Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Eksistensi Ulama di Masyarakat

Ulama artinya orang yang memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam atau dengan kata lain, orang yang memiliki ilmu yang berkualitas dalam berbagai bidang (Gibb dan Kramers (Eds.), 1961: 599). Ensiklopedi Nasional Indonesia (1996: 25) mendefinisikan ulama sebagai bentuk jamak dari kata „alim yang berarti orang yang berilmu.

Dalam pengertian asli yang dimaksud dengan ulama adalah para ilmuwan, baik di bidang agama, humaniora, sosial maupun kealaman.

Dalam perkembangannya kemudian, pengertian ini menyempit dan dipergunakan untuk ahli agama saja. Di Indonesia ulama juga mempunyai sebutan yang berbeda di setiap daerah, seperti Kiyai (Jawa), Ajengan (Sunda), Teungku (Aceh), Syeikh (Sumatera ) Tuan Guru (Nusa Tenggara, Kalimantan.

Dalam Al-Qur’an kata ulama disebutkan pada dua tempat, yaitu: surat al’Syu„ara‟ ayat 197 dan surat Fathir ayat 28. Surat al-Syu„ara‟ ayat 197 berbunyi:

أولم ٌكن لهم ءاٌة أن ٌعلمه علماؤا بنً إسراءٌل

Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?

Ulama yang dimaksudkan di situ adalah ulama Bani Israil. Di sini Al-Qur’an mengkritik sikap kalangan Yahudi yang menolak wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW; padahal ulama mereka sendiri telah mengetahui hal tersebut secara jelas. Adapun surat Fathir, ayat 28 berbunyi:

ومن الناس والدوآب واألنعام مختلف ألوانه كذلك إنما ٌخشى هللا من عباده العلماؤا إن هللا عزٌز غفور

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang￾binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Ulama yang dimaksudkan dalam ayat di atas bersifat general. Namun keterkaitannya dengan ayat-ayat di sekitarnya menunjukkan bahwa ulama adalah seorang yang senantiasa berpikir dan merenungi segala ihwal di sekitarnya dan bahkan alam semesta ini, lalu mengambil pelajaran darinya. Ulama adalah orang yang mampu melihat keagungan Allah di mana-mana dan merasa dirinya kecil, sehingga ia selalu memiliki komitmen yang tinggi terhadap segala titah Allah.

Dalam kedua ayat tersebut, ulama dikaitkan dengan sikap relegiusitas dan kepedulian keagamaan: takut kepada Tuhan dan peduli kepada makhluk Tuhan, serta bersikap kritis (bandingkan, al’Qurthubi/Juz XIII-XIV: 341-342).

Dalam ayat-ayat yang lain terdapat pernyataan yang menempatkan orang berilmu lebih tinggi kedudukannya daripada orang yang tidak berilmu; kata ulama tidak secara langsung disebutkan. Dalam surat al-Mujadilah ayat 11:

ٌاأٌها الذٌن ءامنوا إذا قٌل لكم تفسحوا فً المجالس فافسحوا ٌفسح هللا لكم وإذا قٌل انشزوا فانشزوا

ٌرفع هللا الذٌن ءامنوا منكم والذٌن أوتوا العلم درجات وهللا بما تعملون خبٌرُ

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:

“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya

Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:

“Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang￾orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa Allah meninggikan posisi orang-orang beriman dan orang-orang berilmu. Allah jugamembandingkan orang berilmu dan tidak berilmu seperti orang ang dapat melihat dan orang buta, misalnya dalam surat al-An„am ayat 50:

قل آلأقول لكم عندى خزآئن هللا وآلأعلم الغٌب وآلأقول لكم إنً ملك إن أتبع إال ماٌوحى إلً قل هل

ن

ٌستوي األعمى والبصٌر أفال تتفكرو

Katakanlah:

Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepadamu bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?

Semua ayat tersebut menjelaskan bahwa ulama memang dipandang spesial oleh Allah dan mereka mencapai derajat tersebut karena ilmu. Semua ayat tersebut juga menerangkan bahwa alasan pentingnya ilmu adalah karena ilmulah yang dapatmenyadarkan manusia akan Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan demikian ilmu dan moralitas menyatu secara integral dalam pandangan Al-Qur’an.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW yang terekenal ulama disebut sebagai waratsatul anbiya‟, ahli warisnya para Nabi. Nabi saw. Memiliki empat sifat keutamaan: shiddiq: berkata benar, amanah: terpercaya, tabligh: menyampaikan kebenaran dan fathanah: cerdas. Empat sifat Nabi ini sepatutnya juga tercermin dalam tingkah laku dan kepribadian seorang ulama.

Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat kita dan juga masyarakat Muslim umumnya, ulama cenderung mengesankan orang￾orang dengan ciri-ciri tradisional atau konvensional, tidak begitu peduli dengan segala urusan dunia, memiliki simbol-simbol khusus, seperti jenggot, peci, sorban dan kain sarung. Dengan memimpin sebuah pesantren atau mampu membaca kitab kuning seseorang akan dianggap jadi ulama. Demikian juga, dengan meninggalkan simbol-simbol khusus orang tidak lagi dinggap ulama.

Lulusan pesantren biasanya akan langsung dianggap sebagai ulama, sedangkan lulusan Perguruan Tinggi Islam, apalagi Perguruan Tinggi Umum, tidak dapat atau belum tentu dapat dianggap sebagai ulama. Ulama selalu dikaitkan dengan ilmu agama dan simbol-simbol yang unik. Bahkan peran yang dimainkan simbol-simbol tersebut kadang-kadang lebih menentukan daripada penguasaan ilmu itu sendiri. Alhasil, ulama adalah mereka yang memiliki atau menguasai ilmu apa pun secara mendalam dan ilmu tersebut telah menyebabkannya memiliki kesadaran Ketuhanan yang mendalam serta kesadaran moral yang tinggi.

Namun demikian ulama juga manusia, ia kadang-kadang juga bisa silap atau lupa. Tidak ada manusia yang ma‟shum, yang bebas dari dosa, termasuk juga ulama. Dalam Al Quran ada diriwayatkan jenis ulama semacam ini pada zaman Nabi Musa as. yang telah diberikan kemampuan untuk “mengetahui ayat-ayat Tuhan” akan tetapi pengetahuannya diselewengkan untuk kepentingan duniawi. Kisah ini terdapat dalam Surat al-A‟raf ayat 175-176:

ٌنَ }175{ ولو شئنا

واتل علٌهم نبأ الذي ءاتٌناه ءاٌاتنا فانسلخ منها فأتبعه الشٌطان فكان من الغاو

ه ٌلهث أو تتركه ٌلهث ذلك

لرفعناه بها ولكنه أخلد إلى األرض واتبع هواه فمثله كمثل الكلب إن تحمل علٌ

ن

مثل القوم الذٌن كذبوا بئاٌاتنا فاقصص القصص لعلهم ٌتفك

Ulama sebagai Ahl al-Ijtihad. Dalam literatur klasik ulama dikenal pula dengan istilah ahl al-ijtihad, yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan atau kapasitas untuk melakukan ijtihad, yakni upaya maksimal seorang faqih dalam mencari penyelesaian suatu masalah hukum syari‟at yang bersifat zhanni.(Al-Syaukani,t.th: 250). Para ulama mendaftarkan beberapa persyaratan yang spesifik untuk ahl al-ijtihad, antara lain:

  1. Menguasai Al-Qur’an dan Hadits.
  2. Mengetahui ijma‟ sehingga ia tidak sampai mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijma‟.
  3. Menguasai bahasa Arab yang memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur‟an dan Sunnah secara baik dan benar.
  4. Menguasai ilmu Ushul Fiqh, karena melalui ilmu inilah diketahui dasar-dasar dan cara-cara berijtihad.
  5. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan).
  6. Mengetahui permasalahan sekitar qiyas, mencakup persyaratan-persyaratannya, illat-illat hukum dan metodologi istinbath-nya dari nash.
  7. Mengetahui pemahaman tentang maqashid al-syar‟iyyah dalam menetapkan hukum. Yang dimaksud dengan maqashid al-syar‟iyyah ialah upaya untuk menjaga kemaslahatan manusia dengan jalan mengambil manfaat serta menolak mudharat bagi manusia (al-Zuhaili, 1986: 1044-49).

Selanjutnya, al-Ghazali, seperti dikutip al-Zuhaili, meringkas persyaratan-persyaratan tersebut menjadi dua:

  1. Menguasai tujuan syari‟at serta mampu menangkap arah maksud syari‟at dengan mengerahkan kemampuan nalarnya dan dapat men-taqdim-kan atau men-ta‟khir-kan sesuatu menurut seharusnya.
  2. Bersifat adil dan jauh dari prilaku maksiat; sebab orang yang maksiat fatwanya tidak dapat dipegang. Tiap persyaratan di atas tentu masih ada rincian dan klasifikasi dari yang lebih berat kepada yang lebih ringan. Misalnya, pengetahuan tentang al-Qur‟an ada yang mencukupkan dengan pengetahuan terhadap ayat-ayat hukum saja.

Demikian juga tentang hadits, ada yang menyebutkan cukup dengan penguasaan 500 hadits, tetapi Ahmad bin Hanbal, menurut sebuah riwayat, menghendaki penguasaan 500.000 hadits.

Kemajuan ilmu dan teknologi pada zaman modern ini, selain mempermudah beberapa pekerjaan ahl al-ijtihad sesungguhnya juga melahirkan tantangan baru yang tidak kalah besarnya pula. Akibatnya, persyaratan ijtihad tadi tidak memadai lagi sekarang. Selain persyaratan-persyaratan tersebut mujtahid sekarang harus memahami pula masalah-masalah kontemporer yang dihadapinya yang banyak di antaranya merupakan hasil dari revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini.

Salah satu jalan keluar untuk mengantisipasi hal ini sekarang adalah mendahulukan metode ijtihad kolektif (al-ijtihad al-jama‟i) daripada ijtihad individual (al-ijtihad al-fardi) yang merupakan kecenderungan masa lalu (Rusli, 1999: 96). Melalui metode seperti ini tinjauan suatu permasalahan dapat dilakukan dengan lebih komprehensif dan peluang berbagai komponen dan keahlian dalam masyarakat untuk ikut serta dalam proses ijtihad ini menjadi lebih terbuka.

Pada masa awal Islam ulama tidak sulit diidentifikasikan dan peran mereka juga jelas dalam masyarakat. Mereka, seperti nabi sendiri, adalah panutan masyarakat, pemimpin dan tempat mengadukan hal dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memberikan tuntunan kepada masyarakat dan juga memutuskan perkara-perkara mereka secara adil. Sepanjang masa kekhalifahan awal (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) tidak ada pemisahan ulama dan umara/pemimpin. Umara adalah ulama itu sendiri dan ulama adalah tetap sebagai pemimpin masyarakat walaupun bukan sebagai pimpinan tertinggi.

Tetapi pasca kekhalifahan empat sahabat besar tersebut, perkembangan sejarah mulai menggeser kedudukan ulama ke posisi yang berorientasi keagamaan ritual semata. Para penguasa lebih menyibukkan diri dengan urusan kekuasaan dan kenegaraan, dan menyerahkan urusan agama kepada ulama. Namun demikian keadaan seperti ini ada sisi positifnya, apalagi mengingat bahwa kekuasaan Islam telah semakin luas dan persoalan kehidupan telah semakin kompleks sehingga memerlukan kepada pembagian kerja secara proporsional: ulama mengurus agama dan umara mengurus negara.

Di sisi lain, ulama yang berdiri di luar kekuasaan dapat dengan leluasa memantau dan mengkritik penguasa apabila melakukan penyimpangan. Bahkan pada zaman tersebut kebanyakan ulama lebih cenderung menolak melibatkan diri dalam jaringan kekuasaan atau pemerintahan agar dapat mengemban amanat“keagamaan” dan ilmu pengetahuan secara lebih total dan lebih sempurna. Pada zaman itulah fiqh berkembang dengan pesat dan di luar campur tangan kekuasaan. Namun, bukan tidak ada ulama yang mengabdi untuk kekuasaan, menggunakan ilmunya untuk mendapatkan keuntungan duniawi dan kepentingan pribadi.

 

10 Hadist Keutamaan Ilmu dan Ulama

Hadist selain sebagai tabayun untuk memahami makna atau nilai-nilai ayat alqu’an. Hadist juga merupakan pendoman hidup yang lansung dari baginda nabi Muhammad SAW, melalui perantara para sahabat nabi yang ‘alim, muttaqin dan karya mereka yang waadih (jelas), wa multazim (terpercaya). Oleh karena itu, hadist akan sangat membantu umat muslim di kehidupan sehari-hari dan masa yang akan datang, sehingga akan terpecapainya khasanah dunia wa akhirot. Allah telah berfirman, “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. (QS. Al Mujadilah : 11).

Sebagaiman Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa sesungguhnya para ulama’ mempunyai derajat-derajat diatas orang￾orang mukmin sebanyak 700 derajat, yang jarak antara dua derajatnya adalah perjalanan 500 tahun.

Sungguh betapa mulia sekali orang-orang yang berilmu dan yang mengisi waktunya untuk meningkatkan nilai dirinya dengan ilmu.

Rasulullah SAW bersabda, “para ulama’ adalah pewaris para Nabi”.

Dan juga pernah bersabda, “Manusia yang paling utama adalah orang mukmin yang alim serta bermanfaat jika dibutuhkan. Jika ia tidak dibutuhkan, maka ia pun mencukupi dirinya.

Berikut 10 hadist keutamaan ilmu dan ulama, dari kitab Mata

Lubalul Hadist, Karya Jamaluddin bin Kamaluddin As -Suyuthi :

  1. Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ibnu Mas’ud RDH: “Ya Ibnu Mas’ud, dudukmu (walaupun sebentar) di majlis ilmu, walaupun tanpa memegang pena dan menulis satu hurufpun adalah lebih bagus daripada memerdekakan 1000 raqabah (budak), pandanganmu terhadap orang alim lebih bagus daripada 1000 kuda yang kamu sedekahkan di jalan Allah (sabilillah), salam-mu kepada orang alim lebih bagus daripada Ibadan 1000 tahun.”
  2. Nabi Muhammad SAW bersabda: satu orang faqih (tahu hukum syariah) yang ahli wira’i (menjauhkan diri dari perbuatan yg dilarang syariah), bagi syetan itu lebih berat daripada 1000 ahli ibadah yang bodoh, bersungguh-sungguh dalam ibadah, dan ahli wira’i
  3. Nabi Muhammad SAW bersabda: Keutamaan orang alim (yang mengamalkan ilmunya) mengalahkan ‘abid (ahli ibadah) adalah bagaikan rembulan (bulan purnama) yang mengalahkan semua bintang-bintang.”
  4. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa berpindah tempat untuk menuntut ilmu (syariat) maka dosanya diampuni sebelum dia melangkah.”
  5. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Mulyakanlah para ulama karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang mulya yang dimulyakan di sisi Allah SWT.
  6. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa setelah melihat wajah orang alim merasa bahagia, walaupun hanya sekali lihat saja, maka Allah SWT meciptakan dari pendangan tersebut seorang malaikat yang akan memintakan ampunan bagi orang tersebut hingga hari kiamat.
  7. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa memulyakan orang alim maka dia benar-benar telah memulyakanku dan barang siapa memulyakaknku maka dia benar benar telah memulyakan Allah dan barang siapa memulyakan Allah maka tempat kembalinya adalah surga.
  8. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidurnya orang alim lebih utama daripada ibadahnya orang bodoh”. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa mempelajari satu bab ilmu (saja) baik diamalkan maupun tidak, maka itu saja sudah lebih baik daripada shalat sunat 1000 raka‟at”
  9. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa berkunjung (atau berziarah) kepada orang alim maka dia seperti mengunjungiku, barang siapa bersalaman dengan orang alim maka dia seperti menyalamiku, barang siapa duduk bersama orang alim maka dia seperti duduk bersamaku di dunia, barang siapa duduk berasamaku di dunia maka aku akan mendudukkannya bersamaku di surge.

 

Sifat-sifat dan Kepribadian Ulama

  1. Khasyah (takut kepada Allah)

Ini merupakan unsur pertama dalam diri manusia sebagai pengemban gelar ulama‟. Ditegaskan dalam Al￾Qur‟an surat Al-Fathir ayat 28 berbunyi sebagai berikut :

ن اهلل عزيز غفور ) فا طر 28(

…….انما يخشى اهلل من عباده العلماء ا ّ

Artinya : …….. hanya yang takut kepada Allah, ia ulama‟-ulama‟ di antara hamba-hambanya, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang”.

Semua badan (anggotanya) tunduk dan patuh kepada hatinya dan mau bekerja atas perintahnya. Kalau pengajar itu suci bersih, cemerlang bijaksana dan taqwa kepada Allah dan memiliki rasa malu dihadiratnya, meyakini selalu dalam pengawasan Allah dan selalu bersedia menerima bimbinganNya, maka berarti bathinnya memerintahkan dan mengintruksikan bahwasanya yakni anggota badannya untuk mengadakan kegiatan yang diridlai Allah.”

Untuk mencapai pada tingkat taqwa kepada Allah ini seseorang harus membersihkan jiwa, sebab jiwa/hati merupakan sentral kegiatan bathin manusia, merupakan pusat, rasa karya dan iradah.

Dari hati inilah kegiatan lahiriyah dan gerak badaniyah dikendalikan oleh setiap orang.

  1. Khusyu’ (tunduk dan patuhkepada Allah)

Perasaan khusu‟ ini merupakan unsur rohaniyah manusia pada tingkatan lanjutan taqwa, artinya aspek kehusukan merupakan bentuk pengembangan seseorang memiliki sikap dan perilaku serta ucapan yang merendah dan penuh ketaatan kepada Allah SWT.

Seorang ulama‟ akan benar-benar mampu menerima gelar keulama‟annya jika dalam pribadinya selalu khusu‟ dalam mengamalkan ajaran agama. Baik ibadah yang berhubungan dengan tugas individual, juga amalan agama yang berhubungan dengan aspek kemasyarakatan. Yaitu tugas seseorang sebagai da‟i atau pendidik agama di masyarakat.

  1. Tawadlu’ (rendah diri dan tidak sombong)

Sikap tawadlu‟ atau tidak angkuh dan tidak sombong akan dapat membuka diri seseorang untuk lebih memahami diri sendiri dan orang lain serta membuka diri untuk lebih rajin dan tertib serta disiplin dalam menghadapi setiap tugas dan persoalan.

Sebab sikap sombong dan angkuh hanya akan membawa seseorang pada kehidupan yang bodoh dan malas. Karena orang takabbur akan tenggelam pada hayalan kelebihan dirinya, sehingga akan selalu merasa puas diri dan tidak mau mengakui kelemahan-kelemahan yang dimiliki. Dan orang takabbur akan tertutup jalannya masuk surga. Memang sikap sombong dilarang oleh Allah.

  1. Khusnul khuluq (baik akhlaq dan budi pekerti)

Akhlaq atau moral yang baik merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang ulama‟ sebagai pendidik, sebab dengan akhlak dan budi pekerti yang baik ini merupakan bekal menentukan keberhasilan dalam mendidik masyarakat. Orang lain akan menilai sejauhmana kepribadian seorang ulama‟ dalam bertingkah laku dalam kehidupan. Masyarakat akan menerima fatwa dari seorang ulama‟ jika yang mengatakannya itu memiliki kepribadian luhur dalam kehidupan sehari-hari.

I-tsarul Akhirah ‘alad dun-ya (mengutamakan akhirat dari pada dunia). Seorang ulama‟ dalam usaha mengutamakan kepentingan akhirat dari pada kepentingan dunia didasarkan pada firman Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an surat Al-qashas ayat 80 berbunyi sebagai berikut :

وقال الذ ين او توا العلم ويلكم ثواب اهلل خير لمن أمن وعمل صالحا

وال يلقها االّ الصبرون ) القصص 80(

 

Artinya : Berkata orang-orang yang berilmu pengetahuan celakalah kamu, pahala Allah terlebih baik untuk orang yang beriman dan beramal shaleh tetapi tidak adalah yang memperolehnya, melainkan orang-orang yang benar sabar.

Penulis adalah Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sumbar/Anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles