Sabtu, Juni 7, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Grup PT. Sago Nauli Rusak Hutan Mangrove di Pantai Barat Natal Untuk Kebun Kelapa Sawit

Madina, Demokratis

Kasus pengrusakan hutan mangrove (bakau) yang diubah fungsi menjadi areal kebun kelapa sawit sekitar ratusan hektar di garis pantai Desa Buburan, Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara oleh PT. TBS /Group PT. Sago Nauli sekira tahun 2014 lalu menjadi sorotan di Pantai Barat Natal hingga ke aparat hukum.

Lubis warga Desa Sikara-kara yang juga salah satu anggota OKP di Kecamatan Natal menuturkan, akibat hutan mangrove diduga kuat telah dirusak oleh PT. Sago Nauli Group Kebun Sikara-kara, maka pemanfaatan hutan mangrove yang tidak seimbang mengakibatkan luasannya semakin menurun. Kondisi ini tentunya mengancam kelangsungan hidup manusia. Hutan mangrove merupakan sumber daya alam yang sangat potensial dan mendukung bagi kelangsungan hidup manusia, baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan (ekologi).

“Berfungsi ekologi, hutan mangrove sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sedimen dan merupakan habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara. Fungsi ekonomis, dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain seperti tannin dan pewarna. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Oleh karena itu, keberadaan dan kelestarian hutan mangrove sangatlah penting untuk kesejahteraan manusia,” terang Lubis di Sikara-kara, (24/3/2022).

Di tempat terpisah, Mangudut Hutagalung Kepala Devisi Investigasi dan Pengkajian Data Lembaga Independen Pengawasan Pejabat & Aparatur Negara Sumut (LIPPAN SU) menyampaikan bahwa sebagaimana diketahui sesuai hasil investigasi serta pengecekan langsung di sejumlah perairan Desa Sikara-kara hingga ke Pinggir Pantai Desa Buburan,  ternyata kondisi hutan mangrove dalam lahan konservasi maupun lahan hutan lindung sudah kian kritis, bahkan banyak lahan konservasi hutan bakau beralih fungsi menjadi lahan kebun sawit dimiliki oknum perusahaan kelapa sawit tertentu.

Kebun kelapa sawit setelah ditanam sekitar 150 hektar lebih oleh PT. TBS.

“Kerusakan terparah terdapat di lokasi hutan mangrove sekitar kawasan pantai dan/atau daratan Desa Buburan, di mana hutan mangrove di sana beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit sekitar 100-an hektar,” tegas Mangudut Hutagalung dalam jumpa persnya di Panyabungan (4/4/2022).

Menurut Mengudut, Desa Buburan dan sekitarnya di Kecamatan Natal dapat dikatakan merupakan kawasan bergambut yakni suatu kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama.

“Di samping itu, Desa Buburan pun termasuk juga sempadan pantai yakni merupakan suatu kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, karena Desa Buburan dan sekitarnya termasuk Desa Kunkun, Kecamatan Natal, Kabupaten Madina merupakan suatu kawasan yang berhutan bakau yakni kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan,” katanya.

“Sejak dahulu pantai Desa Sikara-kara, Desa Busuran, Desa Kunkun, Kecamatan Natal hingga Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis (MBG) adalah kawasan hutan mangrove, jadi sejak kapan pemerintah merubah status kawasan hutan mangrove menjadi areal penggunaan lain (APL), itu tidak bisa dirubah. Jangan karena sudah dialih fungsi oleh perusahaan perkebunan kemudian diubah menjadi APL,” tandasnya.

Amrin selaku Kades Sikara-kara, Kecamatan Natal ketika dikonfirmasi langsung di rumahnya membenarkan hutan mangrove di Desa Sikara-kara telah berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit milik PT. TBS (Tri Bahtera Srikandi) Grup Sago Nauli.

“Itu kan merupakan sensasi dari pihak perusahaan sekitar tahun 2012-2013 yang lalu,” katanya.

Kalau kita simak pada Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Hutan Lindung yang mencakup di dalamnya termasuk hutan mangrove, bahwa jelas pada Pasal 13 mengatakan bahwa  perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang menganggu keseltarian fungsi pantai. Sementara di dalam Pasal 14 kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Padahal tindakan itu telah nyata dari perbuatan melawan hukum, terutama UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Dalam UU itu juga telah dijelaskan tentang larangan dan sanksi pidana bagi setiap orang yang mengerjakan, mengusahakan, membawa alat-alat berat, menduduki, merambah, menebang dan merusak kawasan hutan, termasuk hutan bakau dengan ancaman hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun penjara. (UNH)

Related Articles

Latest Articles