Subang, Demokratis
Di tengah sulitnya perekonomian yang membelit warga Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, khususnya di desa-desa peserta program pembuatan sertifikat massal PTSL, akibat terdampak mewabahnya virus Covid-19, sehingga keseharian hidupnya kini kesusahan seiring diberlakukannya adaptasi kebiasaan baru (AKB) atau new normal.
Namun konidisi itu tak menjadi penghalang bagi Kades Dayeuhkolot, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, Bdmn yang membebani warganya sebagai peserta program sertifikat massal pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) ratusan ribu hingga jutaan rupiah/bidangnya.
Praktek culas Kades Dayeuhkolot dituding warga sebagai pencuri, lantaran diduga melakukan pungutan liar (Pungli) biaya pembuatan sertifikat massal PTSL.
Berdasar hasil investigasi dan keterangan berbagai sumber menyebutkan, dugaan Pungli pembuatan sertifikat massal PTSL di Desa Dayeuhkolot warga dipungut antara Rp 300 ribu bagi penduduk pribumi hingga Rp 1 juta/bidang bagi penduduk guntai.
Bila Pemdes Dayeuhkolot mendapat kuota sedikitnya 2.000 bidang maka keempat saku baju safari yang biasa dipakai dinas Kades Dayeuhkolot tidak akan mampu menampung uang haram itu.
Mereka (peserta program-Red) mengeluh dan merasa keberatan atas pungutan biaya yang dikenakan panitia Pemdes setempat.
Seperti diakui sejumlah warga yang berhasil ditemui awak media, AS sudah membayar Rp 300 ribu, Ny OK membayar Rp 300 ribu, ANA membayar Rp 1 juta, TN membayar Rp 400 ribu, AR mengaku mendaftar 9 bidang baru membayar DP/down payment (baca: uang muka) Rp 2 juta/dua bidang.
Menurut mereka, biaya sebesar itu diklaim hasil rapat dan sosialisasi oleh pihak panitia desa. Namun ironisnya, biaya sebesar itu sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia. “Jadi penentuan biaya sebetulnya bukan hasil musyawarah, lantaran besarannya terkesan sudah ditentukan pihak panitia desa, padahal biaya sebesar itu bagi warga tidak mampu dirasa memberatkan,” ungkapnya.
Padahal bila merujuk Keputusan Bersama Menteri ATR/Kepala BPN, Mendagri dan Mendes PDTT No 25/SKB/V/2017; No 590-3167A Tahun 2017; No 34 Tahun 2017, untuk pembiayaan operasional petugas kelurahan/desa masuk Kategori–V (Jawa dan Bali) hanya sebesar Rp 150.000/bidang.
Biaya sebesar itu dipergunakan, untuk membiayai (1). Penggandaan dokumen pendukung. (2) Pengukuran dan pemasanagan patok (3). Transportasi petugas kelurahan/desa dari kantor kelurahan/desa ke kantor pertanahan dalam rangka perbaikan dokumen yang diperlukan.
Kades Dayeuhkolot Budiman ketika ingin dikonfirmasi (9/9), sedang tidak berada di kantornya, menurut stafnya sedang mengikuti kegiatan rapat di Desa Curugagung. Namun saat dihubungi via sambungan seluler Budiman mengakui bila desanya mendapat program pembuatan sertifikat PTSL, dengan kuota 2.000-an bidang, dan dirinya mengakui telah memungut biaya kepada masyarakat peserta program di luar ketentuan.
Pengenaan biaya pembuatan sertifikat PTSL itu, menurut Budiman sudah berdasarkan hasil musyawarah dengan warga peserta program, BPD dan tokoh masyarakat, bahkan telah disaksikan pihak Kejaksaan Negeri Subang pada saat musyawarah dan diketahui Polsek setempat. “Nanti kalau begitu saya akan menghadap Kapolsek,” tuturnya.
“Dari kantor Pertanahan Subang tidak ada biaya, sementara operasional di lapangan butuh biaya besar. Sepengetahuan saya pungutan biaya itu merata dilakukan oleh desa-desa yang mendapat program, hanya besarannya bervariasi,” ujarnya.
Kapolsek Sagalaherang, AKP Darmono ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya (9/9) membeberkan, kehadiran pihaknya hanya mengawal dan mengamankan jalannya musyawarah bukan berarti turut menyepakati hasil musyawarah, bahkan Kejari dan pihaknya mengarahkan pengenaan biaya swadaya masyarakat harus sesuai regulasi yang ada.
“Bila pungutannya di luar ketentuan resikonya silahkan ditanggung sendiri bila di kemudian hari terjadi persoalan hukum,” tandasnya.
Sementara itu, pejabat berkompeten di kantor Pertanahan Kabupaten Subang di Jln Mayjen Sutoyo-Subang belum berhasil dikonfirmasi.
Menanggapi itu, Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK-RI) Kabupaten Subang Cq Bidang Pengaduan masyarakat Yudi Prayoga Tisnaya saat dihubungi awak media di kantornya komplek BTN Puskopad Sukajaya, Kelurahan Cigadung-Subang (10/9/2020) menegaskan, bila benar ada pungutan biaya di luar ketentuan itu tergolong Pungli dan Pungli merupakan bagian dari korupsi. Sudah selayaknya oknum Kades dan pihak yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.
Masih kata Yudi, dalam konteks ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.
Menurut Yadi, kasus ini tergolong Pungli dan Pungli adalah bagian tindak pidana korupsi. “Setiap pengutan tanpa dilandasi Undang-undang adalah Pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat Pemerintah Desa dan dipandang bertentangan dengan regulasi Pemerintah atasnya, maka batal demi hukum,” tegasnya.
Pihaknya berjanji, bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum.
Seperti diketahui, tujuan program PTSL sendiri untuk percepatan pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah masyarakat secara pasti, sederhana, cepat, lancar, aman, adil, merata dan terbuka serta akuntabel, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan ekonomi negara serta mengurangi dan mencegah sengketa dan konflik pertanahan.
Adapun pembiayan program bila merujuk Permen ATR/Kepala BPN Nomor 35 Tahun 2016 dapat berasal dari Pemerintah dan/atau masyarakat (Pasal 15, ayat (1)). Sementara pembiayaan dari masyarakat dapat berupa corporate social responsibility (CSR) atau dana swadaya masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Abh/Esuh)