar tidak melakukan pungutan yang memberatkan warga/peserta program, bahkan seyogyanya bisa gratis bagi warga tak mampu, melalui subsidi pemerintah daerah, ataupun kebijakan kepala desa.
“Warga yang ikut pembuatan sertifikat massal program PTSL dibebaskan dari biaya pengukuran, biaya sidang panitia, biaya pendaftaran dan transportasi petugas ukur, kecuali dibebani biaya materai, patok dan biaya warkah dari desa,” ujar Sri Mujianto.
Begitu pula mengutip pernyataan Satriyo selaku Kasubag Tata Usaha BPN Pamekasan, “PTSL tidak dikenakan biaya, karena itu adalah program pemerintah yang diajukan desa kepada BPN, bahwa hal ini sejalan dengan SKB tiga Menteri (Kemnterian ATR/BPN, Kemendagri, dan Kemndes PDT).”
Hingga berita ini tayang, kendati awak media sudah berupaya maksimal, sejumlah kepala desa peserta program PTSL di wilayah Kecamatan Purwadadi, Camat Purwadadi dan pihak instansi terkait belum berhasil dimintai keterangannya. (Abh)
