Oleh Al Bahits
Pemerintahan Pakistan menghadapi dua bentuk anggapan, yaitu, pertama, apakah pemerintah di bawah Perdana Menteri Imran Khan adalah progresif state atau terbawa proresif aliran radikalisme. Apa yang bisa direspon dari dua anggapan tersebut?
Mungkin dapat kita awali dengan berulangnya kekerasan di Wazieristan Barat Laut Pakistan Mei 2018 dinilai sebagai kondisi berbahaya. Apa lagi yang diarahkan pada anak wanita lalu menyebabkan pemerintah Pakistan menutup sekolah di wilayah Pakistan Utara tersebut. Hal itu membahayakan meski tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Kelompok Militans Pakistan menyebarkan selebaran yang menuntut penutupan sekolah di wilayah tersebut.
Pemerintah Pakistan dalam hal ini memang kurang jelas menentukan kebijakan dalam memisah pelajar pria dan wanita, karena keterbatasan infrastrukur gedung sekolah. Ini memberi pengaruh tingkat rata-rata kekerasan pada ratusan di antara ribuan anak didik
Monitoring investigasi organisasi pernah dilakukan. Hal yang dilakukan pemeritah Pakistan tersebut menunjukkan bahwa terdapat petunjuk atau indikasi horor pada aksi anak di Pakistan.Faktanya adalah keterkaitan pemerimtah Islamabad secara tak patut mensupport ruang dan waktu pada unsur teroris yang berakar pada awalnya kekerasan, horor aksi tersebut seperti terjadi di Jamu dan Kashmir. Banyak instansi pemerintah Pakistan ikut memberi latihan training, pengumpulan dana dan semacamnya. Itu terjadi dinegara tetangga yang berbatasan dengan Pakistan. Human Right Wach menyatakan bahwa Islamabad gagal menyetop migrant luar yang menjadi anasir persoalan tindak kekerasan.
Sementara Komunitas internasional berharap Islamabad mampu melindungi pelajar khususnya pelajar wanita dari kekerasan dan budaya lain (bias culture) yang tidak patut. Komite Hak Azazi Manusia Asia mencatat pada tahun 2018 ada 14 sekolah yang mendapat serangan di Diamer Grigt Blukistan Provinsi Pakistan yang menimbulkan pelbagai kerusakan.
Bede Stepard Deputy Children Human Right menyatakan bahaya bagi pelajar seperti perkosaan bagi pelajar wanita. Namun sayangnya pemerintah Pakistan kurang peduli pada hal itu. Terutama ketidak pedulian pada upaya komprehensip dalam merlindungi pelajar wanita. Seperti tergambar dari tampilan Diamie higlihgt perlakuan buruk terhadap guru berasal dari bias atau tak jelasnya regulasi dasar pendidikan.
Adanya hal itu seharusnya di sini merupakan dasar seluru anak didik untuk bergabung diterima pada instansi sekolah. Namun, di lain pihak itu diabaikan pemerintah Pakistan dan hal itu menjadi peluang masuk bahi element teroris. Pertanyannya apa tanggungjawab pemerintah Pakistan, mewujudkan kemanan dan kesejahteraan bagi generasi yang akan datang.
Akibat militans violence (tindak kekerasan kelompok militans) pada tahun 2019 ada 25 juta pelajar keluar dari sekolah khususnya wanita.Grup militans termasuk kelompok Taliban Lasykar e Janghvi dengan afiliasi lokalnya menyerang sekolah dan Universitas dengan dalil intoleransi.
Group Non Government Orgnisation or NGO menyerukan kewaspadaan dan perhatian terhadap kasus Diamer. Seperti disampaikan Alif Ailan dari laporan grup NGO setempat rendahnya rangking pendididkan di Grigit Balisistan Region (Pak Adminisration Kashmir PAK) Sesudah dukungan Pakistan Taliban mengambil wilayah Sweat Valley Khaybar Pakhlunkwa province pada tahun 2007 mulailah kampanye sekolah perempuan. Lebih 900 siswa perempuan deikeluarkan dan lebih 120 ribu siswa perempuan berhenti sekolah. Di samping itu terdapat 8 ribu anak laki laki berhenti sekolah dan harus bekerja. Selain itu menurut Coalition Protect Education juga terdapat serangan kesekolah sebanyak 203 kali sepanjang tahun 2013-2017. Adanya gambaran diatas ditambah tidak sinkronnya kebijakan pemerintah, Yaitu military development diwilayah tersebut dengan menggeser area lokasi pendidikan untuk digunakan barak militer. Bahayanya adalah instalasi tersebut rawan terjadi serangan militer.Human Right Wacth menyadari bahwa Pakistan sedang membangun komprehensip strategy dalam melindungi perlajar, guru, fasilitas gedung dari sekolah dan University. Islamabad berupaya melibatkan unsur lokal dan pemerintah pusat untuk, mengkombinasikan policy ini. Financial Action Task Force (FAITF) khawatir terhadap Pakistan yang coba mengalokasikan Rs 180 per aktifits ekonomi penduduk. Ini digunakan utuk Jamai –ud-Dakwa (JuD) dan FInsanial Insaniyah Foundation (FIP) di bawah program pemabangunan umat termasuk bantuan sekolah.
Laporam kantor berita Inggris Reuters menyampaikan bahwa bantuan uang berasal program tersebut, kini mengcover 30 ribu madrasah diseluruh Pakistan. Memang proyek ini digunakan untuk sekolah atau pendidikan Isalmn dengan program relegius rigid sebagai basisnya. Dalam hal ini Perdana Menteri Pakistan Imran Khan telah menyatakan bahwa Pakistan mendapat tekan masyrkat internasional.
Namun Pakistan menegaskan program ini semata untuk kepentingan pendidikan Islam. Hanya saja unsur radikal dan lainya ikut gabung berasosiasi dalam aktivitas tersebut. Pakistan soal ini sebagai clearly shows dimana Pakistn bekerja untuk kepentingan kemajuan pendidikan di Pakistan.
Itu semua adalah tapal batas anggapan mengapa Islamabad menangani masalah pendidikan kaum muda.Mengapa terdapat kelemahan dalam aplikasi dilapangan radikalisme dan teroris .Jawaban tersebut adalah kekurang mampuan pemeriintah dilapangan dengan segala aspeknya. Semua orang memahami apakah Pemerintah baru di bawah Perdana Menteri Imran Khan sebagai perwujudan Progresive State atau terbawa oleh garis progresive radikalisme. Kita tidak tahu.
Jakarta, 19 Oktober 2019