Subang, Demokratis
Publik kini kerap disuguhi hiruk pikuknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK atau Tim Saber Pungli di mana-mana, disusul media terus menerus memberitakan kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan berbagai macam kasus.
Lalu seiring di tengah sulitnya perekonomian yang membelit warga Desa Kiarasari, Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, akibat terdampak pandemi corona virus desease 2019 (Covid-19), sehingga keseharian hidupnya kesusahan kendati kini sudah memasuki masa New Normal.
Namun konidisi ini tak menjadi penghalang bagi Kades Kiarasari Samsudin, malah warganya dibebani biaya pembuatan sertifikat massal (program redistribusi-Red) antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta/bidangnya dari kuota sebanyak 400 bidang.
Bisa dibayangkan bila dikalkulasi kutipan biaya Rp 1-1,5 juta/bidang, maka uang haram yang terhimpun mencapai ratusan juta rupiah. Padahal menurut ketentuan, warga peserta program dibebaskan dari biaya pengukuran, BOP panitia, biaya pendaftaran, transportasi petugas ukur. Sedangkan warga peserta program hanya dibebani biaya pengadaan materai kisaran 4 lembar, patok 3 buah dan biaya ATK/warkah dari desa.
Mereka mengeluh dan merasa keberatan atas pungutan biaya yang dikenakan Panitia dan Pemdes setempat.
“Kami ikut menjadi peserta program pembuatan sertifikat massal (redistribusi-Red), biayanya Rp 1 juta untuk tanah darat/bidang dan Rp 1,5 juta tanah sawah/bidang,” ujar sejumlah warga yang tidak bersedia disebut namanya ketika dihubungi awak media (2/7).
Dengan berbagai dalih oknum Panitia Desa dan BPN Subang diduga tetap lakukan pungli biaya pembuatan Sertifikat massal. Presiden RI Jokowi geram bahkan menegaskan bila BPN dan pihak lain memungut biaya, warga agar melaporkan ke aparat penegak hukum karena sejatinya gratis. “Ya dilaporkan saja (ke polisi) kalo memang ada pungutan itu,” ungkap Jokowi seperti dilansir Kumparan.com.
Menurut mereka, biaya sebesar itu diklaim hasil rapat dan sosialisasi dengan pihak panitia desa. Namun ironisnya, biaya sebesar itu sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia.
“Jadi penentuan biaya bukan hasil musyawarah, besarannya sudah ditentukan pihak panitia desa. Padahal biaya sebesar itu bagi warga yang tidak mampu dirasa memberatkan,” ungkapnya.
Praktek culas Kades tersebut dituding warga sebagai pencuri, lantaran diduga mengutip biaya pembuatan sertifikat massal di luar ketentuan alias pungutan liar (Pungli). Sementara Pungli sendiri bagian tindak pidana korupsi.
Tak hanya itu Kades Kiarasari Samsudin ditengarai bersekongkol dengan oknum anggota dewan yang terhormat sebagai aspirator menggagas dana bantuan desa (Bandes) yang lazim disebut dana pokok-pokok pikiran (Pokir) dulu populer disebut dana aspirasi. Sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa.
Hasil investigasi dan keterangan berbagai sumber dihimpun awak media menyebutkan, sinyalemen adanya penyelewengan dana pokir/aspirasi bersumber dari APBD Kabupaten Subang TA 2019 yang menggelontor ke Desa Mekarjaya bernilai ratusan juta rupiah tersebar di sejumlah titik, kini semakin terkuak.
Modus operandi penyelewengan dana itu terjadi mulai dari klaim sepihak, pungutan liar (Pungli) dengan prosentase tertentu, praktek nepotisme, hingga yang paling parah dugaan adanya kelompok penerima abal-abal.
Disebut abal-abal, lantaran kelompok dibentuk secara tiba-tiba, sementara kepengurusan dan anggotanya asal comot. Diduga kelompok itu dibentuk hanya sebagai sarana pencucian uang bantuan (money laundry). “Sebelum dana dikucurkan calon penerima dana atau pelaksana kegiatan harus bersepakat dahulu dengan oknum-oknum petinggi partai, anggota dewan yang terhormat atau pejabat tertentu mengenai besaran fee,” ujar sumber.
Masih menurut sumber tadi, besaran fee yang harus disetor kepada oknum tersebut, berkisar antara 10 hingga 30 persen dari total pagu bantuan.
Eksesnya bagi Kades akhirnya latah (ikut-ikutan) diduga turut menyunat antara 10-30 persen dari pagu bantuan, sehingga dana yang direalisasikan berkisar 60 persen bahkan hingga 50 persen saja.
Adapun dana bandes bersumber APBD Kabupaten Subang TA 2019 yang digelontorkan ke Desa Kiarasari diperuntukkan pembangunan Tembok Penahan Tanah (TPT) di Kp Mulyasari (RT 10/03) sebesar Rp 70 juta, Perkerasan Jalan Usaha Tani (JITUT) di Kp Kiarapayung sebesar Rp 70 juta, Pembangunan Lening di RT 19 Dsn Kiarasari sebesar Rp 50 juta, Pembangunan Rigid Jaling di Kp Ciligur (RT 08/03) sebesar Rp 50 juta dan Pembangunan TPT Jaling di Kp Kiarapayung (RT 17/05) sebesar Rp 50 juta.
Dari pantauan di lapangan, terlihat di sejumlah titik bangunan fisiknya sudah retak-retak terkesan asal jadi, padahal bangunan baru seumur jagung. “Apalagi bagunan TPT di Kp Mulyasari menurut kalkulasi dan fakta empiris hanya diterapkan kisaran 25-30 persen saja dari pagu anggaran,” ujar sumber.
Kepala Desa Kiarasari Samsudin saat dikonfirmasi melalui surat tertulis nomor : 81/Biro-Sbg/Konf/VII/2019, perihal wawancara khusus/klarifikasi terkait penggunaan dana aspirasi tidak berkenan menjelaskan. Begitu pula ketika disinggung dugaan Pungli program sertifikat massal melalui WhatsApp hanya dibaca saja tidak berkenan menanggapi.
Menanggapi itu, pentolan Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK-RI) Kabupaten Subang Adang Sutisna SH saat dihubungi awak media di kantornya komplek BTN Puskopad Sukajaya, Kelurahan Cigadung-Subang (6/7/2020) menegaskan, bila benar ada pungutan biaya itu melebihi ketentuan tergolong Pungli dan setiap Pungli adalah bagian tindak pidana korupsi.
“Setiap pengutan tanpa dilandasi Undang-undang adalah Pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat Pemerintah Desa dipandang kontradiski dengan regulasi Pemerintah atasnya, sehingga batal demi hukum,” tegasnya.
Sudah selayaknya oknum Kades dan panitia yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.
Menurut Adang, dalam konteks ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.
Pihaknya berjanji bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum. (Abh/Esuh)