Demonstrasi merupakan kata yang tidak asing bagi kita apalagi saya sebagai mahasiswa. Demonstrasi dapat diartikan sebagai suatu gerakan menyampaikan aspirasi ataupun gagasan yang dilakukan sekumpulan orang di muka umum. Demonstrasi ini dilakukan untuk mengemukakan pendapat atau sebagai penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan politik. Adapun tujuan dari gerakan demonstrasi ini yaitu mengharapkan perubahan ataupun kebijakan dari pemerintah atas permasalahan yang terjadi.
Di Indonesia sendiri demonstrasi bukan hal yang jarang kita lihat, bahkan demontrasi menjadi hal yang biasa kali dilakukan dan wajar dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Di dalam Undang-undang ini memuat bahwa rakyat Indonesia mempunyai hak dan kebebasan untuk menyampaikan aspirasi, gagasan ataupun pikiran di muka umum. Selain itu kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum juga dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan Undang-undang.”
Meskipun hak demonstrasi rakyat Indonesia sudah diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998, namun demonstrasi di Indonesia kerap kali dilakukan dengan cara anarkis dan seringkali berakhir ricuh. Kita bisa melihat permasalahan yang baru-baru ini terjadi yaitu pada saat UU Cipta Kerja disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020 lalu. Di mana saat UU Cipta Kerja yang disahkan oleh pemerintah banyak menuai pro dan kontra serta menimbulkan kekecewaan dari publik terutama bagi buruh yang beranggapan bahwa UU yang disahkan oleh pemerintah ini merugikan bagi mereka. Penolakan-penolakan yang dilakukan kebanyakan berasal dari elemen buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat dan terjadi di berbagai daerah.
Salah satu aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat terjadi di Kota Medan. Dikabarkan banyak dari pelaku pengunjuk rasa yang melakukan tindakan anarkis dan berakhir ricuh. Sejumlah fasilitas umum di Kota Medan rusak akibat kericuhan yang terjadi. Selain itu dari hasil pengecekan sejumlah sarana olahraga di Lapangan Merdeka, Kota Medan, telah rusak pasca demonstrasi ditambah lagi adanya enam titik pintu pagar di Lapangan Merdeka, di depan Stasiun Kereta Api dan Jalan Balai Kota Medan, rusak parah. Tak hanya sampai di situ, sejumlah pot bunga, tong sampah, serta lampu-lampu jalan dirusak massa. Berdasarkan hasil perhitungan kerugian Pemko Medan mencapai ratusan juta rupiah. Informasi ini diperoleh dari Plt Kabid Sarana Pra Sarana Dinas Kebersihan dan Pertamanan Medan Ikhwanza Syahputra beberapa waktu yang lalu. Tidak hanya itu dikabarkan bahwa situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dengan alamat dpr.go.id sempat diretas oleh orang yang tidak dikenal. Peretas mengubah nomenklatur “Dewan Perwakilan Rakyat” menjadi “Dewan Pengkhianat Rakyat”.
Sebagai mahasiswa saya sangat prihatin terhadap tindakan anarkis yang dilakukan oleh masyarakat terutama mahasiswa yang ikut berdemonstrasi. Berdemonstrasi dengan cara anarkis tidak menjamin aspirasi mereka akan tersampaikan kepada pemerintah. Peristiwa ini menunjukkan kesadaran etika berdemonstrasi kini sudah benar-benar luntur di kalangan masyarakat apa lagi di kalangan mahasiswa yang seharusnya bisa menjadi social control (generasi pengontrol) dan iron stock (generasi penerus).
Dalam melakukan demonstrasi ada beberapa etika yang bisa kita terapkan seperti yang tercantum pada Peraturan Kapolri 7 Tahun 2012, yaitu:
- Tidak boleh menyertakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
- Tidak boleh mengeluarkan perasan atau perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penghinaan terhadap suatu agama yang dianut Indonesia.
- Tidak boleh menyiarkan, mempertunjukan atau menempel tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan permusuhan kebencian atau penghinaan terhadap golongan rakyat Indonesia.
- Tidak boleh mengahasut orang, baik secara lisan atau tulisan supaya melakukan perbuatan pidana atau kekerasan umum atau tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan.
- Tidak boleh menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut, melakukan perbuatan pidana, atau menentang penguasa umum dengan kekerasan.
Selain itu juga ada beberapa tempat umum yang dikecualikan untuk menyatakan pendapat atau berdemontrasi, yaitu:
- Lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instansi militer, rumah sakit, pelabuhan udara, kapal laut, stasiun kereta api dan terminal angkutan darat.
- Objek-objek vital nasional dan hari besar nasional untuk waktu pelaksanaanya diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 yang membatasi demontrasi harus dilakukan pada jam 06.00 – 18.00 di tempat terbuka dan 06.00 – 22.00 di lokasi tertutup.
Peran etika dan moral dalam demonstrasi sangat penting dilakukan untuk mencegah tindakan kekerasan dan kriminalitas. Para demonstran harus disadarkan kembali dengan dasar negara yaitu Pancasila. Jika aksi demonstrasi dilakukan untuk menuntut hak tertentu, maka para demonstran perlu memiliki dasar yang kuat bahwa hak yang mereka tuntut betul adanya dalam artian mereka paham betul isu apa yang mereka perjuangkan secara objektif bukan hanya sekedar ikut-ikutan dan memperburuk suasana. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa harus cakap dan bijak menyikapi informasi-informasi yang tersebar agar tidak cepat terprovokator oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang menyebarluaskan berita-berita hoax, menebar kebencian serta kerusuhan. Hal ini dilakukan agar di kemudian hari tercipta demonstrasi yang tertib, aman dan damai. ***
Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi