Peradaban monarkisme dan atau aristokratik ternyata tetap bersemayam pada para (calon) pemimpin bangsa republik negeri ini. Realitas sosial politik tersebut, bisa kita lihat dengan kasat mata mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah, dan bahkan menjadi sekonyong-konyong muncul dari kahyangan sekalipun kakinya tidak napak di bumi. Misalnya, Siti Nur Azizah anak Ma’ruf Amin, di mana Ma’ruf Amin secara kebetulan menjadi Wakil Presiden karena GNPF MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia) pada peristiwa politik Pilkada Gubernur DKI 2017 atas tafsir QS. Almaidah ayat 51.
Ma’ruf Amin sebagai Ketua MUI menjadi pilihan politik Mega-Jokowi untuk menyelamatkan Jokowi pada periode ke-2 kepresidenannya, dengan tujuan utama untuk meredam gejolak Ormas-ormas Islam. Dengan itulah, sekonyong-konyong tiba-tiba Siti Nur Azizah anak wakil Presiden itu sangat ambisius (memang itu hak politik dan konsitusional) mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Kepala Daerah Tangsel dengan Jargon Permata Tangsel (Pemerataan dan Kesejahteraan Tangerang Selatan).
Hasrat hendak berkuasa membara dalam jiwa raganya. Budaya aji mumpung menjadi kalkulasi matematis, paling tidak, untuk investasi politik masa datang dengan asumsi telah berinvestasi basis massa dengan menarik benang merah keterpilihan kekuasaan atas orang tuanya yang pernah bertahta di republik negeri ini. Budaya aji mumpung berkuasa ini bersemi di republik negeri ini.
Pelajaran Sejarah
Sebelum alam demokrasi terlahir dalam sistem pemerintahan dan bernegara, Kerajaan-kerajaan (Raja-raja) baik dalam bentuk Kesultanan maupun bentuk lainnya di nusantara maupun di belahan dunia manapun adanya, Kerajaan-kerajaan tersebut telah mengajarkan kepada kita semua, bahwa yang berhak mengatur kekuasaan dalam hajat hidup orang banyak (bergantung keluasan kekuasaannya), haruslah (keturunan) darah Raja yang berhak dalam tahta kekuasaan (menjalankan pemerintahan). Menafsirkan teologi kehendak Tuhan dengan hak absolut dan hanya golongan darah Raja-rajalah Tuhan memberi kelebihan. Di luar darah Raja adalah manusia biasa, yang oleh Federich Nietzsche diterminologikan dengan apa yang dikatakan “Unggul” dan “Hina”.
Di luar darah biru (Raja-raja) atau genetik (baca: keturunan sosial) gembel atau rakyat biasa bahkan kalangan ningrat di luar darah biru, sehebat apapun atau jika dipersandingkan akan menjadi kurva terbalik dengan keturunan darah biru, tetap tidak akan bisa menjadi Raja; menjadi pemimpin pemerintahan di berbagai tingkatan, yang sekarang seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota dan bahkan menjadi Kepala Desa. Padahal darah biru tersebut jauh lebih rendah kualitas moral, intelektualitasnya dan integritasnya bahkan sekalipun jongkok pengetahuan. Begitulah hukum budaya kekuasaan yang berlaku waktu itu, darah biru (seolah-olah) adalah utusan Tuhan di muka bumi, dan menjadi absolut pemilik kekuasaan dunia, tahta menjadi turun temurun.
Pelajarah sejarah (nusantara dan dunia) itulah yang kita dapatkan di masa lampau. Sekalipun, hingga kini masih ada sistem kerajaan di alam modern yang kita kenal saat ini. Kerajaan-kerajaan yang masih hidup hingga kini, seperti Belanda, Inggris, Jepang, Malaysia, Monako dan lainnya tidak lagi menganut sistem kerajaan klasik (masa lampau). Kerajaan-kerajaan yang hidup di alam demokrasi, telah memadukan sistem kerajaan klasik dengan sistem demokrasi.
Kerajaan-kerajaan yang menyesuaikan dengan alam demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya kita kenal dengan yang namanya PM (Perdana Menteri). Jabatan PM tersebut harus melalui mekanisme kompetisi ketat dalam sistem (ber)demokrasi, yang sama halnya di negara yang menganut sistem demokrasi (dengan embel-embel apapun juga) melalui mekanisme Pemilu (Pemilihan Umum) dengan menganut sistem parlementer dalam menjalankan negaranya.
Di Inggris, rakyat dalam Pemilu hanya memilih wakil-wakilnya untuk di Majelis Rendah (House of Commons). Anggota Majelis Rendah dipilih oleh masyarakat yang punya hak pilih di satu daerah pemilihan (constituency), yang dalam demokrasi kita dipakai sistem Dapil (Daerah Pemilihan). Ketua Partai pemenang akan menjadi PM.
Di Jepang, PM dipilih oleh parlemen. Di Malaysia, PM dipilih melalui kompetisi Pemilu langsung. Monako menggunakan sistem monarki (semi) konstitusional, tidak menggunakan istilah PM tetapi Menteri Negara (Kepala Pemerintahan), yang ditunjuk dan menjadi bawahan langsung Pangeran Monako.
Di Belanda, PM tidak dipilih oleh rakyat tetapi merupakan perwakilan Parpol terbesar sebagai pemenang Pemilu. Jabatan di Provinsi/Gubernur (Commissaris van de Koning/Komisaris Raja) ditunjuk oleh Raja dan untuk Walikota penunjukkannya berdasarkan rekomendasi Gemeente Raad atau Dewan Kotapraja yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil Parpol, pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak langsung. Era rezim Orba Soeharto menerapkan Pilkada tidak langsung, dipilih oleh DPRD (Parlemen), tetapi itu sudah disetting siapa yang harus dipilih menjadi Gubenur, Bupati dan Walikota Fakta sejarahnya adalah yang berlatar belakang militer atas restu Cendana (Soeharto).
Politik Dinasti
Pengertian yang paling sederhana untuk memahami Politik Dinasti atau Dinasti Politik atau Dinasti Kekuasaan adalah kekuasaan yang harus diturunkan secara turun temurun berdasarkan genetika (nasab) (ke)politik(an); benang (merah) keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang dengan tujuannya untuk mempertahankan atau mendapatkan keberlangsungan kekuasaan.
Politik dinasti atau dinasti kekuasaan bisa dibangun dengan sistem politik kekerabatan, sehingga kekuasaan akan tertap terjaga keberlangsungannya. Jika pun kekuasaan yang hendak diwariskan bukan lagi sedarah, maka konsep kekerabatan tersebut akan mewariskan kepada yang paling bisa dipercaya untuk tidak menjadi “Malin Kundang” kekuasaannya. Prinsip loyalitas dan militansi menjadi pertimbangan utamanya, bukan politik balas jasa (materialism), karena dalam politik adalah konsesus kepentingan, tidak ada istilah pengkhianatan dalam politik.
Dalam konstitusi kita, dinasti kekuasaan (dinasti politik, politik dinasti) tidak diatur dan atau tidak dilarang. Sehingga, setiap warga negara punya hak konstitusional untuk mencalonkan diri (jalur independen), atau dicalonkan oleh Parpol. Hak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan akan dikembalikan lagi ke-hak-annya dalam (ber)politik. Begitu juga setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk memilih dan menentukan pilihannya. Hak untuk menentukan tidak punya pilihan, itu pun dijamin secara konstitusional atas hak itu sendiri yang melekat secara azasi, sehingga negara (konstitusi) berkewajiban melindungi atas hak tersebut.
Karena konstitusi tidak mengatur atau tidak melarang atas politik dinasti atau dinasti kekuasaan, maka sopan santun berpolitiklah yang bicara dan mengendalikannya. Artinya, secara etik, dinasti kekuasaan akan merusak proses demokrasi dan keberlangsungan akan demokrasi itu sendiri.
Politik dinasti pada realitas empriknya yang menjadi fakta adalah mengabaikan banyak hal, termasuk hal yang paling prinsipal: kapabilitas (kemampuan dan kecakapan) dan integritas. Ruang terbuka untuk berkompetisi secara kompetitif dan fairness, mengedepankan logika dan akal waras menjadi terbelenggu bahkan terkunci untuk berdialektika dan berargumentasi akademik, dan ruang publik kritis untuk menjaga kehancuran nilai-nilai demokrasi dan akal waras tersingkirkan dalam fragmatisme udel dan perut.
Kandidat politisi dari keluarga politik biasanya mempunyai modal politik yang diwariskan (political legacy), baik dari nama yang telah dikenal publik (popularitas) maupun jaringan politik serta kemampuan keuangan dalam kampanye, sehingga memperoleh dukungan rakyat (Gary C. Jacobson-Samuel Kernell: Strategy and Choice in Congressional Elections). Gary-Kernell juga menstabilo bahwa kualitas kandidat diukur dari pengalaman politik sebelumnya. Ternyata, fakta sosial politik di kita tidak menjadi pertimbangan yang turut menentukan seperti keterukuran berpengalaman berpolitik, berorganisasi sosial, pengalaman bekerja untuk melacak jejak apakah yang bersangkutan mampu berinteraksi sosial (bersosialisasi), bekerja sama (team work) dan faktor-faktor lainnya seperti bagaimana berkomunikasi dengan publik, memberi penjelasan terhadap isu dan seterusnya.
Pengambilan kebijakan di Parpol yang melahirkan keputusan Parpol, di negeri ini sudah bukan hal yang mengejutkan lagi bagi kita, di mana keputusan tersebut merupakan keputusan elitis Parpol. Bahkan, dalam Parpol ada yang disebut dengan Tuhannya Parpol. Tuhannya Parpol menjadi penentu untuk semua urusan politik Pilkada, Pilpres dan Pileg, terutama soal rekomendasi untuk calon kepala daerah, yang realitasnya bagaikan pasar kelontong yang ditentukan oleh hukum ekonomi absolut; supplai and dimand.
Robert Michels dalam “Partai Politik Kecenderungan Oligarki” menjelaskan bahwa elitisme dalam pengambilan keputusan di Parpol merupakan fenomena umum dalam berorganisasi yang birokratis yang dikatakannya sebagai oligarki partai. Oligarki merupakan bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik berada di tangan sekelompok kecil minoritas. Hukum besi oligarki melekat dalam setiap organisasi (Parpol). Argumentasi Robert Michels menunjukkan kontruksi Tuhan Parpol menjadi tak terbantahkan keniscayaannya.
Elitisme dalam Parpol juga menciptakan sistem relasi patron-klien. Relasi tidak kesetaraan dalam status maupun kekuasaan, atau dengan kata lain, relasi superior-inferior, atau relasi induk semang, untuk menjaga keajegan dinasti politiknya baik yang dibangun berdasarkan politik kekerabatan maupun politik dinasti yang diwariskannya, yang sekali lagi, memanfatkan dan terus terpeliharanya fragmatisme meterialistik yang melahirkan money politics (Pileg-Pilkada-Pilpres- Cukong). Feodalistik oligarki yang ditanam pada masyarakat terus dirawatnya.
Jika Parpol dan para elitis Parpol terus memelihara feodalistik oligarki politik dinasti atau dinasti kekuasaan, pada akhirnya menjauhkan proses demokrasi dan demokrasi itu sendiri, maka deparpolisasi menjadi pilihan dan bagian tak terhindarkan lagi, agar parpol mampu melakukan otokritik, introspeksi, perenenung kembali. Atau agar mampu mendekontruksi keberadaan relasi induk semang dalam kepartaiannya. Deparpolisasi tidak dipahamai sebagai peniadaan Parpol atau menolak keberadaan Parpol, tetapi semata-mata itu persoalan kepercayaan publik (public trust) saja. Dalam demokrasi adalah di antaranya ada keberadaan Parpol untuk melahirkan kepemimpinan formal menjadi atas nama Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) dan Kepala Negara (Presiden). Deparpolisasi adalah sebagai bentuk dan metode kontrol terhadap kehidupan Parpol agar tidak memelihara tradisi atau budaya Jas Merah akan feodalistik oligarki-politik dinasti, feodalistik oligarki-dinasti politik atau feodalistik oligarki-dinasti kekuasaan.
Feodalistik Oligarki
Gibran Rakabuming Raka dan Boby Nasution bukanlah nama baru di ruang publik akhir-akhir ini, karena media massa dan media mainstream dan atau media sosial (Medsos) mem-blowup besar-besaran (di luar status sosial selebritas) ketika resepsi pernikahan keduanya, yaitu Gibran adalah anak Presiden Joko Widodo dan Boby Nasution adalah menantu Presiden Joko Widodo.
Apakah kemudian keduanya menjadi populer atau tidak, itu persoalan lain, tetapi minimal publik nasional pernah mengenal kedua nama tersebut. Apalagi soal elektabilitas dirinya sendiri, itu soal yang sangat lain pula, tetapi karena budaya dan cara pandang feodalistik yang masih tumbuh subur di republik negeri ini, maka atas figur kepresidenan orang tuanya akan menjadi bagian yang tak terpisahkan melekat pada keduanya. Begitu juga yang terjadi pada Siti Nur Azizah anak Ma’ruf Amin yang Wakil Presiden, dan Adly Fairus cucu Wakil Presiden. Hal yang serupa juga terjadi di daerah-daerah. Budaya aji mumpung menjadi pilihan yang dibudayakan di negeri ini, sehingga yang menjadi keniscayaan hanya melahirkan hasrat dan kehendak berkuasa.
Gibran dan Boby Nasution dan atau Jokowi sebagai Presiden (Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dalam sistem demokrasi Presidensial), telah mampu membaca dan melakukan pembacaan sejarah masa lampau secara cermat dan cerdas. Dari pelajaran sejarah masa lampau (silam) itulah pelajaran sejarah yang bisa diambil untuk dianalogikan dan diadaptasikan dengan alam demokrasi Pancasila dengan premis bahwa kekuasaan turun temurun harus tetap terjaga dan terpelihara, puncak-puncak kekuasaan harus diteruskan oleh anak cucunya. Kekuasaan yang berkuasa dipahami sebagai genetika yang mengalir dalam darah, termasuk pemahaman anak cucunya. Premis kurva terbalik pun dpakainya, jangan lupakan Jas Merah.
Fakta sosiologis yang mensejarah itu, ternyata tidak saja bersemayam dalam diri Presiden Jokowi dengan anak dan menantunya. Ma’ruf Amin dengan anak dan cucunya (Siti Nur Azizah di Pilkada Tangerang Selatan dan Andly Fairuz yang selebritas di Pilkada Karawang) dan telah secara cermat dan cerdas untuk tidak melupakan Jas Merah-aji mumpung. Fakta sosiologis yang menjadi kebenaran sejarah itu pun terjadi dan bersemayan di berbagai daerah. Tak ada satu daerah pun yang tidak menganut aji mumpung dan bisa melupakan Jas Merah kekuasaan.
Resiko pemahaman dan tafsir kekuasaan menjadi persoalan genetik dan atau DNA kekuasaan, yang dalam istilah Kerajaan, hanya turunan kerajaanlah yang berhak atas tahta dan kekuasaan dalam negara dan bernegara, mau tidak mau, suka tidak suka, jika (mayoritas) masyarakatnya juga membumikan-membudayakan karakter pemahaman dan pandangannya seperti itu, maka akan melanggengkan Feodalistik Oligarki sehingga Dinasti Kekuasaan akan tetap meng-ada, tumbuh dan berkembang dalam baju demokrasi.
Sindroma feodalistik oligarki terlihat begitu nyata menjangkiti dan atau bahkan telah mengidap kepada calon para pemimpin dan atau para pemimpin negeri ini, sehingga kemudian (sebagian besar) masyarakat yang sakit dimanfaatkannya dan dipeliharanya untuk kepentingan dinasti politik (kekuasaan) dan secara kontinyuitas dibangun juga sistem kekerabatan politik yang akhirnya mengekalkan sistem dinasti kekuasaan.
Fakta sosial politik tersebut terjadi diberbagai daerah, dan kini Parpol berada dalam lingkaran sindroma feodalistik oligarki dinasti kekuasaan yang tak terbantahkan keniscayaannya. Sistem kekerabatan politik untuk membangun dinasti kekuasaan tercermin dalam kaca negeri ini seperti Gibran Rakabuming Raka, di mana hampir semua parpol berkoalisi untuk mengusungnya, dan untuk tidak mempermalukan demokrasi kemudian diupayakan untuk tidak terjadi kotak kosong dalam kontestasi politik Pilkada, lahirlah pasangan calon independen. Pilkada dalam feodalistik oligarki juga terjadi di mana-mana, yang sekaligus menunjukkan fakta sosiologis dinasti politik kekerabatan dibangun oleh parpol-parpol, yang dalam perspektif lain menampakkan krisis (calon) kepemimpinan. Sekalipun sesungguhnya bukan seperti itu, tetapi merupakan konspirasi kekuasaan untuk bagi-bagi kue (kepentingan). Yang kemudian melihirkan kotak kosong dalam Pilkada, karena atas nama demokrasi harus ada kontestasi politik.
Kotak kosong terjadi di 25 daerah Pilkada Serentak 2020: Papua Barat 1. Kabupaten Manokwari Selatan-Markus Waran-Wempie Welly Rengkung (petahana bupati-wakil bupati). 2. Kabupaten Pegunungan Arfak-Yosias Saroy-Marinus Mandacan (petahana bupati-wakil bupati). 3. Kabupaten Raja Ampat-Abdul Faris Umlati (petahana bupati)-Orideko I Burdam. Sulawesi Selatan 4. Kabupaten Gowa-Adnan Purichta Ichsan-Abdul Rauf Malaganni (petahana bupati-wakil bupati). 5. Kabupaten Soppeng-H. A. Kaswadi Razak (petahana bupati) – Luthfi Halide. Sulawesi Barat. 6. Kabupaten Mamuju Tengah-H. M. Aras T-H. Muha Amin Jasa (petahana bupati-wakil bupati). Kalimantan Timur. 7. Kota Balikpapan–Rahmad Mas’ud (petahana wakil wali kota)-Thohari Aziz. 8. Kabupaten Kutai Kartanegara-Edi Damansyah (petahana bupati) – Rendi Solihin. Nusa Tenggara Barat. 9. Kabupaten Sumbawa Barat-W. Musyafirin-Fud Syaifuddin (petahana bupati-wakil bupati). Bali 10. Kabupaten Badung-I Nyoman Giri Prasta-I Ketut Suiasa (petahana bupati-wakil bupati). Jawa Timur. 11. Kabupaten Kediri-Hanindhito Himawan Pramana-Dewi Mariya Ulfa. 12. Kabupaten Ngawi-Ony Anwar Harsono (petahana wakil bupati) – Dwi Rianto Jatmiko. Jawa Tengah. 13. Kabupaten Boyolali-Mohammad Said Hidayat (petahana wakil bupati)-Wahyu Irawan.14.Kabupaten Grobogan–Sri Sumarni (petahana bupati) – Bambang Pujiyanto. 15. Kabupaten Kebumen-Arif Sugiyanto (petahana wakil bupati)-Ristawati Purwaningsih. 16. Kota Semarang-Hendrar Prihadi-Hevearita Gunaryanti Rahayu (petahana wali kota-wakil wali kota). 17. Kabupaten Sragen-Kusdinar Untung Yuni Sukowati (petahana bupati)-Suroto. 18. Kabupaten Wonosobo-Afif Nurhidayat-Muhammad Albar. Sumatera Utara. 19. Kabupaten Humbang-Hasundutan-Dosmar Banjarnahor (petahana bupati) -Oloan P. Nababan. 20. Kota Gunungsitoli-Lakhomizaro Zebua-Sowa’a Laoli (petahana wali kota-wakil wali kota). 21. Kota Pematangsiantar-Asner Silalahi-Susanti Dewayani. Sumatera Barat. 22. Kabupaten Pasaman-Benny Utama-Sabar AS. Sumatera Selatan
23. Kabupaten Ogan Komering Ulu-Kuryana Azis-Johan Anuar (petahana bupati-wakil bupati). 24. Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan-Popo Ali Martopo-Sholehien Abuasir (petahana bupati-wakil bupati). Bengkulu. 25. Kabupaten Bengkulu Utara-Mian-Arie Septia Adinata (petahana bupati-wakil bupati). (KPU-CNN Inonesia, Rabu, 16/09/2020 12:21 WIB).
Petahana melaga sendirian. Fakta emprik sosial politik tersebut adalah memperkuat premis adanya Tuhan Parpol, politik dinasti dan kekerabatan politik untuk menjaga kekuasaan politik kepentingan. Dalam pembacaan lain, bisa juga dikatakan, kita tengah krisis (calon) kepemimpinan, ataukah kita tengah ramai-ramai membusukkan demokrasi. Di sisi lain, dinasti kekuasaan, dinasti politik, politik dinasti dan politik oligarki yang terpelihara mencerminkan masyarakat yang sakit dan masyarakat yang feodalistik, sehingga mengubur akal waras demokrasi. ***
*)Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com