Jakarta, Demokratis
Mantan pimpinan DPR Fahri Hamzah menilai, polemik penertiban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berada di ujung. Sudah waktunya generasi baru bekerja.
“Ini sudah di ujung sebenarnya. Istilahnya penertiban ini sudah di ujung. Dengan undang-undang baru inilah, ini diperbaiki. Cara kita memperbaiki adalah mengintegrasi pegawai KPK menjadi pegawai negara, bukan pegawai yang liar,” ujar Fahri, di Jakarta.
Dikatakan Fahri, revisi Undang-undang KPK mengintegrasi lembaga anti-rasuah itu ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia, termasuk ke dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan.
“Jadi ini yang mau diintegrasikan oleh sistem. Jadi perubahan undang-undang ini adalah ikhtiar untuk mengintegrasi KPK dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dan juga mengintegrasikan KPK dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan kita. Karena selama ini lebih banyak seperti bola liar, kayak LSM,” ungkapnya.
Fahri menyinggung, soal reaksi 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai alih status ke aparatur sipil negara (ASN). Mengapa baru ribut setelah dinyatakan tidak lolos.
“Seperti reaksi mereka, soal tes, kenapa waktu dites tidak marah, waktu enggak lulus baru marah. Enggak fair dong. Kalau marah lagi di tes bilang dong ini enggak fair. Waktu dites enggak marah, waktu enggak lulus marah. Menurut saya ini fase akhir. Biarin saja ini akan berlalu,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora itu.
Menurut Fahri, polemik TWK harus diakhiri. Alih status menjadi ASN juga dilakukan lembaga hukum lainnya.
“Kalau enggak mau pakai ASN bagaimana? Hakim, DPR, kepolisian, kejaksaan semua ASN. Masa ada lembaga sendiri yang enggak boleh pakai ASN. Oh itu supaya independen, kalau begitu semua independen saja. Polisi bikin sendiri, jaksa bikin sendiri, apa enggak kacau republik. Menurut saya ya, harus diakhiri. Menurut saya ini sudah ujung, sudah akhir,” jelasnya.
Menyoal apakah polemik TWK mengganggu kinerja KPK, Fahri menuturkan, tidak. Karena 1.271 pegawai lainnya sudah kembali bekerja. Namun, sepertinya pengungkapan yang tujuannya hanya mencari sensasi kemungkinan sudah tidak banyak lagi. Sebab KPK era Firli Bahuri tidak akan banyak melakukan operasi tangkap tangan (OTT), karena kini bakal lebih berorientasi kepada audit.
“Karena orientasinya sekarang dari (sebelumnya) ngintip ke audit. Sebenarnya itu yang benar. Kalau Anda mau memberantas korupsi jangan intip amplop, amplop kecil, Anda intip audit. Audit itulah alat kita menemukan korupsi yang sebenarnya. Karena auditor negara ini sensitif dengan penyimpangan. Ibarat pipa, lubang dikit aja dia tahu,” katanya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebut Fahri, memiliki kualitas kinerja kelas dunia. Namun, belum diajak kerja sama oleh KPK.
“Sampai sekarang BPK masih menunggu sinyal bisa kerja sama. Enggak ada yang lebih jago audit dari BPK. Asal KPK mau kerja sama dengan BPK ketemu itu korupsi besar. Kejaksaan Agung sekarang kerjanya sama BPK, memenukan korupsi-korupsi raksasa. Kalau mau mengembalikan kekayaan negara, ketemu korupsi yang besar, triliunan, nah itu audit. Kalau incar amplop ngapain ada KPK. Karena kejahatan korupsi disebutnya kejahatan kerah putih, kejahatan otak. Nah yang diburu KPK kejahatan otot. Itu dulu namanya, zaman pungli. Kalau minta KPK berantas pungli ngapain bikin KPK, Polsek juga jago,” ucapnya.
Fahri menegaskan, ini sudah waktunya mengucapkan selamat tinggal kepada yang lama. “Biarin generasi baru, masih banyak anak-anak muda yang idealis yang lebih jago, yang lebih mengerti kerja sistem. Sudah selesailah sensasi-sensasi,” katanya.
Fahri menilai, semakin banyak orang-orang lama KPK berbicara, akan semakin banyak terbongkar kesalahan masa lalu. Dia menyebutkan, salah satu “skandal” paling besar adalah menargetkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka.
Ketika itu, kata Fahri, Presiden -sistem eksekutif- telah meloloskan nama Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Tentunya dengan berbagai rekomendasi dari Polri, BIN, Sekneg, Wanjakti, termasuk Kompolnas.
“Dalam administrasi itu pak BG lolos. Masuk ke Presiden dan Presiden membuat surat ke DPR untuk diproses. Begitu masuk DPR, kita fit and proper test, kita aklamasi. Jadi sistem eksekutif lolos, sistem legislatif lolos,” katanya.
Namun, sejalan dengan surat rekomendasi Presiden masuk ke DPR, KPK mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka.
“Dibawa pak BG ke praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan pak BG menang. Jadi ini tiga cabang, eksekutif, legislatif dan yudikatif approve,” katanya.
Tapi Budi Gunawan akhirnya tidak dilantik menjadi Kapolri karena opini publik yang menurut Fahri, dibangun oleh KPK.
“Anda bayangan tiga cabang kekuasaan begitu tidak dihormati, hanya opini KPK. Yang bisa dijelaskan bagaimana? Pak BG tidak ada apa-apa sampai hari ini. Memimpin lembaga negara. Kalau KPK benar-benar punya alat bukti, punya kebenaran ini kan mudah. Tapi tidak ada, hanya gertak-gertak. Jadi omong kosong kalau ini tidak dianggap politik. Ini politik semua,” tandasnya. (Red/Dem)