Selasa, November 26, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dugaan Pungli Sertifikat Massal di Desa Sukatani dan Compreng Akan Dilaporkan ke Satgas Saber Pungli

Subang, Demokratis

Di tengah sulitnya perekonomian yang membelit warga Kabupaten Subang, Provisi Jawa Barat, khususnya di desa-desa peserta program pembuatan sertifikat massal, akibat terdampak mewabahnya virus Covid-19, sehingga keseharian hidupnnya kini kesusahan seiring diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Namun konidisi itu tak menjadi penghalang bagi sejumlah Kades pelaksana program sertifikat massal, malah warganya dibebani biaya hingga jutaan rupiah/bidangnya.

Praktek culas Kades pelaksana program itu dituding warga sebagai pencuri, lantaran diduga melakukan pungutan liar (Pungli) biaya pembuatan sertifikat massal, sementara Pungli sendiri bagian tindak pidana korupsi.

Tak hanya itu, kecurangan lain yang dilakukan oknum Kades/Panitia, disinyalir telah memanipulasi data guna menghindari pembuatan akta peralihan hak atas tanah. Kendati transaksi peralihan haknya terjadi setelah diberlakukannya PP Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah, namun panitia menyajikan data, waktunya sebelum diberlakukan PP itu.

Eksesnya obyek yang terkena pajak seperti Bea Peralihan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2), tentang Pungutan PPh dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan, yang mestinya terjaring oleh PPAT dipastikan lolos (tidak terpungut -Red). Artinya pula negara dirugikan puluahan bahkan ratusan juta rupiah, lantaran pajaknya tidak terpungut.

Berdasar hasil investigasi lapangan dan keterangan berbagai sumber menyebutkan, dugaan pungli pembuatan sertifikat massal terjadi di wilayah Kecamatan Compreng di antaranya di Desa Sukatani mendapat quota 300 bidang (Redistribusi obyek landreform TA 2020) dan Desa Compreng dengan quota 400 bidang (Redistribusi obyek landreform TA 2018 & 2019), warga dipungut tidak kurang dari Rp 1 juta/bidang hingga Rp 1,5 juta/bidang.

Kantor Desa Sukatani diduga jadi sarang korupsi. Foto : Demokratis/Abdulah

Sejumlah warga yang berhasil ditemui awak media, Emi (55 th) warga Dusun Sukanengah mengaku dibebani Rp 1 juta/bidang. Emi mengaku mendaftarkan 2 bidang tanah darat. Begitu juga Kijan (50 th) warga Dusun Sukanengah mendaftarkan sebidang tanah darat dan mengaku dibebani dengan nominal sama, namun mereka baru pada membayar DP/Down Payment (uang muka). “Katanya nanti kalau sudah jadi sertifikatnya harus melunasi,” ujarnya mengeluh.

Kades Sukatani Abdurohman, ketika ingin dikonfirmasi via sambungan seluler dan pesan WhatsApp sudah membaca pesannya, namun tidak berkenan menanggapi.

Secara terpisah sejumlah warga Desa Compreng yang berhasil dihubungi Aminah (45 th), warga Dusun Sukaseneng mengaku dipungut Rp 1,5 juta/bidang, begitu juga Warsad (50) warga Dusun Compreng yang mendaftar sebidang tanah dipungut Rp 1 juta/bidang.

Kades Compreng Warmah ketika dikonfirmasi (saat masih menjabat) dan awak media menyimpan rekamanya, mengaku memungut biaya Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta/bidang. Biaya itu tidak termasuk membayar kewajiban lainnya seperti bayar pajak BPHTB, PPh, PBB. “Kami menyamakan dengan desa tetangga untuk menghindari protes warga, karena hampir satu hamparan,” ujarnya.

Peruntukannya, biaya membayar tim lapangan desa, pembelian patok tapal batas, materai, suguh tamu, bayar kontrakan base camp (sekretariat), transport petugas BPN dan uang saku.

“Dari kantor Pertanahan Subang tidak ada biaya, sementara operasional di lapangan butuh biaya. Sepengetahuan saya pungutan biaya itu merata dilakukan oleh desa-desa yang mendapat program, hanya besarannya bervariasi,” katanya.

Ketua Panitia Desa Compreng Agus Zaenudin yang dihubungi melalui telepon selulernya tidak berkenan mengangkat, kendati sudah tersambung.

Sementara itu pejabat berkompeten di kantor Pertanahan Kabupaten Subang di Jl Mayjen Sutoyo-Subang belum berhasil dikonfirmasi.

Seperti diketahui, misi utama pembuatan sertifikat massal melalui Program Redistribusi obyek landreform, PTSL dan program serupa lainnya, sasaran utamanya untuk mengangkat keterpurukan bagi warga miskin yang kepemilikan tanahnya belum bersertifikat. Sementara programnya sendiri sudah dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah bersumber dari APBN alias gratis seperti tertuang di Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) di kantor BPN.

Peruntukan anggaran tersebut meliputi biaya pengukuran dan pemetaan bidang tanah, penyuluhan, pengumpulan dan pengolahan data yuridis, sidang panitia, pembukuan hak dan penerbitan sertifikat. Sedangkan kewajiban masyarakat (peserta program) cukup menyerahkan bukti-bukti kepemilikan tanah (data yuridis) dan dokumen yang diperlukan, pengadaan patok dan penyediaan materai sedikitnya 4 lembar.

Menanggapi itu, Bidang Pengaduan masyarakat Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK-RI) Kab.Subang Yudi Prayoga Tisnaya menegaskan, bila benar ada pungutan biaya itu tergolong korupsi, karena program tersebut sudah dibiayai pemerintah yang dianggarkan dalam APBN.

Sudah selayaknya oknum Kades dan panitia yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.

Masih kata Yudi, dalam konteks ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.

Lebih jauh Yudi memaparkan, definisi laporan dengan pengaduan jelas berbeda, dalam ketentuan umum Pasal 1 point 24 dan 25 KUHAP dijelaskan, bahwa laporan peristiwa pidana adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang, karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang, tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Sedangkan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum terhadap seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

Menurut Yadi, kasus ini tergolong Pungli dan setiap Pungli adalah bagian tindak pidana korupsi. “Setiap pengutan tanpa dilandasi Undang-undang adalah Pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat Pemerintah Desa dipandang kontradiski dengan regulasi Pemerintah atasnya, sehingga batal demi hukum,” tegasnya.

Pihaknya berjanji, bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum. (Abh/Esuh)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles