Tak habis pikir bagi kita yang masih punya logika dan akal waras atas keputusan Komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terhadap hasil TWK (Test Wawasan Kebangsaan) yang pilihannya jatuh pada hari Kamis, tanggal 30 bulan September untuk melenyapkan 57 pegawai yang punya nurani dan idealisme dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Padahal, hari Kamis, 30 September merupakan hari, tanggal dan bulan kelam atau kelabu bagi sejarah bangsa dan negara yang masih terus menyimpan misteri. Karena, pada pada hari Kamis, 30 September 1965 hingga hari ini masih penuh dengan kontroversial sejarah kebenaran peristiwa. Ketiadaan kejujuran untuk membaca realitas empiris dari fakta dan peristiwa sejarah yang meng-ada.
Menenun Benang Merah
Mengapa KPK memilih hari yang sama, tanggal yang sama dan bulan yang sama dengan sejarah kelam bangsa dan negara atas tragedi bangsa yang berdarah-darah yang banyak menelan korban pada akhirnya. Tidak saja atas pembunuhan enam Jendral dan satu Perwira Menengah TNI AD yang dilakukan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).
Apakah Komisioner KPK ingin memutar jarum jam sejarah kelam? Apakah Komisioner KPK ingin memonumentalkan sekaligus dua peristiwa sejarah kelam untuk ingatan kolektif publik untuk mempertegas kearogansiannya, bahwa kekuasaan politik dan politik kekuasaan bisa melenyapkan siapapun dan bisa menentukan takdir sosial, sehingga sejarah kelam bisa diputar kembali, memilih hari, tanggal dan bulan yang sama, sebagai pengidentifikasian peristiwa yang sama atas sejarah kelam bangsa dan negara.
Itu semua, yang kemudian melahirkan banyak pertanyaan spekulatif maupun kesimpulan yang amat sangat liar imajinatif. Meski begitu, bisa dirasionalisasikan, logika dan akal waras masih bisa memahami kelogisan dan kerunutan yang bersandar pada argumentasi ontologis atas pertanyaan-pertanyaan spekulatif dan kesimpulan-kesimpulan dalam melakukan pembacaan realitas politik KPK saat ini.
Mengapa KPK memilih hari Kamis, tanggal 30 (tiga puluh) dan bulan September untuk takdir sosial (pelenyapan 57 orang) bagi para pemberantas korupsi di tubuh KPK, baik pegawai yang sudah lumutan (17 tahunan) maupun baru kisaran beberapa tahun (4 tahunan) sebagai bagian dari ruh KPK dalam pemberantasan korupsi, dimana para koruptor berjajar dari pulau ke pulau, dari Sabang hingga Mereuke.
Benang merah yang ditenun Komisioner tersebut, tak terbantahkan lagi keniscayaannya, bahwa tenun benang merah itu mengafirmasi keniscayaan kebenaran akan politik kekuasaan dan kekuasaan politik yang pernah dipertontonkan pada rezim penguasa Orde Lama Soekarno, sehingga kita dengan mudah untuk bisa melakukan pembacaan tersebut sebagai politik dua sisi koin mata uang dalam ruh rezim penguasa sekarang ini, jika negara kemudian tak berdaya, berlutut pada kekuasaan pemerintah yang seia-sekata dengan takdir sosial tersebut.
G30S-TWK-KPK
G30S KPK, membangunkan ingatan kolektif kita atas targedi berdarah, yakni sebagai “sejarah kelam” bangsa dan negara yang terjadi pada hari Kamis, 30 September 1965. Tragedi sejarah berdarah itu dilakukan oleh apa yang dinamakan dengan “Gerakan Tiga Puluh September” yang dilakukan oleh PKI.
Akibat G30S tersebut, banyak menelan korban, baik yang nyata-nyata terlibat langsung maupun tidak langsung hingga yang salah identifikasi dan salah alamat. Tidak sedikit yang menjadi korban; orang bodoh dibodoh-bodohi, dan karena kebodohannya itu menjadi korban yang pembodohan kekuasaan yang berganti.
Memperbodoh dirinya dalam kedunguan dan menjadi dungu, dan bahkan menjadi kedunguan politik kekuasaan. Semua peristiwa tersebut hingga kini masih menyimpan misteri dan akan terus mendidih jika dalam situasi dan kondisi sosial politik tertentu dan atau dalam kondisi sosial tidak menentu.
Pilihan KPK atas hari, tanggal dan bulan, dimana peristiwa tersebut oleh sejarah dicatat sebagai sejarah kelam bangsa dan negara, menjadi sangat rasional, bisa dipahami dan dimengerti, jika dikatakan sebagai Gerakan 30 September TWK (Giri Suprapdiono: G30STWK, Twitter, Rabu, 15/9/2021).
Sadar atau tidak, G30S KPK tersebut kemudian mambangunkan ingatan kolektif kita yang tidak saja hanya pada peristiwa pembunuhan para jendral, tetapi juga mengingatkan kembali pada kita atas sejarah kelam kebudayaan pada tahun 1964 (8 Mei), konfrontasi bengis dan brutal, tanpa etika, tatakrama dan sangat amat tidak beradab yang dilakukan Lekra terhadap Manifes Kebudayaan.
Presiden Soekarno membubarkan Manifes Kebudayaan, yang waktu itu secara terstruktur, sistemik dan masif dibombardir dan dicaci maki oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang merupakan garda depan PKI dalam arena seni, kebudayaan dan politik kebudayaan yang merupakan penyanggah utama kebijakan Manipol Usdek Soekarno yang berbasis idiologi Kiri (Marxis-Komunis).
Kini terkesan dan berkecendurang secara politik menggunakan kemasan baru, sehingga ada kesimpulan sementara apa yang disebut dengan neo kumunisme, yang secara ekstrim dikatakan PKI gaya baru, jika kita melakukan pembacaan atas model-model konfrontasinya sekarang yang ditarik ke benang merahnya ke belakang sejarah.
Konfrontasi Manifes Kebudayaan dengan Lekra menelan banyak korban; para intelektual akademik dipecat dan harus keluar dari Menara Gading, dan bahkan dipenjara. Buku-buku inlektual Manifes Kebudayaan pun dibumihanguskan.
Apakah KPK melakukan pilihan pada hari, tanggal dan bulan tersebut disadari atau tidak, tentu sangat disadari oleh 5 Komisionernya. Kesimpulan kesadaran atas tindakan KPK tersebut, bisa kita lihat yang dipertontonkan televisi dan media lainnya seperti koran dan medsos. Komisioner KPK sangat tegas dan sangat gamblang pula alasannya atas G30S KPK tersebut.
Bagi KPK tidak menjadi penting lagi menyoal G30S tersebut. Tetapi, menjadi sangat penting bagi kita, karena KPK di bawah kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadikan sejarah kelam atau sejarah kelabu bangsa dan negara ini terulang kembali. Tidak bisa terbantahkan lagi, bahwa G30S KPK merupakan “Sejarah Kelam Bangsa dan Negara.”
Sejarah kelam KPK tersebut serupa dengan peristiwa sejarah G30S PKI, menelan korban, dan bahkan dengan adanya G30S KPK tersebut telah membunuh ruh KPK itu sendiri, dan berarti akan sangat menentukan takdir sosial atas pemberantasan korupsi. Oleh publik, ke-57 pegawai yang dilenyapkan tersebut merupakan ruh KPK yang mempunyai nurani dan idealisme dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini. Nurani dan idealime tersebut ternyata telah dilenyapkan KPK dalam peristiwa G30S KPK.
G30S-TWK-KPK, publik kemudian menarik tenun benang merah atas peristiwa G30S-PKI dan sejarah kelam kebudayaan, dan itu tak bisa terbantahkan lagi. Karena, atas pilihan hari, tanggal dan bulan yang sama, telah mengafirmasi atas keniscayaan kebenaran benang merah yang menjadi pilihan peristiwa sejarah yang mensejarah, tidak saja bagi 57 pegawai KPK, tetapi juga bagi kita semua; bangsa dan negara, terutama para penggiat anti korupsi, dan bagi kita semua yang masih memiliki nurani, logika dan akal waras untuk negeri ini, bangsa dan negara.
Kewenangan Presiden
KPK dengan UU Nomor 19 Tahun 2019, bukan lagi institusional yang independen. KPK merupakan rumpun eksekutif. Yang berarti, KPK berada di bawah otoritas absolut Presiden Jokowi untuk memutuskan takdir sosial dari 57 pegawai yang telah dilenyapkan melalui perististiwa G30S-TWK (Pasal 1.14, 53 dan 54 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN).
Takdir sosial tersebut sepenuhnya berada di tangan Presiden Jokowi, karena KPK telah mengabaikan rekomendasi temuan dari Ombudsman dan Komnas HAM. Kedua lembaga negara tersebut hanya mempunyai kewenangan rekomendasikan atas temuannya, bukan kewenangan mengeksekusi temuannya.
Ombudsman merekomedasikan adanya temuan “Malaadministrasi” atas 57 pegawai KPK yang menjalani TWK, sedangkan Komnas HAM memberikan rekomendasi atas 11 pelanggaran HAM atas pelaksanaan TWK tersebut. Yang akhirnya, G30S-TWK-KPK telah mengeksekusi 57 pegawai untuk dilenyapkan dari ruh KPK, menerima SK Pemecatan yang definitif de jure dan de factonya adalah sejak hari Kamis, 30 September 2021.
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN (Aparatur Sipil Negara), Pasal 1.14, 53 dan 54, bukan berarti penolakan atas takdir sosial yang terjadi itu kemudian dikatakan merengek-rengek, meminta belas kasih Presiden Jokowi seperti yang dilantangkan politisi PDI Perjuangan Kapitra Ampera yang sekaligus juga konon sebagai legislator, wakil rakyat di Senayan.
Kapitra Ampera dengan sangat berapi-api mengatakan, bahwa “tidak ada hal yang tidak tergantikan dalam hidup ini”, dan kemudian menangkis, membantah dan sekaligus melakukan penyangkalan atas pandangan akademik yang dilontarkan Zainal Arifin Mochtar-Guru Besar UGM-Pukat FH UGM yang menjelaskan, bahwa kita bicara supremasi hukum, tetapi kita tidak tahu bahwa hukumnya yang bermasalah (Mata Najwa: Cerita Pegawai KPK Terima SK Pemecatan-Nasib Pemberantas(an) Korupsi).
Senada dengan politisi PDIP tersebut, para buzzer dan atau para penghamba kekuasaan juga serupa mengatakan dalam perang dingin di medsos, bahwa akhirnya merengek-rengek atau mengais iba dan belas kasihan Presiden Jokowi untuk tidak dipecat dari KPK.
Argumentasi politisi PDI Perjuangan tersebut, sesungguhnya hanya sekedar merecoki lawan bicara dan atau hanya untuk menghambat ruang dan waktu orang lain untuk bicara. Tidak ada hal yang tidak tergantikan dalam (ke)hidup(an) ini.” Argumentasi itu adalah batok kepala tanpa isi, dan dengkul yang bicara.
Hal itu bisa kita jelaskan dengan amat sangat sederhana dan bisa dengan baik dipahami oleh anak-anak, atau oleh siswa esde (SD) sekalipun, yaitu, apa yang dimaksud dan apa makna dari “tidak ada hal yang tidak tergantikan dalam (ke)hidup(an) ini.”
Mari kita contohkan. Sehabis musim hujan akan berganti musim kemarau di negeri khatulistiwa kita ini. Artinya, musim kemarau itu pasti tergantikan dengan musim hujan. Jadi dalam hal dua musim di negara kita, tidak ada hal yang tidak tergantikan, karena habis musim kemarau adalah musim hujan tiba.
Contoh berikutmya, sehabis malam kemudian akan tergantikan siang. Artinya, menjadi ketetapan dan ketentuan yang tak bisa tergantikan atau dibatalkan adanya pergantian waktu tersebut yang menandai kehudupan di dunia ini. Itu yang dimaksudkan dengan “tidak ada hal yang tidak tergantikan dalam kehidupan ini.”
Contoh lainnya, jika kebun kelapa itu dimusnakan dan tidak ditanam ulang atau tidak dilakukan peremajaan, maka pohon kelapa tersebut tidak akan ada, tidak akan tumbuh lagi. Artinya, tidak tergantikan dengan tumbuh pohon kelapa baru di kebun tersebut. Jadi bukan “tidak ada hal yang tidak tergantikan.” Tidak menaman ulang, ya berarti kebun kelapa akan berubah menjadi kebun lain jika digantikan dengan tanaman selain pohon kelapa. Berarti menjadi tergantikan, bukan tidak ada hal yang tidak tergantikan.
Contoh berikutnya, pegawai KPK yang memasuki masa pensiun pastilah akan tergantikan. Artinya, akan ada rekruitmen pegawai baru untuk menggantikan kekuranganya, karena ada yang pensiun pegawainya. Jabatan pimpinan KPK, tidak ada hal yang tidak tergantikan, karena dibatasi masa jabatannya.
Oleh karena itu, argumentasi yang didalilkan bahwa “tidak ada hal yang tidak tergantikan dalam (ke)hidup(an) ini” menjadi gugur, patah, karena mempertahankan kedunguan logika dan akal waras untuk mencoba merasionalisasikan makna dan definisinya, tetapi kemudian justru menjadi belenggu dan tawanan kedunguan logika dan akal warasnya untuk bicara yang sesungguhnya dalam makna dan maksud kalimat yang diuraikan sebagai dalil-dalil.
Sehingga, konklusinya, ternyata hanya sekedar untuk merecoki lawan bicara, atau hanya untuk tidak memberi kesempatan lawan bicara untuk menjelaskannya, karena khawatir akan semakin mencerdaskan publik; melek nalar melek intelektual akademik.
Jadi pegawai KPK yang dilenyapkan di tengah, pastilah ada masalah atau bermasalah. Ke-57 pegawai itu yang di-SK-kan pemecatan tersebut, pastilah bermasalah atau ada masalah. Bermasalah dan ada masalah tersebut adalah atas dasar temuan Ombudsman dan Komnas HAM, yang semuanya menjadi otoritas absolut Presiden Jokowi berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Pasal 1.14, 53 dan 54 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN sekaligus menjadi tak terbantahkan lagi untuk mematahkan dalil-dalil politisi PDI Perjuangan di Mata Najwa tersebut, tentu juga, bersama para buzzer dan para penghamba kekuasaan atas pembusukkan logika dan akal waras yang mengatakan merengek-rengek, mengais iba dan belas kasih Presiden Jokowi agar tidak dipecat dari status pegawai KPK.
Dikatakan bahwa “tidak ada hal yang tidak tergantikan dalam (ke)hidup(an) ini” yang didalilkan oleh politisi PDI Perjuangan yang sekaligus konon Wakil Rakyat tersebut, mencerminkan batok kepala tak berisi, dan bahkan tengah mempertontokan kedunguan merasionalisasikan masalah dan permasalahan, karena menjungkirbalikkan logika dan akal waras untuk bicara yang sesungguhnya.
Bahkan, argumentasi tersebut mencerminkan kekacauan menafsirkan dan memaknai peradaban. Peradaban ditafsirkan dengan pembacaan terbalik dan jungkir balik, menjungkirbalikan logika dan akal waras, dalam konteks dan substansi G30S-TWK-KPK hanya untuk melenyapkan 57 orang pegawai KPK. Yang pada akhirnya peradaban menjadi sangat tidak beradab dalam batok kepala politisi PDI Perjuangan tersebut. Tetapi, barangkali hal itu merupakan dan atau cerminan yang menjadi doktrin dan idiologis partainya dalam tafsir peradaban; peradaban yang (sangat) tidak beradab-politik kekuasaan, kekuasaan politik.
Apa yang menjadi bantahan dan penyangkalan Kapitra Ampera-Legislator-Politisi PDI Perjuangan dan para buzzer dan atau para penghamba kekuasaan, sesungguhnya telah terbantahkan dengan sendirinya oleh UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, yang memberi otoritas absolut atas takdir sosial para pegawai KPK tersebut di tangan Presiden Jokowi.
Presiden atas dasar UU tersebut berkewajiban untuk mengambil sikap dan tindakan atas temuan Ombudsman dan Komnas HAM, apapun keputusan Presiden, apakah Jokowi akan sama sikap dan tindakannya dengan G30S-KPK, ataukah akan menjadi realitas sabaliknya. Kita tunggu saja, apa kata sang sutradara politik dalam panggung sandiwara tersebut.
Jika kemudian Jokowi sebagai Presiden mengabaikan atau menganggap angin lalu atau menganggap biarlah harimau mengaum, penguasa tak akan bergeming. Itu lain soal. Yang berarti Jokowi sebagai Presiden setuju dengan G30S-KPK tersebut. Sikap Presiden itu yang kita tunggu, karena itu menjadi kewajiban dan moralitas dalam mengemban amanat konstitusi atas takdir sosial yang dibuat oleh Komisioner KPK.
Semua itu, bukan berarti merengek-rengek, dan tidak bisa kita katakan merengek-rengek, mengais iba dan belas kasihan atas kemurahan hati Jokowi sebagai Presiden, tetapi karena UU Nomor 5 Tahun 2014, Presiden, kebetulan presidenya Jokowi dalam peristiwa sejarah kelam KPK itu kemudian lari dari tanggungjawab negaranya. Jika itu yang menjadi pilihannya, akan menjadi catatan sejarah kelam bangsa dan negara jilid dua. Itu semua, akan menjadi monumental ingatan kolektif sejarah kelam bagi bangsa dan negara ini.
Oleh sebab itu, setiap tanggal 30 September, kita akan mengenang kembali dua peristiwa “Sejarah Kelam.” Dua peristiwa “Sejarah Hitam” bagi bangsa dan negara itu adalah peristiwa sejarah “G30-PKI dan G30S-KPK.” Yang berarti jika kita masih memiliki logika dan akal waras, nurani dan moralitas, kita akan mebgibarkan bendera marah putih setengah tiang secara nasional setiap tanggal 30 September, jika Presiden Jokowi sepakat, seia-sekata dan atau berdiam dalam mikrofon atas G30S-KPK, yang menelan korban pegawai KPK yang disebut-sebut oleh publik adalah orang-orang yang punya nurani dan idealism sebagai pemberantas dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, dimana korupsi makin sangat terbuka dari Sabang hingga Merauke.
Nasib Pemberantasan Korupsi
Kita amat sangat sulit membayangkan dan atau untuk berharap (optimal, signifikan) akan kehadiran KPK untuk menunaikan kewajiban amanat negara dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini. Bunga layu sebelum semerbak mewangi. Tidak saja tercerabut dari akar filosofisnya.
Hal lainnya yang linear dengan ketercerabutan dari akar filosofisnya itu, paling tidak, karena ada beberapa hal yang tak terbantahkan lagi, yaitu, pertama, revisi UU KPK yang melahirkan UU Nomor 19 Tahun 2019, esensinya bukan untuk melakukan penguatan terhadap KPK itu sendiri.
Kehadiran UU tersebut hakikinya merupakan keniscayaan pelemahan akan eksistensi KPK itu sendiri, karena KPK bukan lagi sebagai insitusional yang independen secara birokratif, sudah menjadi rumpun eksekutif (Presiden) yang harus tunduk dan patuh kepada pimpinan dan kepemimpinan hirarkis kelembagaannya atas dasar UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Hal tersebut akan berimplikasi pada cara pandang dan atau akan membentuk mentalitas ABS (Asal Bisa Senang) untuk mengamankan perjalanan kariernya sebagai ASN KPK. Akan terjadi adanya conflict of interst, yang berimplikasi pada sikap dan tindakan terhadap pemberantasan korupsi.
UU Nomor 19 Tahun 2019 yang membuat KPK bukan lagi sebagai institusional yang independen tersebut, menjadi penolakan masif oleh civil society kritis, karena hanya akan melahirkan mentalitas penghamba, sehingga KPK tidak akan lagi mampu berdaya dalam keberdayaannya sebagai institusi yang diimpikan dan atau dirindukan atas pengharapan dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini. Dengan UU hasil revisi yang melemahkan KPK tersebut, takdir sosial perkorupsian bagaikan butir-butir pasir dan buih di lautan;
Kedua, Komisioner KPK yang sekarang ini menuai penolakan publik, civil society kritis, karena rekam jejaknya yang dipertanyakan dan mengundang banyak pertanyaan, yang hilang dari pembacaan sebagai figur anti korupsi, membuat rendahnya kredibilitas publik dan menjadi public trust yang amat sangat rendah;
Ketiga, KPK dalam kepemimpinan Firli Bahuri, ternyata mengafirmasi keniscayaan kebenaran akan gugatan dan atau penolakan civil society kritis. Komisioner dalam perjalanan waktunya yang baru seumur jagung saja sudah bermasalah. Ketua KPK dinyatakan melanggar kode etik dengan diberikan sanksi, sekalipun tidak berat.
Perjalanan waktu berikutnya, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dijatuhi sanksi berat, tetapi menjadi lucu, sanksi berat itu ternyata hanya dipotong gaji pokoknya 40% selama setahun, tidak diberhentikan dengan tidak hormat, dan yang lebih hebatnya lagi tidak dikenakan pasal pidana. Komisioner KPK itu melakukan komunikasi langsung dengan yang sedang berperkara.
Teranyata, yang bermasalah tidak hanya di Komisionernya saja. KPK di tangan Firli Bahuri, penyidiknya, Stapanus Robin Pattuju (dari unsur Kepolisian) menerima suap dari Wali Kota Tanjungbalai. Tidak hanya itu, barang bukti emas di Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi), 1,9 kg emas batangan dicuri oleh pegawai KPK Igas yang merupakan anggota di satuan Direktorat Labuksi itu sendiri;
Keempat, Komisioner KPK telah mengesampingkan rekomendasi dari kedua lembaga negara, yakni, Ombudsman dan Komnas HAM. Ombusdman dengan temuan maladministrasinya, dan Komnas HAM dengan temuan 11 pelanggaran HAM-nya. Kedua lembaga negara tersebut kemudian meneruskan rekomendasinya ke Presiden Jokowi sebagaimana ketentuan regulasi, yaitu UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, jika pendelegasian kewenangan otoritasnya tidak jalan, Presidenlah yang harus mengambil sikap dan tindakan, apakah yang direkomendasikan kedua lembaga negara tersebut mau didengar, dipakai atau dibuang saja ke tong sampah. Kita tunggu.
Bukan tanpa alasan, jika G30S KPK dikatakan bagaikan kelakuan immoral dan brutal orang-orang Gerakan 30 September 1965, seperti sejarah kelam Gerakan 30 September 1965 yang dikenal dengan G30S PKI, karena tepat pada 30 Septermber 2021 (Faisal-Pegawai KPK, JawaPos.com, 17/9/2021.21:47.10 WIB). Karena itu ingatan kolektif atas sejarah kelam bangsa dan negara;
Kelima, ternyata di dalam KPK juga ada masalah lainnya seperti stigmatisasi kelompok Taliban, dan yang tak kalah hebatnya juga, bahwa pegawai KPK yang dilenyapkan dalam G30S KPK memperjelas bahwa di KPK dalam hal penyelidikan dan penyidikan perkara juga menjadi masalah dan kendala, karena untuk mengungkap dan menindaklajuti pengembangan kasus korupsi hingga ke akar-akarnya terbentur tembok kekuasaan Komisioner, seperti dicontohkan soal korupsi Bansos oleh Kemensos, yang pengungkapan kasus ke akarnya terganjal sikap Komisioner (op.cit).
Bahkan penetapan status tersangka terhadap Mensos Juliari Peter Batubara, Komisioner KPK ternyata tidak bulat. Ketua KPK Firli Bahuri berkeberatan dan atau tidak sepakat Mensos Juliari Peter Batubara ditetapkan sebagai tersangka, dan tidak hanya itu, Firli Bahuri ketika menjadi Deputi Penindakan KPK, telah membocorkan sejumlah kasus terhadap orang-orang yang berperkara, setidaknya ada 26 kasus yang sengaja dibocorkan (Tempo, edisi 21-27 Juli 2021); dan
Keenam, telikungan oligarki. Oligarki memainkan sistem jaringan yang sangat sistemik, terstuktur dan masif. Kekuatan oligarki dengan belbagai jaringannya mempunyai daya rusak yang amat sangat dahsyat; melumpuhkan pelaku sistem yang ada, apalagi sistem, piranti hukum dan hukumnya justru yang bermasalah. Sistemnya jadi lumpuh, jika pun sistemnya baik, tetapi para pelaku sistemnya (mentalitas pelak) buruk, sistem akan tetap lumpuh, karena ada praktik-praktik yang tidak sehat oleh para pelaku sistem itu sendiri.
Dengan keenam pembacaan tersebut, membuat tingkat kepercayaan publik menjadi runtuh untuk berharap KPK bisa mengamankan negara dalam melakukan pemberantasan praktik-praktik perkorupsian yang sudah berurat berakar di negeri ini.
Kita tak mampu lagi untuk membayangkannya, apakah KPK akan menjadi KPK yang sesungguhnya, ataukah KPK hanya tinggal monumental semata dalam pemberantasan korupsi, karena dengan G30S KPK, realitas sejarahnya adalah justru KPK telah melakukan pemberantasan terhadap pemberantas korupsi yang berada dalam ruh KPK itu sendiri.
Lantas, bagaimanakah takdir sosial pemberantasan korupsi di daerah? Tentu, sungguh makin sulit kita bayangkan, sekalipun dengan imaji-imaji yang sangat liar sekalipun. Bahkan logika dan akal waras pun tidak mampu merasionalisasikan atas tadir sosial pemberantasan korupsi di daerah yang berharap dan atau menaruh pengharapan pada KPK pasca adanya G30S KPK.
Lebih-lebih daerah yang masih menjadi lumbung perkorupsian hingga kini, seperti halnya Indramayu sekalipun rezim penguasa telah berganti; warna kelirnya saja yang berganti. Lahan perkorupsian masih kasat mata terbuka lebar dan masih menghasilkan panen korupsi yang fantastik oleh banyak pihak yang berkepentingan. Yang mengerikan, jika KPK tak ada bedanya dengan Kepolisian dan Kejaksaan keberadaannya bagi daerah.
Realitas empiriknya, pastilah semua penggiat anti korupsi, kaum intelektual akademik dan civil society kritis yang menolak pelemahan KPK dengan lahirnya UU Nomor 19 Tahun 2019 dan disempurkanan dengan figur Komisioner sekarang ini (Firli Bahuri dkk), sungguh makin mengerikan dan bahkan makin nyeri dan ngilu saja.
Jika kita menggunakan analog yang paling ekstrim untuk pembarantasan korupsi di daerah, mana mungkin kasus-kasus korupsi yang dikirim pelaporannya ke KPK dengan segudang atau sekontainer data dan alat bukti permulaan yang lebih dari cukup dan alat bukti petunjuk yang lebih dari cukup bisa tersentuh KPK.
Dalam sejarah KPK, apalagi dengan adanya pelemahan KPK dengan revisi UU KPK tersebut, nyaris tak pernah ada kasus korupsi di daerah yang disentuh KPK, kecuali atas peristiwa operasi senyap; OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK. Tidak gampang untuk bisa menembus lorong gelap OTT KPK.
Kasus-kasus korupsi di daerah, sesungguhnya tidak kalah besar dibandingkan dengan kasus-kasus korupsi di tingkat nasional. Namun, kasus-kasus korupsi di daerah selalu saja tertimbun oleh riuh redam dan gegap gempitanya kasus perkorupsian nasional yang dikawal berbagai media masa, medsos, civil society kritis dan para NGO, yang kondisi seperti itu nyaris sebagai menjadi barang langka di daerah. KPK ngurusi kasus korupsi di level nasional saja terlihat sangat kedodoran, menjengkelkan dan menggeramkan.
Kengiluan dan kenyerian tersebut disempurnakan dengan fakta dan realitas empiris pula bahwa sejarah kelabu KPK dengan peristiwa G30S KPK, pastilah akan berimplikasi dan atau berdampak serius dan fatal terhadap takdir sosial pemberantasan korupsi di daerah, terutama bagi Indramayu tentunya, karena mati suri dan lumpuhnya Inspektorat, yang bukan saja karena faktor utama mentalitasnya yang buruk, tetapi, kapabilitas keauditorannya juga yang jauh di bawah standar, sekalipun dilonggarkan standarnya.
Sejarah kelam dan atau kelabu KPK dengan adanya peristiwa G30S KPK, bagi para penggiat anti korupsi, sesungguhnya bukanlah hal yang mengejutkan atau mengagetkan, jika kemudian KPK menjadi absurditas dari sebuah harapan dan pengharapan publik yang masih memiliki logika dan akal waras untuk negeri ini.
Hal tersebut bisa kita tarik tenun benang merahnya atas pondasi KPK yang dirobohkan dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 dan dengan figur Komisioner sekarang ini. Perobohan pondasi KPK yang mengatasnakaman penguatan KPK itu, sesungguhnya merupakan permufakatan pembenaran dengan kontruksi yang oleh Jurgen Habermas disebuat sebagai kebenaran konsensus atas kebenaran itu sendiri, paham kebenaran atas tafsir para pemangku kepentingan, termasuk oligarki di dalamnya, rezim penguasa; Istana dan Senayan.
Adanya sejarah kelam dan atau kelabu KPK dengan peristiwa G30S KPK, menghidupkan kembali ingatan kolektif atas sejarah kelam bangsa dan negara pada 30 September 1965, karena fakta dan realitasnya KPK memilih tanggal 30 September yang jika kita melakukan pembacaan sosiologi sejarah politik, adalah terjadinya peristiwa G30S PKI.
Pilihan term waktu yang menjadi sejarah yang mensejarah itu, tentu, sangat disadari betul oleh Komisioner KPK, sehingga menjadi tak terbantahkan lagi jika publik dan atau pegawai KPK Giri Suprapdiono menstigmatisasinya dengan G30S TWK (Giri, Twitter, Rabu, 15/9/2021), yang oleh Faisal menarik benang merahnya ke dalam peristiwa G30S PKI.
Adanya dua peristiwa sejarah kelam, G30S PKI dan G30S KPK merupakan sejarah kelam bangsa dan negara ini, yang membuka kembali ingatan kita terhadap peristiwa sejarah kelam atas “sejarah kelam kebudayaan” yang disebut prahara budaya atau senjakala kebudayaan yang terjadi pada rezim penguasa Orde Lama-Soekarno yang banyak juga menelan korban; konfrontasi Lekra-PKI versus Manifes Kebudayaan, dimana Lekra PKI dengan Manipol Usdeknya Soekarno “yang kiri (Marxis-Komunis).” Kaum intelektual akademik, civil society kritis banyak dipenjarakan dan atau dipecat dari Menara Gading Ilmiah (kampus), karena tidak sejalan dengan pandangan politik kekuasaan rezim penguasa saat itu.
Untuk itu, kita tidak perlu terlampau merindukan atau berharap atas pengharapan keseriusan rezim penguasa terhadap pemberantasan korupsi, agar kekecewaan tidak bersemayam dalam diri kita, apalagi menjadi frustasi dikarenakan sebab akibat pengharapan yang melampau batas realitas yang ada, baik di pusat apalagi di daerah.
Boleh saja kita berharap atau bermimpi bisa mengulang sejarah terjadinya OTT sebagai penggiat anti korupsi di daerah, tetapi, itu semua tidak akan terjadi jika kita semua hanya bisa bermimpi di siang bolong dari tidur yang mengigau, atau merindukan igauan sang pengigau menjadi realitas fakta yang nyata, karena dari peristiwa G30S KPK tersebut korbannya adalah orang-orang yang oleh publik disebut sebagai orang-orang yang masih punya nurani dan idealisme untuk menjaga negara dan bangsa untuk tidak menjadi hancur digerogoti korupsi yang dipagarbetis oligarki politik kekuasaan dan kekuasaan politik. Ingatan publik mencatat dan membacanya seperti itu atas tenun benang merah yang berkelindan dalam kekuasaan.
Oleh karena itu, mari kita berangkat dari pesimisme tulen untuk menempuh lorong gelap KPK yang bernama whistleblowers. Lorong gelap whistleblowers harus terus menerus kita dobrak hingga kita bisa menjebolnya, jika kita hendak mengulang sejarah OTT tempo hari bagi daerah-daerah yang masih menjadi lumbung korupsi seperti halnya Indramayu, karena akan menjadi naïf jika kita hanya berharap pada sekontainer laporan yang telah dikirim ke KPK.
Kita mencoba mulai dari pembacaan yang paling naïf hingga imaji-imaji liar kita coba konstruksi, dan merasionalisasikannya dari hal yang absurd dan (sangat) irasional untuk bisa disentuh KPK, karena laporan-laporan kasus korupsi sekalipun sekontainer berkas data yang dilengkapi alat bukti permulaan yang lebih dari cukup, dan alat bukti petunjuk yang lebih dari cukup, rasanya naïf dan sangat muskil bagi kasus-kasus korupsi di daerah bisa tersentuh KPK, karena kasus-kasus besar korupsi di level nasional selalu menimbun kasus-kasus korupsi di daerah yang telah dilaporkannya.
Hanya ada satu lorong yang masih bisa kita tempuh, dan itu harus kita menempuhnya sebagai satu-satunya alternatif yang masih mungkin, yaitu dengan menjebol lorong whistleblowers untuk operasi senyap KPK yang bernama OTT KPK, tanpa itu, sungguh miris, nyeri dan ngilu.
Jika G30S KPK itu menjadi keniscayaan, maka pada hari Kamis, tanggal 30, bulan September itu ada dua peristiwa Sejarah Kelam bagi bangsa dan negara, yaitu peristiwa G30S PKI dan G30S KPK, yang jika kita tarik tenun benang merah tersebut adalah keniscayaan atas terafirmasinya sejarah kelam bangsa dan negara di rezim penguasa Soekarno dan di rezim penguasa Jokowi, yang keduanya adalah satu nafas dalam satu ruh idiologi dalam berjalanan waktu yang berbeda dalam satu lorong sejarah, karena waktu dan sejarah itu pula yang bicara.
Untuk itu, setiap tanggal 30 September, kita semua mari mengibarkan bendera merah putih setengah tiang, sebagai catatan sejarah kelam dan ingatan kolektif, atas dua peristiwa sejarah kelam bangsa dan negara. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. E-mail: jurnalepkspd@gmail.com