Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Guru Besar IPB Ungkap Penyebab Konflik Pertanahan yang Kerap Terjadi

Bogor, Demokratis

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo mengungkapkan penyebab konflik pertanahan atau konflik agraria kerap terjadi di wilayah Indonesia. Jebolan Doktor S3 University of Missouri- Columbia, USA itu pun memberikan solusi dan langkah-langkah agar keluar dari kemelut agraria ini.

“Ada dualisme kelembagaan dalam ekonomi politik pertanahan Indonesia dengan dampak yang luar biasa hingga hari ini dan beberapa dekade yang akan datang,” ungkapnya dalam Pra Orasi Guru Besar IPB pada Kamis, (16/9/2021).

Sudarsono menjelaskan, kehendak untuk melakukan penataan agraria yang lebih adil setelah lepas dari masa penjajahan ditandai dengan lahirnya UU 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA). Hingga hari ini, UUPA belum dapat dijalankan sepenuhnya. Bahkan 2/3 tanah Indonesia tidak tunduk pada UUPA.

Dalam kondisi demikian, katanya, terdapat negara dalam negara yang dicikalbakali oleh terbitnya UU 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan (UUPK). Menurutnya, salah satu dampak paling dahsyat dari dualisme kelembagaan tersebut adalah alokasi tanah di Indonesia yang sangat timpang.

Sebanyak 64% tanah Indonesia dikuasai dan dipergunakan secara eksklusif oleh sektor kehutanan dan sisanya 36% dipergunakan untuk berbagai keperluan.

Di sisi lain, alokasi untuk hutan produksi mencapai 68 juta hektare. Padahal, banyak dari hutan produksi dalam keadaan tidak berhutan. Sementara, sebagai perbandingan, luas sawah beririgasi sebagai penghasil makanan pokok hanya 7 juta hektare.

“Celakanya, kemampuan menghutankan kembali tidak ada tetapi sektor lain tidak dapat menggunakannya. Semboyan yang digunakan kira-kira seperti ini, ‘lebih baik tetap dikuasai sektor kehutanan, meskipun tidak produktif daripada digunakan sektor lain yang memberi kemakmuran lebih besar’,” katanya.

Penguasaan tanah yang begitu dominan, sayangnya, tidak diimbangi dengan kinerja yang memadai, untuk tidak mengatakan sangat tidak memberi harapan kemakmuran.

Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang kurang dari 1%. Angka itu menunjukkan terjadinya inefisiensi pendayagunaan tanah yang sangat luar biasa. Apalagi, sumbangan yang sangat tidak berarti tersebut masih diiringi dengan kecenderungan yang semakin menurun sejak pertengahan dekade 90-an.

“Situasi semacam ini tentu saja harus segera dihentikan agar dampaknya tidak semakin luas dan semakin sulit diatasi, terutama menyakut ketahanan pangan nasional,” jelas guru besar kelahiran 1956 itu.

Pada periode akhir Orde Lama hingga awal Orde Baru, ekonomi Indonesia sangat terpuruk. Pemerintah perlu dana tunai cepat dan segera mendorong investasi.

Ketika itu, kecuali Pulau Jawa, sebagian besar permukaan tanah semua pulau masih ditutupi oleh

hutan alam primer. Kayu dalam hutan sangat berlimpah.

Investasi penambangan kayu meningkat pesat dan negara memperoleh uang tunai dengan cepat. Hutan alam menjadi mesin uang ketika itu. Dengan ilusi hutan alam yang melimpah menjadi mesin uang yang melimpah secara berkelanjutan maka banyak areal diklaim sebagai “kawasan hutan”.

Setiap upaya memperbaiki alokasi tanah demi pembangunan agar lebih efisien selalu menghadapi resistensi yang luar biasa dari kehutanan.

“Inilah penyakit kehutanan. Akibatnya, hutan alam yang dahulu melimpah menjadi sebuah kutukan. Banyak pemukiman dan tanah rakyat yang terperangkap di dalamnya,” beber Prof Sudarsono.

Atas dasar itu, Sudarsono memberikan sejumlah solusi yang perlu diambil pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Sudarsono meminta pemerintah menjadikan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagai kriteria utama penggunaan lahan sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Pemerintah diminta menyusun tata ruang dengan melibatkan semua sektor sebagai keputusan politik negara untuk memilah tanah menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kemudian mengkontestasikan penggunaan tanah pada kawasan budidaya yang memberi kebebasan kepada penggunanya untuk menentukan usahanya, menempatkan urusan tanah pada lembaga non-sektor atau non-teknis dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terbatas mengurus hutan saja.

“Reforma agraria perlu diperluas ke reforma industri pertanian primer agar ada sumber pendapatan baru bagi petani,” paparnya. (Red/Dem)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles