Bantul, Demokratis
Bertepatan tanggal 28 Oktober yang juga Hari Sumpah Pemuda, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) mengadakan acara milad yang ke-21 dan juga sebagai forum silahturahmi nasional yang bertemakan “Menuju Indonesia Makmur”, Sabtu (28/11) di Gedung Sanggar Kesenian Belajar, Bantul, Yogyakarta.
Acara yang dibuat oleh panitia selama 3 hari tersebut cukup meriah. Dari berbagai macam provinsi maupun kota ikut hadir untuk meramaikan jalannya acara yang terbilang cukup sederhana.
Masing-masing kota mengirimkan beberapa kader. Baik dari kalangan pemuda, mahasiswa, buruh, tani, nelayan dan juga pedagang.
Dalam forsilatnas tersebut membahas terkait peran pemuda satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpin-pemimpin hipokrit dan kelompok-kelompok politik oportunis serta situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideologi ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan.
Kemudian melihat pertumbuhan pesat rasionalisasi atas dunia dan relasi-relasi sejarah yang berlangsung di dalamnya, saat ini, telah mencapai titik dimana ternyata masyarakat Indonesia masih butuh perjalanan panjang menyusun perjuangan menemukan kemanusiaan.
Selanjutnya, pada malam ketiga (01/12), para deklarator FPPI yang hampir seluruhnya hadir mulai saling melemparkan beberapa pertanyaan serta isu.
Mengenai isu tentang aktivis yang kian muncul layaknya artis dan langsung mendapatkan posisi di istana menjadi perdebatan. Savic Ali, selaku deklarator dan selaku pegiat NU online, menjelaskan bahwa selama ini banyak orang yang merasa aktivis. Namun pada saat reformasi tahun 1998 dulu, mereka tidak hadir untuk rakyat.
“Apakah bisa dibilang aktivis jika ia tidak bisa merasakan apa yang rakyat rasakan, kemudian, pertanyaan sederhana saya adalah kemana mereka saat situasi genting pada tahun 98, apa karena mereka takut, sehingga sekarang dirasa telah aman, mereka baru bermunculan, apa itu bisa dibilang aktivis dan apa layak didengarkan,” paparnya di hadapan peserta.
Di malam ketiga yang akan menjelang pagi, Masington Pasaribu selaku anggota DPR RI masuk ke gedung dan berjabat tangan dengan perasaan kagum yang selama ini telah menua dan baru kali pertama bertemu dengan kawan-kawan lamanya.
Salah satu kader menjelaskan, saat ini kita berada di titik paling krusial dalam sejarah Indonesia. Hanya tersisa dua kemungkinan bagi perjuangan dan cita-cita kerakyatan. Maju atau hilang selamanya.
Masing-masing deklarator yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya, serta kader yang hadir pada hari itu adalah sepakat untuk tetap menyadarkan masyarakat Indonesia agar tidak tertidur dan bersama menuju Indonesia makmur.
Bagi FPPI, militansi adalah gemuruh massa dalam suatu gerak teratur dan efektif yang hanya mungkin dicapai melalui penggalangan ideologis dan organisasi politik yang berdiri kokoh bersama massa, di dalam massa.
Terlihat atau tidak terlihat, terdengar atau tidak terdengar, gemuruh itu harus kita siapkan.
Seluruh tenaga dan pikiran harus kita curahkan agar posisi kebudayaan pergerakan, ideologi dan organisasi perjuangan, segera dan seutuhnya menjadi milik sadar massa. (RT)