Selasa, Oktober 1, 2024

Eskalasi Interpelasi Menuju Impeachment Bupati Nina, Mungkinkah?

Dinamika politik setiap sekejap mata bisa saja berubah, tidak ada yang konstanta, karena variabelnya yang bisa berubah-rubah sehendak seleranya. Dinamika politik bisa saja mencapai titik eskalasi yang mengerikan bagi kekuasaan pada titik kulminasi politik. Itu sebab, karena dukungan publik semakin kuat dan semakin mengalir untuk Dewan melakukan interpelasi atas tata kelola pemerintahan di tangan Bupati Nina.

Hal itu, sangat mencemaskan, mendebarkan dan mengerikan bagi pemegang kursi panas kekuasaan, seperti melihat pisau guillotine di tiang eksekusi menanti Sang Eksekutor mengeksekusi takdir sosialnya.

Di sisi lain, sangat menjengkelkan dan menggemaskan, seperti cinta tak berujung bersemi atau kasih tak sampai, menaruh harapan yang sia-sia.

Hal yang mendebarkan dan mengerikan lainnya bagi pemilik kursi singgasana kekuasaan di alam demokrasi, karena singgasana kekuasaan di negeri fasis dan atau komunisme akan tetap tegak berdiri, terkecuali ada yang pemurtadan (politik) seperti Gorbachev. Sehingga, negeri fasis dan atau komunis raksasa adidaya Rusia (Sovyet) pecah berkeping-keping menjadi negara merdeka karena “Glasnot dan Perestroikanya”.

Demokrasi akan menghasilkan nilai konstanta nol besar, jika perangkat dan atau alat negara dipakai untuk mengabdi dan menghamba pada kekuasaan, dimana kekuasaan adalah Tuhannya, dalam teologi atheism.

Menjengkelkan, menggemaskan dan menggeramkan, jika eskalasi politik yang sudah pada titik kulminasi, sekoyong-koyong mencair, sehingga menghasilkan nilai nol besar dalam konstanta dalam demokrasi. Mindset dan paradigmatik pragmatis politis seperti itu juga adalah bagian dari atheism, sehingga apa yang dikatakan oleh Farag Fauda (pemikir sekaligus intelektual akademik Mesir) yang mati ditikam ideologi politik dan teologi sektarian sebagai “Kebenaran yang Hilang”.

Lantas bagaimanakah dengan eskalasi politik interpelasi Dewan yang geger dan digegerkan oleh paralegal Adi Iwan Mulyana, SH. MH, Rudi Setiantono, SH, MH dan Toni RM, SH. Sederatan lainnya adalah praktisi hukum yang sekaligus Dosen, yaitu H. Mahfuddin, SH, MH, M.Kn dan DR. H. Khalimi, SH, MH, CTA (Dosen UTA’45 Jakarta), dan akademisi yang sekaligus Rektor, yaitu DR. Ujang Suratno, SH, MSi {Rektor Universitas Wilalodra (UNWIR)} Indramayu atas hak interpelasi DPRD ke Bupati?

Apakah masih akan ada sederet panjang paralegal, akademsi dan Rektor lainnya yang akan berada dalam ruang publik untuk “perang dingin dalam public opinion?”  Sangat memungkinkan jika kita membaca kultur dan mentalitasnya. Lantas, mungkinkah hak interpelasi itu akan menjadi keniscayaan bahkan sampai pada keniscayaan akan pemakzulan Bupati Hj. Nina Agustina, SH, MH, CRA?

 

Surat Kaleng

Meski hak interpelasi adalah hak legislatif akan tetapi harus ada dasar hukumnya yang jelas. Kalau hanya surat kaleng dijadikan dasar usulan interpelasi, itu sangat tidak mendasar (Rektor UNWIR DR. Ujang Suratno, SH, MSi, rednews.my.id, Jan 15,2022, Esatu.com, 15/1/2022, dan beberapa media lainnya, idem).

Surat Kaleng dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah surat buta. Buta dalam pengertian di sini, bukan seperti dalam cerita sinetron kejar tayang atau film dalam Si Buta dari Gua Hantu. Buta dalam makna dan pengertian, surat itu dikirim tanpa identitas yang bisa diketahui oleh si penerima surat, yang berisi informasi penting, untuk menghindari resiko dari berbagai banyak hal resiko, terutama keselamatan jiwa si pengirim surat kaleng.

Surat kaleng, bukan berarti surat dalam kaleng atau kaleng yang berisi surat. Jika surat yang dikirim bukan dengan intikad baik dan benar, ataupun bukan berisi informasi yang penting (untuk kepentingan publik), maka itu namanya surat kaleng-kalengan, surat kaleng(an).

Semua surat yang tak beridentitas disebutnya sebagai surat kaleng dalam pengertian, informasinya hoax, datanya fitnah dan seterusnya. Di sinilah kebutaan akademisi yang sekaligus Rektor dalam melihat untuk melek situasi dan politik pada tata kelola pemerintahan di tangan Bupati Nina. Di sini pulalah kekacauannya yang sekaligus menjadi kepongahan akademiknya.

Dalam dunia kawah candradimuka, semua literature dan terori akademik (sekalipun teori di atas teori) mengajarkan pada kita semua, terutama para mahasiswa, bahwa sebuah informasi ataupun informasi apapun yang berseliweran, apalagi informasi tersebut merupakan jeh dari segala jeh yang ada (sumber katanya dan katanya) belum bisa kita dikatakan sebagai sebuah data.

Informasi itu kemudian harus kita tarik dari satu titik ke titik-titik lannya dan dari titik-titik ke garis-garis lainnya. Benang merah itu harus kita runut, logis apa ngawur, dan kita uji ulang untuk bisa menjadi sebuah data, kevalidasnya harus shohek atas kebenarannya itu sendiri. Sehingga, menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan akan kebenaran materialnya maupun kebenaran formilnya. Bahkan kebenaran formilnya bisa menyusul di belakang sebagai pembuktian formalistiknya.

Metodologi akademik mengajarkan pada kita, bahwa informasi yang bisa dijadikan sebagai dasar basis data adalah tatkala informasi tersebut sudah melintasi jalan pengujian akan sebuah kebenaran informasi dari informasi itu sendiri, dan baru bisa dikatakan sebagai data. Informasinya itu sendiri baru bisa kita katakan sebagai alat bukti petunjuk atas kebenaran dan data itu sendiri.

(Ilmu) pengetahuan harus menyangsikan semua hal yang ada dan yang meng-ada yang dianggap benar. Apakah itu informasi ataupun data atau bukti-bukti apapun yang meg-ada. Ilmu pengetahuan berkewajiban untuk menguji ulang atas kebenaran itu sendiri yang semula telah dikatakan benar adanya.

Pertanyaannya, apakah yang dikatakan Anatole France (yang sering disitir Wiratmo Soekito tatkala Manfes Kebudayaan dibombardir oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah bersemayam pada para akademsi dan paralegal atau telah membatu pada para penghamba kekuasaan dan para buzzer? Anatole France mengatakan: “Pada umumnya orang tidak membaca, dan jika orang membaca maka ia tidak mengerti, dan jika ia mengerti maka ia lekas lupa.”

Nah, di sini, mungkin, informasi, data, fakta-fakta dan realitas politik atas tata kelola pemerintahan yang buruk, menabrak regulasi, yang telah berhamburan dan bersiliweran di ruang publik, baik yang telah dilansir belbagai media massa, medsos maupun komunitas diskusi-diskusi atas fakta dan realitas data, sebagian besar sudah sudah menjadi data konkret yang tervalidasi kebenarannya.

Tampaknya, hal seperti itu luput dari bacaan dan referensi kaum intelektual seperti paralegal Adi Iwan Mulyana, SH, MH, Rudi Setiantono, SH, MH, Toni RM, SH, H. Mahfudin, SH, MH, M.Kn, DR. H. Khalimi, SH, MH, dan DR. Ujang Suratno, SH, MSi dalam mengargumentasikan narasi opini publiknya mengenai interpelasi Dewan, yang hanya sekedar “harga mati” kekuasaan (politik).

Opini publik itu diharapkan (jika itu by order atau job order atau sekedar harga mati kekuasaan, atau sebagai penghamba kekuasaan) sebagai penjelasan yang waras untuk menjustifikasi bahwa interpelasi itu tidak beralasan, dan opini itu harus dibangun melalui corong akademsi, paralegal dan atau kaum intelektual salon yang seolah-olah hal itu menjadi kebenaran akademik dan sebagai rujukan publik, yang oleh Fierre Bourdieu, Jullian Benda dkk dikatakan sebagai pengkhiatan intelektual.

Hans-Georg Gadamer (Truth and Method) mengakatan, jika metode itu dianggap merintangi kebenaran (dalam hal ini seperti surat kaleng atau hanya kabar burung), maka lompatannya dengan “dialektika”.

Dikatakannya, sebagai teori di atas teori soal metode yang dianggap merintangi kebenaran, maka lompatannya adalah dengan dialektika yang tiada henti mengumpulkan serpihan-serpihan kebenaran hingga akhirnya kebenaran menjadi bulat dan utuh.

Kebenarannya atau data akan menjadi valid setelah informasi atau surat kaleng itu diuji dan ditelusuri berdasarkan jejak benang merah, sebagai alat bukti petunjuk permulaan dari sebuah informasi hingga bukti-bukti petunjuk yang lainnya ada, yang dalam hal ini dari bersliwerannya informasi di ruang publik, yang kemudian menjadi bulat dan utuh kebenarannya.

Atau sebaliknya, harus dinafikkan, jika sebagai informasi dan atau data tidak mengandung kebenaran material maupun kebenaran formil setelah melintasi uji ulang akan kebenaran itu sendiri. Kebenaran material bisa menafikkan kebenaran formil, karena kebenaran formil bisa direkasaya, sedangkan kebenaran material adalah kebenaran yang sesungguhnya atas kebenaran itu sendiri.

Yang demikian seharusnya paham, karena merupakan pertanyaan mahasiswanya atau harus menjelaskan atas pertanyaan yang diajukan civil society. Yang terbaca dalam opini publik yang dilansir media atau seperti video yang diunggah Toni RM, SH, adalah hampa data. Lantas Rektor bilang atas dasar surat kaleng. Bahkan oleh paralegal dikatakan cacat prosedural dan hukum. Kemudian dikatakan sebagai terobosan kebijakan yang berani.

Katanya pula, narasi yang dibangun dengan argumentasi yang tidak menarik dan jungkir balik, dan bla..bla..bla. Yang riuh dan gaduh itu, sesungguhnya adalah opini publik yang dibangun para narator yang piawai yang menyelinap di balik mantel intelektual (akademik),

Padahal, mereka adalah bukan Tukang Kliping kebijakan publik dan atau bukan Tukang Kliping perkorupsian (kebijakan), dan bukan pula mereka itu sebagai peneliti. Itu soalnya.

Informasi sebagai alat bukti petunjuk, tentu, kita bisa menelusuri jejak benang merahnya dengan berbagai cara, yang pada akhirnya dari “dialektika” kembali menjadi “metode” yang kemudian harus kembali menjadi metodologi akademik.

Apakah mereka itu melakukan pembacaannya dengan pisau bedah (semiotika) Umberto Ucco, Jacques Derrida maupun Firdinand de saussure yang banyak dipakai sebagai tujukan mahasiswa dalam membuat skripsi, tesis ataupun disertasi. Itu yang tidak terlihat dan tidak terbaca. Kaca mata hitam yang dipakainya tak mampu membendung cahaya matahari.

Surat kaleng, yang oleh sang akademsi dan Rektor dianggap tidak bisa dijadikan dasar usulan interpelasi, dan itu, sangat tidak mendasar. Tentu, karena sang Rektor keliru membaca surat kaleng dengan surat kaleng-kalengan atau surat kalengan. Itu yang membuat kesesatan logika dan akal warasnya yang sekaligus menjadi kepongahan akademiknya.

Surat kaleng bisa dijadikan dasar yang kuat dengan metode matematika dalam rumus “jika dan jika”, dan jika berisi data, kita harus menguji ulang, yang kevalidan dan kebenarannya bisa kita terulusi, dan bisa kita buktikan adanya kebenaran, menjadi keniscayaan alat bukti permulaan yang cukup dan bisa sebagai bukti petunjuk untuk membuktikan kebenaran yang berelasi dengan kebenaran yang lainnya dalam benang merah kebenaran itu sendiri.

Dalam dunia inteligen, surat kaleng, baik yang dikirim oleh Burung Merpati POS (dara pos) atau pun via kurir, dan lainnya, menjadi sangat berharga, karena surat kaleng menyimpan banyak informasi yang disampaikan. Kebenaran informasi tersebut untuk bisa dijadikan data, tentu harus melintasi uji kebenaran informasi dan penelusuran informasi yang kita jelaskan di muka.

Surat kaleng dalam kemajuan teknologi, kini diterapkan oleh banyak institusi negara untuk hal-hal yang sangat penting atau genting, vital dan atau yang menyangkut keselamatan nasib tumpah darah Ibu Pertiwi.

Surat kaleng dalam teknologi digital seperti halnya “whistleblowers system” atau kita sebut dengan tempat atau wadah “Surat Kaleng Elektronik”, di mana para pengirimnya adalah anonime atau anomali; merashasiakan identitasnya, tidak diketahui dari siapa, dan di mana siapa itu berada demi keselamatannya, dan seterusnya.

Surat Kaleng itu yang menyampaikan pesan dan atau informasi penting untuk ditindaklanjuti. Sistem whistleblowers tersebut dipakai oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang sukses untuk operasi senyap tangkap tangan. Sekali lagi, whistleblowers merupakan pos besar yang sebagai berisi surat keleng elektronik yang mengirim pesan dan informasi sangat penting yang dikirim publik luas.

Konon Inspektorat Indramayu pun menerapkan sistem yang sama dengan KPK atas kerja samanya di bidang pencegahan dan penindakan perkorupsian. Sekalipun harus dikatakan sistem tersebut hanya menghasilkan resultante nol besar atas pesan dan infomasi yang sangat penting itu untuk ditindak lanjutinya.

Bagaimanapun hebatnya sistem, dan sebaik apapun namanya sistem, jika para pelaku sistemnya tidak waras, maka sistem tersebut tidak akan berdaya. Itu benda mati. Bradford Cadmus & Arthur J.E. Chilid (Internal Control Against Fraud and Waste, 1953:15) menyaratkan adanya praktik-praktik yang sehat dari pelaku sistem dan pelaku yang cakap dalam mengoperasionalkannya. Jika tidak, itu hanya alat atau perangkat mati.

Surat kaleng adalah bagian dari informasi yang menginspirasi untuk rancang bangun kontruksi desain sistem yang efektif dan efisien. Berdasarkan surat kaleng, kita bisa melebarkan jaringan bawah tanah, karena ternyata dalam surat kaleng itu berisi informasi-informasi yang mencengangkan atas isi kotak Pandora; kasak kusuk kebijakan, perkorupsian, permainan proyek, dan segala macam model transaksional berbaju “kemartabatan.”

 

Argumentasi Legislatif

Usulan Hak Interpelasi yang akan diajukan Legislatif kepada Bupati, bukan tanpa dasar. Penjelasan Ketua DPRD Syaefuddin kepada Direktur PKSPD, Selasa, 18/1/2021 mengatakan, para pengusul Hak Interpelasi semula 38 pengusul kini bertambah menjadi 39 pengusul, yang kemungkinan besar bisa bertambah lagi.

Hak Interpelasi diatur dalam Tata Tertib DPRD Indramayu No. 1 Tahun 2020, Pasal 70 dan UU No. 27 Tahun 2014 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 79; Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.

Jumlah para pengusl hak interpelasi sudah melebihi ketentuan Tatib Dewan; minimal 7 pengusul dari dua Fraksi. Jadi yang tanpa dasar, apanya dan dimana? Ketua Dewan menggarisbawahi, usulan Hak Interpelasi itu bukan tanpa dasar yang kuat, karena para pengusul mempunyai argumentasi yang berlandasan peraturan perundang-undangan, melihat fakta dan kenyataan tata kelola pemerintahan dan tata kelola BUMD yang ada.

Legislatif, juga mendengarkan, menyerap aspirasi, dan me-list masukan dari masyarakat dan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan berbagai pihak dari masyarakat kritis di berbagai media, menyaring dan menelusurinya. Bukan percaya begitu saja. Bukan sembarangan.

Dikatakannya, bahwa Dewan berkomitmen sangat serius membaca analisis civil society yang kritis, dan itu Dewan tampung, dan didengar sebagai bahan masukan, yang berarti Dewan itu menunjukkan keseriusan dan berkomimen untuk melaksanakan Interpelasi atas peran dan fungsi Dewan sesuai amanat undang-undang untuk menjalankan haknya, yaitu Hak Interpelasi, yang mungkin berlanjut ke Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat, karena dampaknya yang meluas atas kebijakan strategis Bupati dalam tata kelola pemerintahan dan tata kelola BUMD itu.

Legislatif menyaring dan mengkaji ulang. Yang argumentasinya peraturan perundang-undangan dengan menyodorkan fakta dan bukti-bukti yang benar dipakai sebagai masukan untuk Hak Interpelsi, dimana persoalan itu akan ditanyakan kepada Bupati.

Tim Intepelasi sudah menyusun semua persoalan yang ada tentang tata kelola pemerintahan dan BUMD, dan puluhan pertanyaan itu akan meminta keterangan Bupati Nina, dimana pada 31/1/2022 nanti diparipurnakan untuk menjadualkan Hak Interpelasi tersebut dilaksanakan, sehingga Bupati bisa mempersiapkan diri untuk bisa menjelaskan langsung kepada Dewan, bukan diwakilkan kepada bawahannya.

Dalam Hak Interpelasi, persoalan yang menjadi fokus adalah soal tata kelola pemerintahan dan soal BUMD; fokusnya PDAM dan BWI. Ketua Dewan, memberikan beberapa contoh persoalan tata kelola pemerintahan yang tidak sejalan dengan (baca: menerobos, menabrak) peraturan-perundangan. Bukankah hal yang saya (maksudnya, Ketua Dewan) katakan itu suatu nyata-nyata atas dasar perundang-undangan. Usulan interpelasinya sesuai aturan. Kok dibilang cacat prosedur?

List persoalan tata kelola pemerintahan yang good gonernace dan clean government atas dasar UU No. 28 Tahun 199, dan persoalan BUMD di tangan Bupati Nina yang diargemntasikan Dewan adalah membuktikan gugurnya argumentasi yang dinarasikan ke ruang publik oleh paralegal dan akademisi, yang sekaligus juga mematah apa yang dikatakan oleh paralegal Adi Iwan Mulyono, SH, MH, Rudi Setiantono, SH, MH, Toni RM, H. Mahfuddin, SH, MH, M.Kn, DR. H. Khalimi, SH, MH, CTA dan DR. Ujang Suratno, SH, MSi di media di ruang publik.

Paralegal dan akademisi itu mengatakan, bahwa interpelasi itu cacat prosedur, hukum dan tendensius dan dipaksakan. Interpelasi sangat tendensius dan sangat kental nuansa politis (Edi Iwan Mulyadi, Rudi Setiantono, Esatu.com, 15/1/2022). Narasi “ngeri-ngeri sedap” meminjam diksi H. Adhlan Daie (Kreator Jabar, 13/1/2022) yang dibangun di atas argumentasi yang kurang menarik dan logika yang jungkir balik (Mahfuddin, Fokuspantura.com, 15/1/2022).

Argumentasi paralegal, dan ada yang sekaligus adalah akademisi, menjadi patah atas argumentasi Legislatif dengan segala seperangkat pijakan peraturan-perundangan. Fakta dan data konkret atas kebijakan (bukan) public Bupati yang  banyak “menerobos” regulasi itu, yang kemudian dibalik yang dinarasikan dan dideskripsian oleh mereka sebagai sebuah “terobosan”, dan yang dibangun di atas argumentasi yang kurang menarik dan logika yang jungkir balik. Hanya sekedar untuk menjastifikasikannya atas dasar surat kaleng.

Fakta, data dan bukti-bukti konkret atas kebijakan Bupati yang menerobos atau menabrak regulasi, kata Ketua Dewan, tengah diinventarisir dan disusun oleh Tim Interpelasi Dewan. Yang juga berarti mematahkan apa yang dikatakan oleh yang bukan Tukang Kliping kebijakan Bupati, seperti halnya Ketua GP Ansor Edi Fauzi, bahwa  Bupati Nina sudah menunjukkan perubahan yang sangat positif, salah satunya adalah dalam melakukan penataan birokrasi di lingkungan Pemkab. Indramayu. Lantas, menyodorkan salah satunya adalah komitmen bupati dalam melakukan rotasi mutasi dan promosi tanpa transaksi. (Fokuspantura.com).

Hal yang tak jauh beda, paralegal Toni RM dalam uanggahan videonya berkesimpulan bahwa soal PDAM dan persoalan PDAM adalah urusan manajemen PDAM, bukan Bupati. Hal itu mencerminkankan jauhnya pengetahuan mengenai problem majamen dan atau soal manajemen itu sendiri. Ketidakbecusan majanemen di tubuh BUMD yang mengakibat sakit parahnya PDAM, BWI dan atau sekaligus BPR KR adalah menjadi tanggung jawab Bupati sebagai KPM. Penafikkan itu, karena yang nyeplos bukanlah Tukang Kliping, tetapi tukang Tik-Tok-kan, hanya untuk membiaskan dan atau mengaburkan nucleus persoalan akar problematikanya.

Toni RM, berangkat dari premis kecekakan dan ketidaktahuan prablematika akar persoalannya. Menjadikan kesimpulan yang digarisbawahi menjadi “jongkok”, apalagi pisau bedahnya hanya bertumpu pada satu disiplin ilmu tunggal. Pastilah akan ngawur dan tersesat jauh untuk menembus  pembacaan, pembedahan dan analisis atas kebijakan publik. Teks akademik dan teori akademik kadang juga menjadi terganjal jika di suatu titik problematika di-cut-off dengan postulat ”saterisparibu” untuk membentengi tirani kesamaran.

Oleh karena itu, jika kita melakukan pembacaan dari yang mereka lontarkan di ruang publik. Hal itu menguatkan apa yang dikatakan Anatole France dalam pembacaan dan dalam membaca, dan mengafirmasi keniscayaan kebenarannya, bahwa statemennya itu asal nyeplos, asal nyeplak, untuk menandai bahwa mereka itu bukan Tukang Kliping Kebijakan (bukan) Publik Bupati dalam tata kelola pemerintahan dan tata kelola BUMD.

Tidak keliru dan atau tidak bisa disalahkan jika kemudian publik menudingnya ada indikasi kuat sebagai job order untuk public opinion. Yang oleh Ignas Kapolkas dalam A Political of Theori Post Truth sebagai penyamaran kebenaran, karena itu disuarakan oleh para intelektual (paralegal, akademisi dan Ketua Ormas) yang seolah-olah suaranya itu atas dasar intelektual akademik, atau mungkin, mereka apa yang disebut sebagai Orwellians (George Orwell: Nineteenj Eighty-Four), dimana Bupati Nina ada di dalam kisah novel tersebut bersama mereka-mereka. Para inteletual salon kemudian memberikan penguatan yang seolah-olah itu narasi yang didasarkan pada landasan nalar akademik.

Apa yang dikatakan Ignas Kapolkas dan Geroge Orwell tersebut, seperti, kata “terobosan” untuk membiaskan dan memanipulatif kata “menerobos”. Kata “berani” untuk mempolitisasi kata “kuasa bandar”, “otoritarian”, “arogansi”. Bahkan kata “prerogatif”, “hak mutlak Bupati” untuk mempolitisasi dan mengaburkan pengertian dan makna dari “ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.” Padahal, demokrasi meniadakan hak absolut, karena absulutisme adalah hak yang hanya dimiliki Tuhan, dan itu hak absolut Tuhan semata.

Salah satunya adalah komitmen bupati dalam melakukan rotasi mutasi dan promosi tanpa transaksi. (Ketua GP Ansor Edi Fauzi). Transaksi yang dipahaminya adalah seperti membeli cabai rawit di lemprakan pasar, di pasar kagetan keliling, sehingga menjadi paradox, bahkan menjadi jungkir balik logika dan akal warasnya. Transaksi dalam kamus perpolitikan kekinian dan dalam motif politik jika ia paham, tidak saja akad jual beli atau transaksi hanya dalam bentuk uang.

Transaksi(onal) dalam hal kebijakan publik, tata kelola pemerintahan, dalam sebuah birokrasi pemerintahan adalah lebih luas dan lebih jauh jangkaunnya melampaui jaringan pipa air PDAM Tirta Darma Ayu, lenih jauh dari pendistribusian pupuk subsidi dan beras BWI, dan bahkan lebih meluas dari kucuran kredit dari BPR KR.

Transaksi(onal) bisa melesat ke arah anak panah loyalitas kekuasaan birokratif, bargaining  politis siluet, tukar tambah kepentingan untuk mengamankan kebijakan untuk mengamankan jabatan strategis, dan sederet value tukar tambah politis yang pragmatis, dan permainan loyalitas kekuasaan lainnya.

Kesesatan mendefinisikan, memaknai maksud dan tujuan dari teologi sosial transaksi(onal), sehingga harus mengatakannya sebagai komitmen Bupati yang menunjukkan perubahan yang sangat positif yang dilakukan Bupati Nina.

 

Legislatif Harus Mem-PTUN-kan Bupati?  

Hak Interpelasi idealnya dilakukan setelah organ tata usaha negara tidak mampu menangani persoalan sendiri. UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah. Ada mekanisme yang harus dilalui apabila ada yang tidak menerima putusan tata usaha negara, yaitu melalui keberatan dan melalui banding administratif.

Jika urusan tata kelola BUMD baik BWI maupun Perumdam Tirta Darma Ayu adalah kewenangan yang harus dipertanggungjawabkan oleh direksinya, bukan kewenangan itu dibebankan kepada Bupati, sehingga hanya pada pucuk pimpinan BUMD itulah tanggung jawab dibebankan untuk menyelesaikan urusan yang menyangkut BUMD sebagai pengambil keputusan. Marilah saling menghargai ruang lingkup kewenangan dalam setiap aktivitas eksekutif, yudikatif dan legislatif, sehingga tidak terkesan pada persoalan ini saling menjatuhkan” (Praktisi Hukum sekaligus Akademisi UTA’45 Jakarta DR. Khalimi, SH, MH, CTA, Fokuspantura.com, 15/1/2022).

Bagaimanakah sang Dosen UTA’45 Jakarta yang sekaligus praktisi hukum itu menjelaskan kepada para mahasiswa (jika civil society sebagai mahasiswanya) atas pertanyaan, apakah semua dan atau jika pengambilan kebijakan Bupati yang menabrak, melanggar, menerobos portal, perboden dan lampu merah peraturan perundang-ungan tersebut, kemudian Dewan harus mem-PTU-kan Bupati?  Bukankah, Legislatif dan Eksekutif (Bupati) itu sama-sama sebagai penyelenggara pemerintahan, apa landasan pijak undang-undangnya?

Bukankah ruang mem-PTU-kan itu adalah ranah masyarakat sipil atau badan hukum (perdata), seperti yang  dilakukan Panji Purnama menggugat Bupati Nina Agustina, SH, MH, C.R.A atas  pengangkatan dan atau pelantikan Dirut PDAM DR. Ir. Ady Setiawan, SH, MH, MM, MT?

Bukankah Legislatif harus menjalankan peran dan fungsinya sebagai wakil rakyat, bukan sebagai wakil Bupati dan atau menjadi juru bicara Bupati?  Bukankah DPRD itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bukan Dewan Perwakilan Raja (Bupati) Daerah?

Jika ada legislator yang dengan “harga mati” membela kepentingan kekuasaan Bupati dan atau demi  harga mati atas kebijakan Bupati yang menabrak peraturan perundang-undangan, sudah seharusnya mereka itu berkantor di Pendopo bersama Bupati, karena Rumah Rakyat (Gedung DPRD) adalah diperuntukan bagi wakil-wakil rakyat yang menyuarakan suara rakyat, karena suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Tentu, suara rakyat yang menangdung kebenaran, karena Tuhan tak pernah berdusta apalagi berkhianat.

Uang rakyat untuk membangun gedung Dewan . Maka disebut sebagai Rumah Rakyat dan para penghuninyapun haruslah para wakil-wakil rakat yang harus memperjuangkan kepentingan hajat hidup orang banyak, yaitu yang disebut rakyat.

Rakyat membiayai segala kebutuhan wakil-wakil rayat, mulai dari membayar makan minum sekeluarga (gaji, tunjangan dan  kesehatan) dan operasional aktivitas para wakil rakyat, dari pagi hingga paginya lagi, mulai dari bangun tidur kemudian tidur lagi dengan pulas, ngorok,  kentut, berak dan menguap pun rakyat yang harus membayar rakyat. Rakyat  menanggung semua resiko dan bebannya.

Oleh sebab itu, Legislator (wakil-wakil rakyat) harus menjalankan kewajiban yang melekatnya sebagai watch dogs atas kebijakan Bupati yang salah, yang keliru dan atau yang menabrak portal peraturan perundang-undangan agar kepntingan hajat hidup rakyat terjaga. Agar kebijakan pro rakyat, bukan berpihak kepada oligarki kekuasaan, bukan demi kekuasaan.

Dalam negara (sistem) demokrasi, di negeri ini, peran dan fungsi Legislatif telah diatur dengan UU No. 27 Tahun 2014 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD. UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah berikut dengan hirarki turunannya, yaitu Legislatif haruslah menjadi “watcht dogs”, karena Legislatif mempunyai peran dan fungsi dan atau memiliki tugas dan kewenangan (bisa dibaca secara lengkap dalam UU, termasuk larangan anggota Legislatif) yang melekat atas fungsinya: Legislasi, Anggaran (Budgeting), Pengawasan (Controlling).

Begitu juga hak yang melekat pada Legislatif; Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat. Kewajiban, tugas, kewenangan dan larangannya sudah diatur dalam Susduk DPRD. Salah satunya berkewajiban dan atau harus menjalankan haknya yaitu atas Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat, sebagai tindak lanjut atas masukan dari masyarakat sipil atas  “malakebijakan publik”, “malapraktek” kebijakan Bupati yang strategis, yang mempunyai dampak luas terhadap kepentingan publik.

Karena itu, sebagai keniscayaan atas amanat penderitaan rakyat yang mendesak untuk menjalankan haknya, yaitu Hak Interpelasi, yang bisa saja harus berlanjut ke Hak Angket dan ke Hak Menyatakan Pendapat. Bukan sesuatu yang naïf, dan bukan pula sesuatu yang ketidakniscayaan mitu terjadi, jika Dewan sesuai dengan komitmennya. Tentu, jika Dewan mempunyai integritas. Itu soalnya. Dewan tengah menantang dirinya sendiri di tengah tantangan publik.

Ke-3 hak Legislatif itu menjadi keharusn dan atau kewajiban yang harus dijalankan Legislatif, jika Bupati menabrak portal kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan jika tidak bisa dikembalikan ke relnya, seperti disebutkan dimuka, termasuk dalam tata kelola pemerintahan yang menafikan good governance dan clien government  yang dimaksudkan dalam UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Untuk itu, bukan peran dan fungsi Legislatif untuk menempuh jalan mem-PTUN-kan Bupati Nina, yang kemudian oleh sang Dosen dikatakan, idealnya dilakukan setelah organ tata usaha negara tidak mampu menangani persoalan sendiri. Dalam UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah,  ada mekanisme yang harus diulalui apabila ada yang tidak menerima putusan tata usaha negara, yaitu melalui keberatan dan melalui banding administratif.

Logika dan akal waras yang dipaksakan Sang Dosen sebagai teks akademik dan atau teori akademik menjadi jungkir balik jika itu disadarinya. Logika dan akal waras tidak bisa dijungkirbalikkan, terkecuali jika kewarasannya telah hilang; “gila”, bukan “gila-gilaan.” Mahasiswa akan mencari referensi lain yang waras, lantas bertanya kepada Prof. Google untuk mendapatkan penjelasan akademik yang waras.

Ternyata, teks akademik dan teori akademik yang dinarasikan sang Dosen, Rektor dan paralegal di muka menjadi sesat akademik, dan menjadi sesat intelektual pula. Tetapi,  itu semua sudah dijelaskan oleh Fierre Bourdieu dan Julien Benda dkk.

Prof. Google mengatakan, jangan pernah patah arang, kecil hati dan lenyap asa untuk menatap cakrawala ke depan. Masih ada banyak para akademisi yang waras logika dan akal warasnya, baik di dalam maupun di luar (negeri) belahan sana, yang logika dan akal warasnya terjaga, integritasnya terjaga, dan mentalitasnya terjaga (tidak bobrok). Jangan sampai sesat logika dan akal waras.

Pertanyalah padaku (kata Prof. Google), dan aku akan mempersilakan membacanya sendiri agar tidak dimanipulatif dan tidak dipolitisasi, karena aku tidak menciptakan pabrik kaleng di kampus-kampus, yang pada suatu saat kaleng-kaleng itu gelombrangan.

Satire pedas, kejam dan tajam dari Rocky Gerung, aku perhatikan baik-baik, dan senantiasa kujadikan catatan penting yang setiap waktu harus dibuka kembali untuk terjaga dari kelalaian dan ketidaksesatan menjelaskan kepada para mahasiswa dan civil society. Memang, di halamanku, tahu sendiri, banyak kaleng-kaleng yang bergelombrangan, ada banyak Tik-Tok-kan, dan itu tak terbantahkan.

Jika kau masih waras logika dan akal warasnya, tak perlu galau apalagi risau, kebenaran adalah kebenaran itu sendiri dan itu miliknya, bukan milik kaleng-kaleng yang bergelombrangan dan bukan pula pemilik Tik- Tok-kan. Kau harus paham dunia itu, karena itu dunia lain yang bukan duniamu kaum intelektual akademik, yang mentalitas dan integritasnya senantiasa terjaga, tidak lekang oleh ruang dan waktu. Itu pesanku, kata Prof, Google.

Maka, pertanyaannya, bukankah Legislatif (DPRD) kedudukannya sebagai unsur menyelenggara pemerintahan daerah, sebagaimana dijelaskan pada pasal 40 UU No. 27 Tahun 2014 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD. Bupati juga sebagai penyelenggara pemerintahan. Masa iya, sesama penyelenggara pemerintahan bisa saling mem-PTUN-kan? Yang benar saja. Memangnya dunia akademik sudah keblinger dan sudah sedemikian bebal dalam kedunguan?

Lantas, apa Legal Standingnya jika DPRD harus melakukan gugatan ke PTUN atas kebijakan Bupati, misalnya, soal pengangkatan dan pelantikan Dirut PDAM, soal pembongkaran pagar alun-alun, soal jembatan merah, soal kantor Camat dan Kuwu merah ptuih sebagai simbol kekuasaan rezim sekarang ini, soal baju batik anak sekolah yang merah, soal merahnya merah Pendopo ketika kedatangan Menteri dan Legislator, soal penempatan jabatan strategis yang lompat pagar.

Soal pemecatan pegawai PD. BWI-Rice Center dengan memaksa untuk menandatangani pengunduran diri, hal yang sama dilakukan terhadap pemecatan pegawai honorer PDAM yang yang kemudian disulap dengan metode assesment yang mendatangkan UNDIP Semarang Soal kekosongan jabatan strategis lainnya yang digantung-gantung baik di BUMD maupun di SKPD-SKPD tanpa kejelasan. Begitu juga soal KONI, soal Kwartir Pramuka, dimana beban operasional dan anggaran dari APBD sudah harus berjalan pertanggungjawabannya.

Hal lainnya, antara lain, soal Neraca BUMD yang terus disembunyikan, tidak bisa diakses atau tidak dipublikasikan. Soal pembahasan RPJMD yang di luar kota, Soal hibah ke Unwir dan dana hibah yang lainnya, dan masih sederet kebijakan yang mengabaikan atau menebos regulasi.

Bukankah subyek hukum yang dapat menggugat dan atau sebagai penggugat ke PTUN itu legal standingnya berdasarkan pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1986, perubahan kedua lewat pasal 1 angka 12 UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan tata Usaha Negara (PTUN) adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang  yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu putusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan {Pasal 53 ayat (1) UU PTUN}. Yang dimasuk badan hukum perdata adalah murni badan hukum yang menurut pengertian hukum perdata berstatus sebagai badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), Firma, CV, Yayasan, Perkumpulan, Persekutuan Perdata (maatchap) dan lainnya sepanjang bersatus badan hukum perdata. Semua perkumpulan yang sah menurut pasal 1654 dan pasal 1653 KUH Perdata.

Untuk itu, tidak ada alasan pembenaran jika Legislatif harus menempuh jalan mem-PTUN-kan Bupati atas kebijakannya yang menabrak regulasi, karena legal standing (ius standi atau standing to sue atau locus standi) untuk ke PTUN adalah orang atau perseorangan, badan hukum, dan perkumpulan, organisasi yang berbadan hukum.

Legal standing gugatan atau penggugat bukanlah penyelenggara pemerintahan menggugat penyelenggara pemerintahah, dalam hal ini, Legislatif menggugat Eksekutif (Bupati) atau sebaliknya, Bupati menggugat Legislatif.

Jika seperti itu adalah kedunguan yang tak terelakan dan tak terbantahkan. Itu soalnya. Kengawuran lainnya adalah “marilah saling menghargai ruang lingkup kewenangan dalam setiap aktivitas eksekutif, yudikatif dan legislatif, sehingga tidak terkesan pada persoalan ini saling menjatuhkan” (DR. H. Khalimi, SH, MH, CTA, Fokuspantura.com, 15/1/2022).

Problematika utamanya luput dari bacaan Sang Doktor yang sekaligus adalah Dosen, atau memang tidak mau mecoba untuk membacanya secara cerdas. Premis yang diajukan dan atau sebagai premis akar masalah adalah “hubungan” atau fungsi “relasi kuasa”, sehingga, kesimpulan tunggalnya adalah  “marilah saling menghargai ruang lingkup kewenangan.” Sungguh kacau balau, dan berantakan logika dan akal warasnya.

Problematika akar masalah yang sesungguhnya adalah Bupati melampaui batas kewenangan dan atau melampaui batas hak prerogatifnya. Hak prorogatifnya, Bupati Nina ingin dan atau bahkan ingin melampuai hak prerogatif absolutnya Tuhan. Padahal, hak prerogatif absolut itu hanya milik Tuhan, bukan milik Bupati Nina. Hak prerogatif Bupati dalam tata kelola pemerintahan sudah diatur dalam regulasi, tidak bisa melampuai regulasi, yang dalam konstitusi (negara demokrasi), kewenangan yang melampaui batas regulsi itu dinyatakan “terlarang” atau “(di)larang” konsitusi, dan bahkan jika tindakannya melawan hukum bisa dipidanakan dan bisa diperdatakan.

Jika larangan itu tetap ditrabak atau diterobos atau menerobos, yang berakibat merugikan keuangan negara, maka unsurnya adalah tindak pidana korupsi dan atau jika hanya merugikan kepentingan publik yang berdampak luas dan menjadi sangat stretgis, maka harus dilakuan “impeachment” atau mejadi keniscayaan “pemakzulan atau “pelengseran” paksa atas kemauan konstitusi atau sebagai kewajiban konstitusional.

 

Impeachment, Mungkinkah?

Jika kita mendengarkan penjelasan Ketua Dewan kepada Direktur PKSPD, dimana Tim Interpelasi sudah memilah-milah, menyusun dan mendraf  persoalan dan pertanyaan atas tata kelola pemerintahan dan tata kelola BUMD, dimana Bupati sebagai KPM (Kuasa Pemegang/Pemilik Modal atas nama rakyat) yang bersumber dari APBD atau dan APBN, untuk sementara waktu Dewan berarti telah berkomitmen sungguh-sungguh.

Jika saja pertanyaan yang akan diinterpelasikan setelah paripurna 31/1/2022 nanti tidak rembes dan atau bocor mengalir ke Pendopo dan atau tidak masuk angin, ada kemungkinan besar, Hak Interpelasi akan berlanjut ke Hak Angket, dan ke Hak Menyatakan Pendapat.

Kecil kemungkinannya Bupati mampu menjawab secara argumentatif, kecuali dijawab dengan kearogansiannya atas dasar feodalistik sosialnya yang banyak publik telah mendengarnya, dan itu sebagai daya topang leadershipnya dalam tata kelola pemerintahan. Itu yang dipamerkan, dan tidak menutup ruang hal itu akan dipamerkan kepada Dewan, dan jika itu benar adanya nanti, itu sebagai tantangan bagi Dewan secara konstitusional.

Jika memang, Dewan (Legislatif) dalam interpelasi itu harus dijawab langsung oleh Bupati atas semua persoalan yang ditanyakannya, tentu Bupati akan gagap. Kita tahu, Bupati dalam banyak hal terlampau gagap dengan sebuah persoalan atau probelamtika tata kelola pemerintahan dan problem sosial kenegaraan.

Kita tahu, “dakirnya” (dadak mikirnya), acapkali tidak tidak relevan dan atau terlampau jauh melesat atas persoalan yang perlu harus dijawab dan dijelaskannya, sehingga persoalan pokoknya lompat dan penjelasannya melompat-lompat seperti nyanyian anak-anak, Kodok Melompat Lompat, adanya.

Bupati terlihat gamblang, jelas terang benderang dan konkret dalam struktur berpikirnya tidak biasa terlatih dengan metodologi. Tidak biasa terdidik dalam logika dan akal waras intelektual akademik. Terlihat kesan, semuanya terbiasa seperti situasi dan kondisi di rumahnya sendiri. Padahal, yang Bupati jalani sekarang adalah rumah negara dalam tata kelola pemerintahan. Itu diabaikannya, atau mungkin diluar kesadarannya. Para pembisiknya menyesatkan., atau memang karakteristiknya yang natural kodrati.

Hal itu, tentu kita bisa mencermati, menyimak dengan hidmat dan seksama seperti waktu debat calon Bupati dan Wakil Bupati. video yang diunggah dan dishare ke medsos maupun ke grup-grup washapp dalam memberikan penjelasan di beberapa forum nasional maupun internasional, bahkan di dalam tata kelola pemerintahannya sendiri.

Tampak jelas, dakirnya ngeblong, hampa, terseok-seok angina, karena tidak terlatih dalam berpikir terstruktur akademik, tidak terlatih dalam metodologis. Melompat-lompat seketemunya, disamping komukasi publiknya harus kita dikatakan buruk. Sikap dan pandangan feodalistiknya yang kental melekat, seperti “saya anak mantan Kapolri (atau saya anak Jendral), saya pengacara, anda tidak tahu saya, dan seterusnya”.

Emosionalitasnya juga acapkali tidak terkendali dan melompat-lompat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu, yang jika pembacaannya dengan teoritik psikologi, emasionalnya terbelnggu dan labil, seperti ketika sehabis paripurna 2 Raperda, pada Senin, 17/1/2022 ada salah tafsir dalam komunikasi verbal dan gestur dengan salah satu legislator dari PDIP yang merupakan Wakil Ketua Komisi 2, yang sungguh memalukan.

Dengan pendekatan teori psikologi pula, boleh jadi Bupati Nina tengah berada dalam masa “adolesens” (pubertas) politik kekuasaan dan kekuasaan politik. Jika itu berlarut-larut bisa berpotensi menjadi power syndrome.  Hal yang demikian itu, akan terperangkap dalam belenggu “Gog is Dead”  yang dikatakan  Friedrich Nietzche dalam “The Will Power.”.

Peristiwa itu banyak didengar orang dengan pendengaran yang sama hingga ruang publik nyaring terdengar dari mulut ke mulut, yaitu “saya anak mantan Kapolri”. “Saya telpon Ke DPP” (maksudnya ke DPP PDIP), dan seterusnya, dimana para tamu  menjadi termangu, tercengang dan geleng-geleng kepala, tak habis pikir. Berpikir tujuh kali keliling pun tak bisa terjawab. Kecuali, oh begitu ya?

Struktur berpikir yang tidak metodologis dan atau tidak akademik pun menguat tanpa kendali, seperti waktu di forum KPK dalam seminar yang bertajuk “Jual Beli Jabatan” bersama beberapa Kepala Daerah lainnya.

Terlihat jelas juga pada form Asia Pasifik di Semarang Jawa Tengah, Rabu, 17/11/2021 yang digelar oleh  The United Cities and Local Government Asia Pasific (UCLG ASPAC) di bawah United Nations Advisory Committee of Local Authoities yang berafiliasi dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)  dengan tajuk “Perlindungan Hak Azasi Manusia Terhadap Pekerja Migran Asia Pasifik” yang dihadiri oleh beberapa negara lain seperti dari  negara Philipina dan Nepal.

Begitu juga, kita bisa menikmati marah-marahnya Bupati, video yang dishare ke ruang publik (medsos), ketika memarahi ASN yang bolos. Atau pada persoalan lain terhadap ASN. Sikap feodolistik status sosialnya sebagai bentuk kesadaran atas arogansi kekuasaan mendominasi leadershipnya dalam tata kelola pemerintahan, sehingga mencampakkan etika, apalagi persoalan etika publik.

Sikap feodalistik status sosial tersebut, bisa kita lihat dan kita membacanya dibanyak produk kebijakan tata kelola pemerintahannya, nyaris dalam banyak hal  mengedepankan kearogiannya, seperti terlihat jelas, gamblang dan konkret, antara lain pada Surat Edaran (SE) Bupati yang diterbitkannya. Misalnya, SE tentang Pelarangan ASN untuk ikut dalam Pilkades. SE tentang Pembubaran K3S dan MKKS, perihal adalah pembubaran organisasi tersebut, tetapi isi substansinya adalah  diminta pengurus membubarkan dirinya sendiri.

SE tentang Larangan Jual Beli Jabatan. dan seterusnya, yang tidak saja kacau balau pada perihal surat yang dibuatnya, tetapi kekacaubalaunnya dalam substansi dan konteksnya. Yang mengemuka dan yang dikedepankan adalah otoritarianismenya dan kearogansian kekuasannya. Itu yang membuat civil society gemas, geram dan sekaligus menjengkelkan.

Madzhab Renaissance (abad 14-17) dan madzhab Frankfurt (1930). mengingatkan pada kita, bahwa kekuatan yang dibangun di atas kaki orang lain, di luar dirinya, niscaya akan tergusur oleh sejarah dan akan gugur sebelum musim semi tiba. Disadari atau tidak, Bupati Nina berada dalam pusaran itu, sekalipun relasi kuasa dan link politik kekuasaan tampak begitu kokoh sebagai beton dan baja tembok membentenginya.

Ibn Ar-Rawandi (205 H/815 M) dan Abu Bakr Ar-Razi (442 H/1050) juga telah memberikan catatan penting bagi peradaban berpikir kita. Pada zamannya Ia menobrak dan menerobos keangkuhan feodalistik (sosial) intelektual, agar (ilmu) pengetahuan tidak terpenjara oleh feodalisme sosial.

Abu Bakar Assidiq dan Umar Bin Khattab juga telah memberi keteladanan dialektika intelektual akademik. Tidak membangun dirinya di atas kebesaran nama besar Muhammad sebagai nabi dan Rosulnya.  Umar Bin Khattab justru malah berani lancang demi yang kebenaran dan demi yang benar menurut logika dan akal warasnya. Ia mengingatkan dan mengoreksi perkataan, tindakan dan sikap Rosulallah yang menurutnya keliru atau salah.

Umar Bin Khattab mengatakannya dengan tegas kepada Rosulallah bahwa ada kekeliruan atau perkataan, sikap dan tindakan yang keliru atau salah yang dilakukan Rosulnya itu. Ternyata kemudian  Tuhan (ALLAH) membenarkan perkataan Umar Bin Khattab. Lantas, turunlah ayat pembenaran atas koreksi Umar Bin Khattab atas kekeliruan Rosulnya. Padahal, Muhammad Bin Abdullah itu adalah seorang utusan Tuhan sebagai Nabi dan Rosul. Itu semua untuk bisa dijadikan catatan penting sejarah bagi kita semua.

Dalam UU tentang Pemerintah Daerah, dikatakan ada Sumpah Jabatan, kepatuhan terhadap semua peraturtan perundang-undangan, menjaga etika, menjaga conflic of interest, vested interest, tentu dalam pengambilan kebijakan, dan seterusnya. Semua itu kadang terabaikan atau tercampakkan begitu saja.

Reaksioner progresif emosional tersebut, akan menjadi problema dalam memberikan keterangan dan atau penjelasan untuk menjawab pertanyaan persoalan tata kelola pemerintahan dan tata kelola BUMD yang akan dilontarkan Dewan dalam Hak Interpalasinya. Hal itu menjadi potensi besarnya sebagai kemungkinan yang akan terjadi, jika tidak bocor pertanyaannya.

Pertanyaannya adalah bolehkah jika pertanyaan interpelasi itu dijawab oleh Setda dan atau jajaran SKPD/OPD? Hal itu, bagaimana mungkin untuk semua hal itu dilimpahkan jawabannya kepada Sertda dan atau Kepala SKPD.

Setda dan atau Kepala SKPD mempunyai otoritas terbatas dalam kewenangannya, ada hal kewenangan yang tidak bisa dilimpahkan atau didelegasikan kepada bawahannya, yang alasan subyektifnya berada di tangan Bupati Nina sepenuhnya, karena tak bisa dijelaskan dalam pandangan obyektivitas yang terukur dalam regulasi.

Interpelasi Dewan bukanlah rapat kerja Dewan dengan SKPD dan atau mitra Dewan lainnya mengenai persoalan yang mengemuka. Boleh saja “mendaku”, tetapi persoalan mengapa harus melalui mekanisme interpelasi, karena semua itu menyangkut implikasi kebijakan yang berdampak luas, dan hal-hal yang strategis yang berelasi dengan kepntingan publik yang berdampak luas yang menabrak regulasi.

Interpelasi bukanlah “barang asing” dalam sistem demokrasi. Tetapi interpelasi sebagaimana yang diatur dalam regulasi, bisa berlanjut ke Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat, yang mungkin berakhir dengan pemakzulan Bupati. Tentu, “jika dan jika.”

Akan tetapi, “jika dan jika” itu bukan bersandar pada subyektivitas dan kepentingan politik sektarian, melainkan atas dasar, fakta, data, pembuktian yang telah diinventarisir Tim Interpelasi dengan argumentasi peraturan perundang-undangan. “Jika dan jika” sangat bergantung bagaimana Bupati bisa menjelaskaan secara argumentatif dan bisa diterima oleh Legislatif.

Bukan memberikan penjelasan atas dasar feodalistik kekuasaan dalam “mendaku” pertanyaan Dewan, yaitu, siapa yang jadi Bupatinya, saya anak Jendral, saya pengacara, itu hak prerogatif absolut saya sebagai  Bupati, dan bla…bla..bla, jika seperti itu misalnya.

Hal itu juga dijelaskan oleh Ketua Dewan kepada Direktur PKSPD, jika seperti itu halnya, sangat mungkin dari Hak Interpelasi bergulir ke Hak Angket, dan menjadi Hak Menyatakan Pendapat atau atau menjadi keniscayaan Pemakzulan terhadap Bupati.

Penegasan Ketua Dewan itu, kita tak perlu mematok harga mati, karena ke-3 hal hak Dewan tersebut bukanlah menjadi tradsisi dan budaya di negeri ini, apalagi di Indramayu. Perlu menjadi catatan, bahwa dinamika politik dan perpolitikan di negeri ini apalagi di Indramayu, setiap detik bisa berubah, sekejap mata bisa berubah-rubah, dan setiap detiknya bisa melompat-lompat tak ada juntrungannya untuk hajat hidup rakyat banyak.

Jika Hak Interpelasi itu digelar, yang agendanya setelah 31/1/2022, tentu civil society kritis sangat yakin akan berlanjut ke Hak Angket dan ke Hak Menyatakan Pendapat (Pemakzulan Bupati), jika komitmen Dewan masih terjaga seperti hari ini.

Kita sangat yakin dengan komitmennya hari ini , Dewan akan tegas untuk menjalankan amanat peraturan perundang-undangan, dan untuk mengemban amanat rakyat seperti yang dimaksudkan dalam konstitusi dan demokrasi, sehingga Indramayu tidak makin rusak, dan Indramayu bisa mencapai martabatnya yang berkemartabatan yang sesungguhnya. Bukan slogan, bukan jargon apalagi hanya retorika politik semata untuk mengelabui kedaulatan.

Jika kita melakukan pembacaannya berdasarkan data, fakta dan realitas kebijakan Bupati yang menabrak portal regulasi itu, kemudian dijadikan peluru pertanyaan untuk memberondong dan atau membombardir Bupati, akan menjadi keniscayaan Bupati akan terkapar dan atau tumbang.

Fraksi PDIP dan PDIP sebagai pemilik Bupati, kita yakin tak akan mampu berbuat apa-apa untuk menolong dan  membendungnya apalagi hubungan emosionalnya tidak harmonis seperti perempuan dipoligami atau pacar yang selalu cemburu buta.

Sekian puluh pertanyaan dan sekian puluh persoalan tata kelola pemerintahan dan tata kelola BUMD, jika diolah secara cerdas bisa   melahirkan sekian puluh pertanyaan dari satu persoalan saja. Tentu, tidak akan bisa dijawab Bupati secara metodologis argumentatif, karena memang tidak terlatih, tidak terbiasa terdidik dalam metodologi, apalagi otoritas kebijakan itu tidak bisa didelegasikan kepada bawahannya; Sektda maupun SKPD/OPD.

Ketua Dewan, masih terus mendengungkan, bahwa Dewan dengan sangat terbuka membuka ruang untuk partisipasi publik untuk memberikan masukan, apakah itu informnasi, data, dan fakta konkret untuk melengkapi pertanyaan dari persoalan yang akan diinterpelasikan demi perubahan yang baik bagi Indramayu. Itu sebagai salah satu komitmen keseriusannya.

Kini kita harus menagih janji atas komitmennya, agar Legislatif bisa kembali ke peran dan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam konstitusi dan demokrasi. Kita menagih integritasnya, agar Dewan tidak masuk angina.

Kita harus mengawal dan membentengi agar Dewan tetap berdiri tegak jika di tengah guyuran hujan proyek dan atau guyuran kue APBD yang akan menjadi godaan transaksional politik kekuasaan dan kekuasaan politik.  Agar Dewan tidak masuk angin, para legislator harus minuman air rebusan sereh dan makan bawang putih untuk mengantisipasi serangan masuk angin.

Kini tengah menanti dan bertanya lagi, apakah  “Waiting for Godot” seperti yang dikisahkan Samuel Beckett dalam lakon drama interpelasi Dewan itu akan menjadi keniscayaan politik atau justru sebaliknya, melahirkan  Brutus Brutus, Sangkuni Sangkuni, Petruk Petruk dan Si Malin Kundang Si Malin Kundang yang menjadi keniscayaan politik. Kita berharap, Dewan menjadi Sisifus dan Danawa seperti dalam mitologi Yunani. Sang Narsis biarlah itu hanya milik Bupati Nina saja. Mari kita menunggu, apa yang akan terjadi kemudiaan? ***

 

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus  Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles