Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Habib Rizieq Shihab dan Fenomena Sosial Politik Kekuasaan

Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD bahwa massa pengikut Habib Rizieq Shihab (HRS) tidak banyak, menjadi fakta sosial politik terbalik. Kepulangan HRS (Selasa, 10/11/2020) mulai dari Bandara Soetta hingga Petamburan Jakarta Pusat tidak bisa dinafikkan dan tak bisa terbantahkan bahwa sambutan terhadap HRS bagaikan lautan manusia. Tentu FPI (Front Pembela Islam) ada bersamanya.

Memang, jika dipersentasikan dengan total penduduk, tidak bisa dikatakan singnifikan sekalipun dengan total muslim yang ada di negeri ini. Sambutan massa yang mengelu-elukan HRS pun tidak bisa dikatakan sebagai representasi umat Islam di negeri ini. Tetapi, paling tidak, HRS adalah bagian dari orang yang ditokohkan. Fenomena itu seharusnya dibaca bukan sebagai ancaman terhadap kekuasaan Istana.

Menko Polhukam melakukan pembacaan atas fenomena sosial tersebut menggunakan perspektif politik kekuasaan yang arena dan relasinya dengan parallel atau linear dengan Istana. Pertanyaannya, mengapa harus mengatakan sedikit massanya? Apakah jika harus mengatakan banyak massanya, secara politis bisa menjadi ancaman (kejatuhan) kekuasaan Jokowi sebagai Presiden?

Dalam (teoritis) perang dingin (urat saraf) bukanlah suatu hal yang mengagetkan. Motifnya adalah bagaimana supaya publik tidak terpengaruh dan atau supaya umat jangan berbondong-bondong menjemput HRS apalagi sampai memunculkan militansi dan pengkultusan umat terhadap HRS.

Fenomena lainnya, kepulangan HRS realitasnya seperti ada kerinduan akan kehadiran seorang pemimpin yang bisa dijadikan panutan atau bisa akan membawa perubahan fundamental di negeri ini. Ada yang mengatakan suasana kekosongan kepemimpinan yang dirindukan tersebut tergambar dalam penyambutan HRS dengan histeria dan yel-yel sebagai orang suci, bagaikan kepulangan seorang pemimpin dari tempat pengasingan yang mendapat suaka politik dari negeri asing untuk membebaskan negerinya dari rezim kekuasaan yang fasis atau otoritarianisme, seperti Ayatullah Khumaeni, Nelson Mandela, Aquino dan yang lainnya. Padahal, tidak seperti itu realitasnya, tetapi kekuasaan terlampau over estimated membaca fenomena sosial politik, sehingga harus menjustifikasi dan menstigmatisasi sebagai tokoh pejuang perlawanan terhadap kelangsungan kekuasaan Istana seperti  Daw Aung Aun San Suu Kyi di Myanmar dikala rezim otoriterianisme militer berkuasa.

Ada dua hal pokok yang menyebabkan HRS (seolah-olah) menjadi kerinduan umat, sekalipun lebih tepatnya adalah bagi kaum FPI (yang sekarang menjadi Front Persatuan Islam, bukan lagi Front Pembela Islam), yaitu: Pertama, selama + 3 tahun 6 bulan di Arab hingga menjelang kepulangannya  dikontroversialkan, terutama dibesar-besarkan secara politis oleh Istana itu sendiri baik langsung maupun tidak langsung, sehingga resonansi pantulan baliknya menjadi efek domina bagi Istana itu sendiri.

Secara langsung resonansi pantulan efek tersebut sesungguhnya dibuat oleh para Kabinetnya dan Tenaga Ahli Utama KSP yang selalu menebar bantahan-bantahan atas isu politis HRS, dan secara tidak langsung adalah para penghamba kekuasaan (para buzzer pun memainkan orkestra tanpa harus dipandu konduktor) baik yang ada dalam lingkaran sumbu kekuasaan Istana maupun di luar lingkaran Istana, dengan berbagai komen di Medsos atau menggunggah video yang meruncingkan HRS secara politis yang berefek domino menjadi besar resonansi politisnya.

Model-model yang menjadi pilihannya tampak seperti serupa model Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat di era rezim Orla), menyerang dan melaporkannya, yang sesungguhnya tengah melakukan serangan terhadap bayang-bayangnya sendiri yang kemudian memantulkan bayangan yang jauh lebih besar perpendarannya. Para penghamba kekuasaan melihatnya dari cermin cembung yang retak, sehingga tidak bisa membaca dan menganalisis dari efek pantulannya yang divergen. Padahal, HRS harus melihatnya dari cermin cekung, sehingga kovergensinya bisa terlihat dengan jelas, tidak melakukan dugaan dalam pemetaannya seperti kita disodorkan atau meraba peta buta dalam geografi pikiran untuk meletakan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari bayang-bayangannya sendiri.

Kedua, HRS ditasbihkan kepulangannya akan membawa misi perubahan yang fundamental dengan slogan, jargon dan retorika politis dan dengan narasi agung yang dibangunnya, yaitu Revolusi. Kata revolusi menjadi viral kontroversial, sehingga kata “revolusi” berubah menjadi “Revolusi Akhlaq” karena ketika hanya kata revolusi saja, ruang politis bisa dimainkan untuk adu sentimen dalam arena publik; dimaknai atau ditafsirkan revolusi dalam pengertian menjatuhkan kekuasaan Istana dengan cara pengambilalihan kekuasaan secara paksa dengan people power dan atau senjata.

HRS dengan FPI-nya terlihat terancam, sehingga menjadi ketakutan dengan tudingan makar. Yang berarti akan berhadap-hadapan dengan senjata atau kekuatan militer atas nama menyelamatkan negara atau menyelamatkan NKRI dari perpecahan bangsa. Maka kemudian kata Revolusi disambungkan dengan kata Akhlaq, untuk bisa menjadi aman dan terhindar dari delik makar secara politis.

Ruang publik dan arena publik sekarang ingin melihat janji Revolusi Akhlaq sang HRS setelah pulang, sekalipun hingga kini malah masih terus-terusan perang dingin dengan Istana, dan kini sekalipun HRS sudah berada dalam tahanan dengan berbagai pasal berlapis yang dijeratkannya. Nah, itulah yang hendak kita lihat dalam fenomena fakta sosial politiknya yang terus menggelitik kita untuk menelisiknya. Benarkah kita tengah Waiting for Godot seperti yang digambarkan dalam cerita dan narasi Samuel Beckett dalam membaca HRS dan FPI?

 

HRS dan FPI

Membaca HRS adalah membaca FPI (Front Pembela Islam, yang kini menjadi Front Persatuan Islam). Itu tidak bisa terbantahkan keniscayaannya. FPI merupakan cerminan dari HRS (karakter dan pandangan teologisnya), replika dari HRS. Ruhnya FPI adalah HRS. FPI dan HRS adalah dua badaniah dalam satu manunggaling jiwa, dengan teologis yang dibangun adalah spirit kaidah atau paham teologis (kaum) khilafah, yang harus dibenagmerahkan dan direlasikan parallel dengan zaman Khulafaurrosyiddin (Abu Bakar Ass-Shiddiq, Umar bin Khottob, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Tholib) setelah sepeninggalannya Muhammad (Rosulullah) bin Abdullah. Terlebih lagi karena HRS selalu dikait-kaitkan sebagai Cucu Rosulullah atau Dzurriyah Rosulullah, dan disematkan pula simbol ke-Islam-an yang agung pada HRS yakni sebagai Imam Besar FPI. Bahkan ada segelintir orang yang mengklaim dirinya sebagai “ulama” yang berupaya dan atau menghendaki HRS harus diakui sebagai Imam Besar Umat Islam.

Fenomena sosial politiknya kini, kata ulama dan atau label ulama harus menjadi keniscayaan untuk didekontruksi, supaya kata ulama dan ulama terjaga dari keluhuran value-nya, logika dan akal warasnya dan atau yang namanya ulama tidak terpolarisasi atau menjadi politisasi. Karena, realitas empiriknya  terjadi terus berulang, yang puncaknya pada Pilpres 2019.

Jika label ulama itu diberikan oleh umatnya itu masih bisa kita pahami dan maklumi, sekalipun itu akhirnya menjadi salah kaprah, yang terjadi sangat membabibuta dan begitu gampangnya melabelkan ulama pada seseorang. Asal seseorang yang bersangkutan bisa baca Al Qur’an dan berceramah atau berkhutbah di masjid, lantas dilabelkan sebagai ulama. Yang mendagangkan ayat atau dagangan ayat juga dilegitimasi sebagai ulama. Padahal, mendagangkan ayat dan atau menukarkan ayat-ayat yang kata Tuhan (Allah SWT) memetaforkannya dengan menukarkan ayat dengan harga murah, atau sedikit, telah dijelaskan dengan sangat banyak dalam ayat dan surat, termasuk ancaman, peringatan dan lainnya, yang kita bisa membuka dan membaca ulang dalam ayat, antara lain, QS Al Baqarah,: 41, 174-175. At-Taubah: 9. Al Maidah: 44. Ali Imran: 187, 196-199.

Yang menyedihkan ketika seseorang itu atau kelompok orang mengklaim dan atau mengidenfikasi dirinya sebagai ulama dan maunya disebut sebagai ulama, sehingga menjadi terpolarisasi dan atau menjadi politisasi kepentingan pragmatis yang selalu dimainkan oleh kekuasaan. Apakah itu kekuasaan dalam struktur negara, pemerintahan maupun kekuasaan dalam kontruks sosial; merebut pengaruh untuk kepentingan politik identitasnya.

Fenomena lainnya secara sosial politik adalah seperti halnya yang diserukan beberapa orang, bahwa HRS adalah Imam Besar Umat Islam Indonesia dan bahkan mempertegasnya dengan beberapa poin antara lain ada 7 poin: (2) Ancaman berupa sniper otomatis yang diarahkan untuk merenggut jiwa beliau tidak digubrisnya sama sekali. (3) Sogokan uang satu triliun agar beliau bungkam tidak diliriknya. (5) Fitnah keji dan pembunuhan karakter yang dialami oleh beliau, dan keluarga tidak mampu menghentikan perjuangan beliau. (7) Dan berbagai cara busuk, licik, dan keji dilakukan dan diarahkan ke beliau dengan harapan agar HRS bungkam dan takut. Selamat datang wahai pejuang kebenaran! Selamat datang wahai ksatria tandang! Selamat datang wahai pembela agama. Selamat datang wahai pembela bangsa. Selamat datang wahai pembela negara. Selamat datang wahai Imam Besar Umat Islam Indonesia. Semoga teks singkat ini dapat dibaca oleh jutaan orang Pengguna WA. BB, Internet …. Selamast ber-dakwah amar ma’tuf nahi minkar… (Semarak.com, 8/11/2020, mantan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As Syafi’iyah Jakarta KH. Tb. Abdurrahman Anwar Al Bantany: 1.000  Kebingungan Cara Rezim Untuk Membungkam Imam Besar Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab).

FPI dideklarasikan secara terbuka di Pondok Pesantren Al-Umm, Tangerang, pada 25 Robi’uts Tsani 1419 Hijriyyah atau tanggal 17 Agustus 1998. FPI dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerjasama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan. Latar belakangnya disebutkan (sebagai klaim) atas: (1) Adanya penderitaan panjang umat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. (2) Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. (3) Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam (fpi.or.id).

Kepulangan HRS juga dikatakan untuk: 1. Memegang kembali tongkat komando perjuangan secara *off line* untuk menghadapi berbagai dinamika terkait keumatan dan ke Indonesiaan. 2. *Mengkonsolidasi Potensi Jamaah* 212 secara kultural dan idiologis. Kelembagaan Struktural ditangani oleh PA 212, yang dalam periode ini dipimpin oleh: Ustadz Slamet Maarif (USM). 3. *Mensinergikan* PA 212-GNPF Ulama dan FPI dengan Ormas Besar seperti Muhammadiyah dan NU beserta Ormas lainnya. Termasuk dengan tokoh-tokoh representatif di tingkat lokal, nasional dan Internasional. 4. Menegaskan Posisi Indonesia dalam Geopolitik Global sebagai negara Muslim yang berdaulat dan memiliki kedudukan *Egaliter* dengan semua negara di Dunia. 5. Menjadikan Indonesia sebagai Negara yang dipandu oleh Syariat Islam, sebagai komponen dan elemen tegaknya: *Khilafah minhaju Nubuwah* dan Indonesia menjadi pelengkap penyempurna. Sehingga peran dan partisipasi Indonesia menjadi signifikan dan fungsional.  (Faktakini.net, Kamis, 5/11/2020, Alfian Tanjung: Hakekat Kepulangan Imam Besar HRS.  Penulis adalah sahabat dan kawan seperjuangan HRS).

Atas situasi dan kondisi politik Jokowi periode ke-2 dalam kekuasaannya, makin menunjukkan fakta fenomena sosial politik yang memanas, yang tidak saja dipicu oleh angin kampus dan atau kaum (oposan) intelektual akademik dan kaum civil society kritis atas berbagai kebijakan mulai dari ekonomi,  politik dan hukum, seperti (R)UU KPK, (R)UU HIP/PIP, (R)UU Minerba, (R)UU Omnibus Law Ciptaker, Kasus Suap Lobster Menteri Kelautan dan Perikanan, Kasus Korupsi Bansos Menteri Mensos,  Kebijakan Covid-19 dan lainnya yang saling bersilangan (para Menteri) kalangan Istana dalam memberikan pernyataan publik untuk menerjemahkan kemauan Presiden dalam ranah ruang publik.

Komunikasi publik hanya berisi bantah membantah, hingga terbacanya gesture tubuh yang tidak singkron dengan mimik dan ekspresinya seperti ketika Presiden marah-marah ke para Menterinya dan hal-hal lainnya, yang oleh publik terbaca sebagai penyembunyian kejujuran atau hanya sekedar drama yang didramatisasikan dalam arena public stage. Belum lagi hoax yang terus diproduksi dan dipelihara, negara disibukan atau hanya menggonta-ganti catatan untuk disampaikan kepada publik (rakyat) seperti yang dikatakan oleh George Orwell dalam novelnya: “1984”, novel ini sebenarnya diterbitklan pada 6/6/1949. Yang dalam fenomena sosial politik, rezim Jokowi sebagai penganut idiologi Orwelian jika dilihat dari perspektif politik bantah membantah dan ke-hoax-an yang diproduksi, atau menyamarkan ketidakbenaran seolah-olah itu merupakan kebenaran yang nyata, seperti yang dikatakan Ignas Kapolsaks dalam A Political Theory of Post-Truth.

Politik Orwellian tersebut ditangkap oleh HRS, maka melahirkan pernyataan sikap bersama, yakni sebagai berikut: 1. Mendukung aksi buruh, mahasiswa dan pelajar dalam memperjuangkan penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) maupun aksi-aksi dalam segala bentuknya baik berupa mogok maupun hak untuk menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul menyuarakan kepentingan rakyat. 2. Menasehati dan meminta rezim beserta seluruh lembaga dan aparat negara untuk menghentikan kezaliman terhadap rakyat sendiri. 3. Segera membebaskan tanpa syarat seluruh demonstran yang ditangkap dan menghentikan penyiksaan terhadap para demonstran yang masih dalam tahanan. 4. Mengajak semua elemen bangsa untuk bangkit berjuang dan menghentikan kezaliman dengan segala daya upaya yang dimiliki dan tidak menyerah terhadap berbagai kekejaman yang dilakukan rezim ini. 5. Mendesak segera dikeluarkan Perppu untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja. 6. Menuntut Presiden untuk menyatakan diri mundur/berhenti sebagai Presiden karena  ketidakmampuan dan tidak kompeten dalam menjalankan roda pemerintahan. 7. Menuntut Partai Partai pendukung pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja untuk segera membubarkan diri karena telah menjadi kepanjangan tangan kepentingan Cukong Aseng dan Asing daripada menjadi penyalur aspirasi rakyat. Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan agar menjadi peringatan bagi rezim dan perhatian bagi segenap rakyat Indonesia. (Pernyataan Sikap Bersama: FPI, GNPF, PA 212 Dan HRS Center Tentang Penolakan UU Ciptaker. Jakarta, 09 Oktober 2020 / 21 Safar 1442 H.Ketua Umum FPI  KH. Ahmad Shobri Lubis, Lc. Ketua Umum GNPF-Ust.Yusuf Muhammad Martak. Ketua Umum PA 212. Ust.Slamet Ma’arif, S.Ag, MM. Direktur HRS Center Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.Mengetahui, Dr. HABIB MUHAMMAD RIZIEQ SHIHAB, Lc. MA, DPMSS).

Pernyataan sikap bersama pada pointer 4, 6 dan 7 menjadi paradoks HRS dalam catatan sejarah dan jejak digital, sehingga mengafirmasi kebenaran gerakannya sebagai pembonceng, yang dalam perspektif politik harus dikatakan sebagai penunggang gelap pada gelombang nasional gerakan Kampus-Mahasiswa dan elemen lainnya (termasuk buruh) pada menolakan (R)UU Omnibus Law Ciptaker yang telah menelan korban dan berdarah-darah dan berbagai penangkapan mahasiswa diberbagai daerah. Sekalipun, dalam ruang demokrasi tersedia untuk itu, apalagi dibalut dengan apologia bahwa kita semua ada dalam kesamaan pandangan, kesamaan pikiran dalam waktu yang bersamaan. Sekalipun, pada kesempatan atau momen lain bisa menjadi penghalang dan atau saling bertabrakan kepentingan dengan apologi yang berbeda yang akan dikedepankan nanti oleh HRS.

Apakah konsistensi itu terjaga atau justru sebaliknya, inkonsistensi. Hal ini bisa kita lakukan pembacaan atas gerak dan sepak terjangnya, dan hal  itupun  akan bisa kita baca dalam catatan sejarah dan jejak digital, yang sesungguhnya. Sehingga, kita bisa untuk menakar dan menjawab atas pertanyaan, apakah HRS berada dalam lingkaran oposan politik (oponturir, bunglon) ataukah oposan intelektual akademik?

Konsistensi menjadi catatan penting untuk membaca gerak langkah ketokohan seseorang, tanpa kecuali adalah ketokohannya HRS, sehingga bisa untuk melakukan pembacaan fenomena sosial politik, akan berpengaruh secara signifikankah terhadap (opini) publik dan kepercayaan publik. Karena, setelah gerakan reformasi, yang kini tampak dengan kasat mata adalah adanya fenomena krisis ketokohan yang bisa diharapkan membawa perubahan bagi negeri ini, sehingga sesungguhnya Godot itu akan datangkah secara nyata dalam kehidupan sosial politik di negeri ini ataukah itu hanya meng-ada dalam dunia imajinasi saja. Bukankah hal yang kita lihat sekarang ini adalah tidak sebatas perkara utopian  semata, melainkan hal itu menjadi utopis di negeri ini. Sungguh mengerikan jika seperti itu. Ataukah kita harus menjadi Sisifus dan Danawa seperti dalam mitologi Yunani?

Untuk melengkapi catatan sejarah dan jejak digital, HRS pada mulanya oleh sebagian publik dianggap sebagai intelektual Islam, karena sempat mengenyam pendidikan di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab), kemudian melanjutkan pendidikan di jurusan Dirasah Islamiyah, Fakultas Tarbiyah, King Saud University Arab Saudi.

HRS sempat pulang dan pada tahun 1992 menjadi mubalih di Jakarta. Kemudian, melanjutkan studi di Universitas Antar Bangsa Malaysia, namun tidak selesai, katanya, karena permasalahan biaya, akhirnya HRS pulang lagi dan diangkat menjadi Kepala Madrasah Aliyah Jami’at Khair pada 1994. Di Jami’at Khair kiprahnya sebagai mubalig yang keras mengkritik segala perilaku maksiat dan kemungkaran zamanya Gubernur DKI Sutiyoso. Trademarknya “anti kemaksiatan” menjadi simbol reputasi HRS, sekaligus kemudian membantunya mendirikan FPI.

Stempel Imam Besar FPI disandangnya sejak Musyawarah Nasional FPI III pada 2013. FPI sekarang dipimpin oleh K.H. Ahmad Shabri Lubis, Wakil Ketua Umum K.H. Jafar Shidiq. HRS konon saat ini lebih banyak berada di Bogor  mengurus Pesantren Agrokultural Markaz Syariah Mega Mendung yang didirikannya. HRS terus bicara, sekalipun dalam penjara. Sejarah dan waktu pula yang akan bica dikemudian hari.

 

Penomena Pengkultusan

Jika kita melakukan pembacaannya dari beberapa spanduk, baligho, berceramah dan video yang diunggah, dan kehisteriaan menyambut kepulangan HRS   memunculkan sinyal fenomena pengkultusan terhadap sosok HRS. Secara semiotika, “tanda” dan “penanda” kemunculan fenomena pengkultusan tersebut bisa kita baca, seperti, kami siap mengawal, patuh dan taat kepada Imam Besar HRS. Bahkan dikatakan FPI (Front Pembela Islam) adalah umat terbaik (UAS dalam vidionya: Pesan UAS Ke FPI, kalian adalah Umat Terbaik). Oleh sebab itu, HRS tidak bisa dipisahkan dengan FPI dan FPI merupakan kesatuan jiwa dan ruhnya adalah HRS, atau FPI merupakan wujud dan maujudnya HRS.  Sehingga, jika kita bicara Islam, maka Islam yang berdasarkan tafsir dan pemahaman teologis  HRS.

Secara sosiologi kultural dan politik lahirnya pengkultusan tersebut bukanlah hal yang aneh dan tak perlu diherankan atau dinaifkan, karena itu fakta sosial politiknya yang tak bisa terbantahkan lagi. Setiap orang yang oleh kaumnya dianggap sebagai orang shaleh dan atau orang yang disucikan, maka, mau tidak mau, disadari atau tidak, pengkultusan individu itu terjadi, lahir dan tumbuh semerbak mewangi. HRS secara sosiologi politik dan psikologis kaumnya berada dalam pusaran ini. Terlebih jika HRS itu disimbolkan sebagai tokoh perlawanan terhadap kekuasan yang juga dikait-kaitkan sebagai dzurriyah Rosulullah yang harus disucikan sebagai orang suci.  Siapa yang mencemooh, berarti menghina Cucu Rosulullah. Siapa yang tidak menghomatinya, berarti tidak menghormati Rosulullah, sebagai “harga mati.”

Dalam konteks ini, HRS harus dilakukan dalam pembacaan perspektif politis seperti itu. Sekalipun, dalam perspektif  yang satu dengan perspektif  lainnya bisa saling bertabrakan. Bahkan sama sekali tidak bersinggungan.  Tetapi, karena relasi sebab akibat yang harus diabaikan dalam perspektif yang bertabrakan, maka relasi sebab akibat tersebut yang menjadikan pengkultusan terhadap HRS, sekalipun dinyinyirkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD, bahwa HRS bukan orang suci. Padahal dalam teks pembacaan politisnya harus dibaca dan atau dipahami sebagai orang yang disucikan, paling tidak bagi kaumnya, yaitu FPI dengan stempel abadi yang melekat pada dirinya adalah sebagai Imam Besar FPI, sebagai Imam Besar disandang HRS sejak Musyawarah nasional FPI III, tahun 2013.

Relasi sebab akibat yang memperkokoh sebagai orang suci juga karena disepakati bahwa HRS adalah sebagai Cucu (dzurriyah) Rosulullah, sehingga akan menjadi politis dan politisasi jika kemudian dinyinyirkan, karena akan ditafsiri mengiha (turunan) Rosulullah atau menistakan Islam, agama rohmatan lil’alamin yang dibawa Muhammad Rosulullah. HRS sebagai khalifatullah fil ardh, sesungguhnya tidak berelasi dengan sebab akibat khilafah dalam kekhilafahan seperti dalam konteks sejarah Islam periode Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khottob, Utsman bin Afan dan Ali bin Abi Thalib (Khulafaurrasyidin).

Jika HRS tidak ingin dikultuskan, tentu akan mengatakan pada kaumnya, tetapi jika HRS merasa bangga dan terhormat, tentu akan membiarkan pengkultusan pada dirinya. Bila perlu, juga dideklarasikan, ada kebulatan tekad dan kebulatan pernyataan sikap. Secara tidak langsung hal itu sudah tak terbantahkan.

Dibanyak poster atau baligho besar memang tertulis Imam Besar HRS di bawah gambar dirinya.  Secara politis menjadi poin resonansi tersendiri dalam kalkulasi politik praktis kekuasaan yang kini kerapkali menjadi daya kejut terhadap kekuasaan Istana (Presiden Jokowi).

Jika HRS mau meneladani Rosulullah, maka akan mengatakan, wahai kaumku janganlah mengkultuskan diriku karena aku adalah hamba Allah SWT sebagaimana orang-orang yang terhadahulu sebelumku. Perlu kita stabilo, bahwa sholawat yang kita ucapkan tidak bisa dimaknai atau ditafsirkan sebagai pengkultusan terhadap Rosulullah, karena teks dan tekstual sholawat tersebut itu Allah SWT sendiri yang mentekstualkannya.

Ada potensi bencana jika kita melakukan pengkultusan terhadap individu atau seseorang, karena yang kita kultuskan itu adalah manusia biasa yang sepanjang hayat kemaksumannya tidak akan terjaga, sebagai manusia tidak sempurna.  Kita tidak bisa mensederajatkan dengan Rosulullah, dimana kemaksumannya senantiasa terjaga, sehingga semasa kenabian dan kerasulanNya terjaga, setiap tindakan, ucapan dan keputusan yang salah atau keliru selalu diluruskan lansung oleh Allah dengan turunnya ayat lagi, sebagai salah satu contoh adalah turunnya ayat 84 Surah At-Taubah sekalipun mekanismenya karena teguran Umar bin Khottob. Begitu juga turunnya ayat 67 QS Al-Anfal, yang membenarkan Umar bin Khottob. Ada sekitar 20 ayat yang diturunkan Allah SWT atas peran Umar bin Khottob sebagai sahabat sejati Rosulullah, karena ada sikap, ucapan, tindakan dan keputusan yang menurut Umar bin Khotob, apa yang dilakukan Rosulullah itu keliru, dan kemudian Allah SWT menurunkan ayat untuk membenarkan pendapat Umar bin Khotob. Itu sebagai bukti bahwa Rosulullah terjaga dari kemaksumanNya.

Lantas bagaimana dengan kita? Tentu adalah orang yang sejati dengan kebaikan dan kebenaran sebagai pemberi peringatan agar kita tidak tergelincir pada kekeliruan, kesalahan dan ketidakbenaran. Bercermin dengan  air, sehingga kita bisa melihat diri kita dan kedalaman diri kita sendiri atas bayangan kita yang tercermin dalam air tersebut.

 

Dzurriyah Rosulullah

Fenomena pengkulutasn terhadap HRS semakin menguat. Hal utamanya karena dikait-kaitkan dengan dzurriyah Rosulullah, yang mengklaim sebagai Cucu Muhammad Rosulullah, sehingga menjadi amat sensitif dan rentan jika kita mempersoalkan gugatan nasab yang menurut Islam bahwa nasab mengalir linear dari (DNA) bapaknya, dalam hal ini Ali bin Abi Tholib, bukan dari pihak ibu (perempuan). Seperti halnya Hasan dan Husein itu adalah Cucu Rosulullah itu benar, tetapi dalam garis nasab Islam Hasan dan Huesin itu bin Ali bin Abi Tholib, bukan Hasan dan Husein binti Fatimah binti Rosulli seperti teks dalam lantunan puji-pujian menunggu waktu untuk sholat berjamaah.

Teks nasab itu sangatlah jelas pada Islam, dimana wali nikah untuk perempuan adalah Bapak Kandung si Perempuan, bukan yang menjadi wali nikah adalah Ibu yang melahirkannya. Tetapi, jika kita bicara DNA (Deoxybribonucleic Asid), sejenis asam nukleat yang tergolong biomolekul utama menyimpan intruksi genetika setiap organisme dan beberapa virus. DNA juga menentukan sifat organisme yang diturunkan, dan DNA mengode informasi genetik untuk transmisi sifat-sifat bawaan, maka, DNA bisa untuk menandai garis keturunan yang berasal dari ibunya, tetapi, sekali lagi, yang dimaksudkan dalam definisi nasab adalah dari pihak bapaknya, orang tua laki-laki.

Ada organisasi, tepatnya lembaga yang mempunyai otoritas untuk menentukan legitimasi kedzurriyahan Rosulullah, yaitu Rabithah Alawiyah, yang dalam pernyataan resmi yang diunggah dalam vidionya menjelaskan bahwa untuk menguji kebenaran apakah itu merupakan turunan dan atau cucu Rosulullah adalah dengan membawa dokumen KTP, KK dan sejarah hirarki keturunan hingga 5 ke atas. Jika itu bisa dibuktikan dan dianggap benar, maka dilegalisasi dan dilegitimasi sebagai dzurriyah Rosulullah atau jika kita merujuk HRS, disebut sebagai Cucu Rosulullah.

Penyebutan Cucu  sesungguhnya terminologi dan atau dikotomi penasaban yang rancu, karena dalam genetika, dalam sebuah perkawinan (Laki-laki, akan menjadi Bapak dan Perempuan, akan menjadi Ibu), anak yang dilahirkan disebut keturunan ke-1 atau F1 (Filial-1). Keturunan dari anaknya anak atau F2 disebut Cucu, artinya, bapaknya bapak dari yang disebut Cucu, kemudian disebut Cicit dan seterusnya. Kerancuan ini tak perlu diperdebatkan, karena kita hanya bicara persoalan genetika atau DNA sebagai pelacak jejak keturunan. Tidak membicarakan kebenaran akan pertautan DNA yang disebut atau dikatakan sebagai Cucu Rosulullah. Kita sekedar melihat adanya kerancuan pendikotomian sebutan Cucu saja.

Alasan lain, karena banyaknya versi sejarah pada peristiwa Padang Karbala. Ada versi yang mengatakan bahwa pada 10 Muharam 61 Hijriyah atau 10 Oktober 680 Masehi, 4.000 pasukan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash menyerbu rombongan Husein (Cucu Rosulullah) yang hanya berkekuatan 72 orang yang terdiri dari 32 orang prajurit berkuda dan 40 orang pejalan kaki dan selebihnya terdiri dari anak-anak dan perempuan dari semua garis keturunan Rosulullah itu terbunuh semua, sekalipun ada versi yang mengatakan  70 orang pihak Husein melawan 5.000 pasukan. Dari 70 itu terdiri dari 40 pasukan Husein dan 30 adalah keluarga dari Rosulullah, yaitu anak Husein, anak-anak dari pamannya, yang semua meninggal dengan cara dibantai dengan brutal.

Ada versi lain (bisa dilihat dari bnyak versi video yang diunggah yang settingnya film, dan ceramah para ustadz yang diienternetkan) yang mengatakan  pengikut Husein dan semua keluarganya dalam peristiwa Padang Karbala tersebut terbunuh semua, tak ada yang hidup. Mengapa terbunuh semua, karena ada versi lain yang menjelaskan, bahwa takdir Allah SWT tersebut agar umat dikemudian hari tidak ada yang ngaku-ngaku atau mengklaim sebagai keturunan dan atau sebagai Cucu dari  Rosulullah, untuk tidak mengatasnamakan Rosulullah yang akan menimbulkan pengkultusan individu atas nama keturunan Rosulullah.

 

Catatan Sejarah dan Jejak Digital

Ingatan kolektif dalam catatan sejarah dan jejak digital dalam pergerakan tidak bisa dihapus begitu saja. Catatan sejarah dan jejak digital kapan saja dan di mana saja bisa kita buka kembali dan bisa kita baca kembali. Di sinilah oleh kebanyakan kita tak pernah disadari keberadaannya. Seolah-olah ingatan kolektif tersebut bisa begitu saja dikuburkan atau ditenggelamkan dalam lautan lepas, seperti juga halnya HRS.

HRS dengan FPInya menorehkan catatan sejarah dan jejak digital yang tak akan lekang dalam ingatan kolektif. Memperbincangkan HRS berarti di dalamnya adalah membicarakan FPI, dan memperbincangkan FPI berarti cerminan dan atau potret dari literatur dan literasi HRS. Suka tidak suka, disadari atau tidak, itulah catatan sejarah dan jejak digital sebagai sksi bisu.

ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 2000 menerbitkan buku Premanisme Politik. Buku tersebut adalah hasil  risetnya, menyebutkan pembentukan FPI tidak dapat dipisahkan dalam tiga peristiwa, yaitu, Kerusuhan Ketapang-Nopember 1998, Sidang Istimewa MPR, dan pembentukan organ paramiliter Pengamanan (Pam) Swakarsa.

ISAI menyebut FPI terlibat dalam kerusuhan Ketapang Jakarta Pusat, karena preman Ambon dianggap  membekengi perjudian. Dalam kerusuhan Ketapang terjadi juga pembunuhan.  FPI aktif dalam penggalangan PAM Swakarsa jelang Sidang Istimewa MPR 10-13 Nopember 1998 untuk kepentingan politik praktis BJ. Habibie menjadi Presiden setelah lengsenya Soeharto.

Dukungan FPI kepada aktor-aktor politik terlihat saat FPI masuk ke dalam unsur-unsur milisi sipil yang dimobilisasi untuk mendukung presiden B.J Habibie menjelang Sidang Umum MPR pada tanggal 14-21 Oktober 1999. FPI bergabung dengan ormas-ormas Islam seperti KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan lain sebagainya untuk mendukung presiden B.J. Habibie yang dianggap memiliki kesamaan ideologis.

Mengamankan Sidang Umum MPR pada Oktober 1999, membantu aparat membendung demonstrasi mahasiswa yang menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). FPI bernaung dalam Pam Swakarsa, sebuah organ paramiliter yang dibentuk militer untuk membendung aksi demonstrasi mahasiswa. (tirto.id, 4 Nopember 2020: FPI Dalam Lintasan sejarah.Reporter: Putu Agung Nara Indra. Penulis: Putu Agung Nara Indra. Editor: Maulida Sri Handayani).

HRS (FPI) menjalin kedekatan dengan tokoh penting dalam politik dan militer. Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean dalam Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia ke Nigeria (2004), mencatat FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekitar Soeharto, khususnya Prabowo Subianto yang merupakan menantunya sekaligus seorang perwira tinggi militer pada tahun 1998. Setelah Prabowo diberhentikan dari TNI terkait penculikan aktivis, FPI mengalihkan dukungannya kepada Jenderal Wiranto.
Dukungan FPI terhadap Wiranto terlihat dalam aksi ratusan milisi FPI ketika menyatroni kantor Komnas HAM untuk memprotes pemeriksaan terhadap Jenderal Wiranto dalam kasus Mei 1998. Kedekatan dengan ABRI/TNI terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukan FPI melawan mahasiswa penentang RUU Keadaan Darurat/RUU PKB yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada tanggal 24 Oktober 1999. Tokoh penting yang diduga turut memberikan dukungan terhadap FPI adalah Kapolda Metro Jaya tahun 1998-1999 Mayjen (Pol) Nugroho Djayoesman dan Pangdam Jaya (selanjutnya diangkat menjadi Pangkostrad) Mayjen TNI Djaja Suparman.

FPI juga kerap mengadakan pertemuan informal dengan para petinggi militer, seperti yang pernah dilakukan dengan Mayjen Djaja Suparman di Hotel Milenium Jakarta, menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999. Para petinggi militer dan kepolisian, khususnya di tingkat Daerah Khusus Ibukota Jakarta, beberapa kali menghadiri apel siaga yang dilakukan FPI maupun ormas-ormas lain yang menyandang nama “PAM Swakarsa”. Dukungan FPI terhadap figur politik nasional juga ditunjukkan saat pemilu 2004. FPI kembali mendukung Wiranto sebagai calon presiden bahkan mengirimkan dai-dai ke daerah-daerah untuk mendiskreditkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pesaing terberat Wiranto (Ibid).

Catatan sejarah dan jejak digital HRS hingga tahun 2017 adalah dalam lingkaran peta maksiat dan penistaan agama. Di mana maksiat hanya dimaknai atau ditafsiri dan didefinisikan terbatas pada kubangan tempat seperti kelab malam, panti pijat, bar, diskotek (selama bulan puasa), di mana HRS sukses memaksa Gubernur DKI Sutiyoso menarik kembali kebijakannya mengenai jam operasi tempat-tempat maksiat tersebut.

Persoalan merajalelanya korupsi. Investor-investor oligar dan oligarki-oligarki kekuasaan sama sekali tidak diteriakan dan tidak diceramahkan, dan tidak menjadi kepedulian HRS. Menjadi paradoks dengan apa yang ada dalam deklarasi pendirian FPI, jika kita tarik ke atasnya, karena itu penting untuk bisa menjawab atas pertanyaan, apakah HRS dengan FPInya itu oposan politik atau oposan intelektual akademik? Apakah HRS dengan FPInya itu konisten ataukah inkonsistensi, bergantung musim dan angina yang menderu dan arus yang menderas dalam pusaran iklim politik pragmatis. Sama sekali bukan politik idiologis seperti ketika berapologi dukungannya ke BJ. Habibie untuk menjadi Presiden setelah Soeharto dilengserkan oleh tiupan angina Kampus dan oposan intelektual akademik.

Pilkada DKI 2017 yang gegap gempita dengan tafsir soal QS. Al Maidah: 51, dimana FPI mengawal fatwa MUI yang terkenal dengan GNPF (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa) MUI, sukses memenjarakan Ahok (Basuki Cahaya Purnama). Yang secara politis melahirkan 212, 411 dan seterusnya,  yang kemudian mempunyai resonansi politis yang dianggap sebagai ancaman bagi politik kekuasaan Jokowi sebagai Presiden .

Kembali jejaknya terekam dan tercatat dalam sejarah dan jejak digital (dimana internet sering dicaci dan dimaki dan diharam-haramkan oleh sebagian umat yang mengklaim sebagai Ulama), HRS dalam Pilpres 2019 melakukan dukungan politik untuk kepentingan politik praktis pasangan Capres Prabowo Subianto-Cawapres Sandiaga Uno. HRS menggalang dan memobilisasi kekuatan politik praktis yang pragmatis dengan melahirkan Ijtima Ulama dalam melawan pasangan Capres Jokowi-Cawapres Ma’ruf Amin.

Dukungannya tersingkir, dan HRS tampak kecewa karena Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno malah merapat ke Istana dan diberi jatah kue kenikmatan kekuasaan di Kabinet Jokowi. Mukul karet. Menendang pinalti membentur tiang gawang dan mental menyentuh tangannya sendiri dan tetap ditendangnya ke gawang, handball yang disengaja, dan kartu merah pun didapatnya. .

Oposan Politik

Kita harus membedakan apa yang disebut dengan oposan politik dan apa yang disebut dengan oposan intelektual akademik. Keduanya jelas berbeda dan bersilangan pada endingnya. Oposan politik pencapaian targetnya sebagai ending gerakan adalah kekuasaan atau merebut kekuasaan dan atau bisa berada dalam kekuasaan.

Sedangkan oposan intelektual akademik endinya adalah bagaimana menjaga Negara harus tetap ajeg berdasarkan kedaulatan di tangan rakyat atau demokrasi dan HAM, sehingga kebijakan Presiden pemegang kekuasaan harus dikawal agar jangan sampai melenceng dan atau tidak peduli dengan segenap tumpah darah, melainkan kebijakannya hanya demi kekuasaan itu sendiri. Oposan intelektual akademik tidak mempunyai target politik merebut kue kekuasaan dan atau ingin berada dalam lingkaran kekuasaan.

Catatan sejarah dan jejak digital HRS  menandai pembacaan kita, dan kita sudah bisa memberikan kesimpulan hingga kini, bahwa HRS adalah oposan politik. Hal itu bukan suatu keanifan, bahkan itu menjadi keniscayaan atas sepak terjang HRS berdasarkan catatan sejarah dan jejak digital. Sekalipun dalam catatan sejarah dan jejak digital tersebut HRS tidak menampakkan dirinya ingin mendapatkan kue kekuasaan dalam sumbu-sumbu kekuasaan Istana waktu itu. Tetapi, dalam fakta sosial politik kekuasaan, tidak bisa terbantahkan lagi, bahwa HRS memainkan permainan papan catur politik dan berada dalam kubangan politik praktis yang fragmatis, yaitu dari Soeharto-BJ. Habibie, Prabowo Subianto, Wiranto, dan turut serta menghadang gerakan Kampus-Mahasiswa yang menolak RUU PKB (Penanggulangan Keadaan Bahaya).

HRS dalam catatan sejarah dan jejak digitalnya memberikan catatan hingga saat ini, bahwa HRS dan FPI  sebagai alat politik kekuasaan, bukan turut serta mengontrol kekuasaan agar tidak tergelincir dalam kekuasaan yang otoritarianisme, diktatorisme, otokrasisme atau fasisme dan atau mema’rufkan kemunkaran dalam kekuasaan untuk menyelamatkan Negara dan kekuasaan Presiden pada relnya; demokrasi dan HAM, dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya, tidak dikendalikan oleh para oligarki ekonomi dan kekuasaan yang hanya menguras perut bumi negeri ini.

Seharusnya, dalam catatan sejarah dan jejak digitalnya tersebut mengidentifikasi dan mengarfirmasi kebenarannya melakukan pembelaan terhadap Negara untuk melawan atau beroposisi dengan kekuasaan (rezim yang berkuasa). Hal itu tidak dilakukan oleh HRS dan FPI. Padahal, Negara saja dalam situasi dan kondisi tertentu menjadi oposan pemerintah, jika negara melihat kekuasaan Presiden telah nyata-nyata tidak mengemban amanat Negara.

HRS sebagai oposan politik, hal itu  jika membacanya atas fakta sosial dan fenomena sosial politik kekuasaan atas lautan manusia yang menyambut kepulangannya dengan slogan dan jargon politik Revolusi Akhlaq. Memang  itu fakta realitasnya, Istana melakukan pembacaannya dengan kaca mata politik kekuasaan, sehingga bisa ditafsirkan menjadi ancaman terhadap kekuasaan Istana dan ancaman bagi PDIP dalam konstelasi politik Pilpres 2024.

Dalam narasi agungnya Revolusi Akhlaq, HRS dalam uanggahan vidionya menyerukan pengambilalihan kekuasaan Istana secara paksa, bahkan dengan sangat berapi-api mengatakan (krang lebih): “Kita  usir Jokodok dari Istana. Kita ambil alih kekuasaan Istana. Allah hu Akbar, takbir! Membakar rumput kering tersebut, dimaknai oleh Istana sebagai ancaman atas kekuasaannya. Maka, HRS dinanti saat keplestnya, emosional yang tak terkendali. Dipasang atau dibuatlah jebakan batman, ranjau-ranjau di kehijauan oase demokrasi dan HAM dan jarring laba-laba untuk menunggu langkah dan derapnya kepleset atau tergelincir, dan itu ternyata ampuh dan efektif. Sehingga, kini HRS berada dalam tahanan. Efek dari pengkulutsan individu tersebut, orang-orang terdekatnya tidak mengingatkan atas kealpaan dan atau ketidaksempurnaan logika dan akal warasnya. Terjebak pada ketokohan yang ditasbihkan menjadi orang suci dan Cucu Rosulullah. Tak  ada yang namanya Umar bin Khottob di samping HRS. Padahal, kemaksumannya pasti tidak akan terjaga.

Membaca catatan sejarah dan jejak digital, HRS bisa dijadikan dan atau menjadi alat politik kekuasaan untuk berebut kekuasaan dalam Istana dengan klaim politik identitas ke-islaman-nya. Yang keniscayaannya telah dibuktikan dengan lautan manusia pada Selasa, 10 Nopember 2020 yang membuat Istana bisa dikatakan kepanikan, karena memakai kaca mata politik kekuasaan yang menenggelamkan demokrasi, sehingga tergelincir dalam lumpur simbol-simbol politik identitas baik yang dibangun oleh HRS maupun politik identitas Istana yang dibangun oleh Jokowi sebagai Presiden dangan partai politik di belakangnya, yang disebut sebagai kekuatan oligarki politik, dan sosial ekonomi.

Oposan politik (oponturir, bunglon) mempunyai motif untuk melakukan penguatan atau dukungan praktis untuk kepentingan pragmatis politik tertentu untuk merebut atau berebut kekuasaan baik melalui mekanisme elektoral maupun gerakan apa yang dikatakan oleh HRS sendiri yaitu gerakan people power. Gerakan people power bisa dimaknai inskontitusional dan bisa juga dikatakan  konstitusional, seperti lengsernya rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 itu tidak bisa dikatakan inkonstitusional, begitu juga lengsernya rezim Orla Soekarno 1966 dengan gerakan people power, terutama kampus, tidak bisa dikatakan inkonstitusional.

Pada gelombang reformasi 1998, HRS turut serta menghadang gerakan Kampus-Mahasiswa yang dinamakan Gerakan Reformasi, dan HRS dengan FPInya menyokong penuh (tanpa reserve) tegaknya status quo rezim penguasa Orde Baru. Catatan sejarah dan jejak digital itu bisa kita jadikan fakta konkret sebagai argumentasi pokok, mengapa HRS disebut sebagai oposan politik.

HRS dalam catatan sejarah dan jejak digital memposisikan dirinya sebagai oposan politik (oponturir, bunglon)  yang tak terbantahkan lagi keniscayaannya. Dengan pendekatan semiotika, bisa kita baca dengan  sejumlah tanda dan penanda yang tak terbantahkan, yaitu, pertama, menjelang Sidang Umum MPR 1998 dan pada saat Sidang Istimewa MPR 1999 melakukan mobilisasi politis untuk menjadikan BJ. Habibie sebagai Presiden. Padahal, tanpa gerakan dan mobilisasi politik praktis pun, BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden pastilah dilantik menjadi Presiden menggantikan Soeharto yang dilengserkan dalam gelombang gerakan reformasi yang bertiup dari kawah candradimuka kaum akademik dan atau kaum intelektual akademik. Gayung pun bersambut, rakyat menyeru dan berseru dalam satu kesatuan tujuan dan makna.

Kedua, Melakukan penggalangan dan mobilisasi menghadang gerakan mahasiswa dalam menolak RUU PKB (Penanggulangan Keadaan Bahaya). Artinya, HRS tidak sejalan atau sangat bersebrangan atau bertabrakan kepentingan politisnya dengan missi gerakan mahasiswa yang dibangun untuk melakukan koreksi dan atau meluruskan arah kebijakan kekuasaan untuk melindungi segenap tumpah darah sebagai amanat Negara.

Ketiga, Menggalang kekuatan politik praktis dengan PAM Swakarsa untuk menghadang dan membendung gerakan oposan intelektual akademik. Artinya, pilihan HRS adalah pro rezim penguasa (status quo) agar kekuasaan tidak jatuh di tengah jalan. HRS tidak mempedulikan kehancuran Negara. HRS tidak mempedulikan penyerbuan dan pendudukan kampus ITB (Institut Teknologi Bandung) pada penghujung tahun 1979 yang berakhir  dengan pembantaian terhadap para Mahasiswa, ada yang meninggal, luka parah, patah tulang dan lainnya ketika menolak pembrangusan berpikir intelektual akademik terhadap rezim Orba Soeharto. Padahal, HRS jika mau menyelamatkan Negara bisa menjaga kenyerian sejarah hitam dengan membaca ulang buku pledoinya Sukmadji Indro Tjahjono, Care Taker Presidium DM ITB, Pembelaan Dimuka Pengadilan Mahasiswa Agustus-September 1979 yang berjudul: Indonesia Di bawah Sepatu Lars. Tidak hanya di kampus ITB tetapi kampus-kampus lainnya juga mengalami hal yang serupa. Korban nyawa dan pelenyapan nyawa terjadi dibanyak tempat dan daerah. Hal tersebut dilupakan oleh HRS dengan FPInya.

HRS seharusnya bisa belajar juga dari sejarah (jangan melupakan sejarah, Jas Merah) konfrontasi kebudayaan dan politik antara LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat-PKI) yang menyokong total kebijakan politik Soekarno dan sebaliknya, Soekarno pun menyokong penuh gerakan apa yang dilakukan oleh LEKRA  untuk membrangus pikiran-pikiran universal Manifes Kebudayaan yang mendukung Negara untuk beroposisi dengan kekuasaan pemeritahan Presiden Soekarno, saat itu bersama-sama dengan gerakan kampus dan atau intlektual akademik.

Korban berjatuhan di mana-mana. Sejarah tersebut berulang pada gelombang reformasi yang sebelumnya banyak pelenyapan nyawa, penculikan, pembrangusan berpikir dan seterusnya, bahkan sampai kini masih ada 13 orang aktivis yang belum diketemukan jejaknya dalam cacatan sejarah hitam di KontraS, dan HRS dalam ceramahnya, dalam video yang diunggahnya, dalam pertemuan-pertemuan akbar dengan pengikut-pengikut FPInya yang ada dibelbagai daerah juga tidak mempedulikannya, tidak pernah membicarakannya. Tidak pernah mengutuk-ngutuk kekuasaan saat itu.

Keempat, Dukungan FPI terhadap Wiranto terlihat dalam aksi ratusan milisi FPI ketika menyatroni kantor Komnas HAM untuk memprotes pemeriksaan terhadap Jenderal Wiranto dalam kasus Mei 1998. Hal ini mengafirmasi kebenarannya bahwa HRS dan atau FPI menjadi oposan politik. Artinya, bukan mejaga NKRI harus selamat sebagai Negara, tetapi lebih memilih menyelamatkan kekuasaan politik pragmatis figur yang didukungnya. Pilihan tersebut, tentu bukan tanpa kesadaran penuh, melainkan dilakukan dengan kesadaran penuh dengan mengkalkulasi untung ruginya, baik secara politik maupun sosial dalam persoalan public trust. Sebagai bunglon, tentu akan  bisa menyesuaikan diri dengan iklim politik kekuasaan, dengan siapa bisa membangun atau bersinergi untuk kepentingan politiknya. Mengesampingkan kepentingan Negara yang paling prinsipil sekalipun.

Kelima, Melakukan dukungan politik kepentingan untuk Prabowo Subianto, yang kemudian juga melakukan dukungan politik praktis untuk kepentingan politik pragmatis Jendral Wiranto dalam kontestasi politik Pilpres 2004 melawan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dengan mempolitisasi agama melalui para Da’i untuk kepentingan pilitik pragmatisnya. Berperan sebagai pembawa missi propaganda, padahal itu merupakan tradisi dan budaya kiri (baca: komunis). Seharusnya, HRS ambil bagian dalam proses pencerahan umat dan politik. Bukan berkubang dalam lumpur.

Keenam, HRS mengulang catatan sejarah dan jejak digital setelah sukses memperkeruh kondisi politik pada Pilgub DKI 2017, dan mengulang melakukan gerakan politik praktis atau kepentingan politik dalam Pilpres 2019 yang melahirkan Ijtima Ulama dan memobilisasinya untuk kepentingan pragmatis kekuasaan pasangan Prawobo Subianto- Sandiaga Uno melawan Jokowi-Ma’ruf. Tentu dalil yang dipakai dan dikedepankan sebagai argumentasi pokok adalah bahwa “Islam itu adalah siyasah.”

Ketujuh, HRS tiba-tiba sejalan dengan gelombang nasional gerakan mahasiswa dan buruh dan kaum oposan intelektual akademik dan atau kaum intelektual civil society yang menolak (R)UU HIP/BIP dan (R)UU Omnibus Law Ciptaker 2020. Adapun argumentasinya adalah karena ada kesamaan missi atau kepentingan yang sejalan dengan gerakan mahasiswa yang menolak Omnibus Law produk rezim kekuasaan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin.  Maka, fakta sosial politik tersebut bisa kita baca secara gamblang, bahwa itu semua merupakan budaya politik oponturir, bunglon atau oposan politik.

Kedelapan, HRS dalam kiprahnya, dalam gerakan yang dibangun (FPI) tidak pernah terdengar gerak dan resonansi kegelisahannya, empatinya dan kenyeriannya terhadap Payung Hitam Kamisan di depan Istana yang sudah bertahun-tahun tak dipedulikan oleh Istana dari Presiden ke Presiden. Justru HRS menjadi pagar betis yang menghadang ketika kita mendorong penyelesaian hukum terhadap pelanggaran HAM atas peristiwa reformasi 1998; Semanggi I, II dan Trisakti, yang secara ekstrim bisa kita katakan sebagai Herder politik kepentingan kekuasaan.

Kesembilan, Tidak terdengar teriakan HRS atau jeritan atas pelanggaran HAM (berat) atau atas kebrutalan kekuasaan sejak rezim Soekarno, Soeharto hingga rezim Jokowi sebelum tewasnya 6 Laskar FPI pada peristiwa Km 50 Jalan Tol (7/12/2020), dan baru sekarang berteriak lantang dan menjerit, yang oleh sebab akibat tewasnya 6 Laskar FPI yang ditasbiskan menjadi syuhada yang dijamin akan bersama bidadari di surga, yang kasusnya hingga kini belum terungkap kepastian kebenarannya, sehingga secara kemanusiaan untuk menguji kebenaran atas kebrutalan kekuasaan haruslah digelar di Pengadilan HAM Internasional. Karena, baik Kepolisian maupun FPI saling tuding menuding dan saling membantah, bahkan Komnas HAM pun tidak berdaya untuk mengungkapkan fakta kegelapan langit yang sesungguhnya. Karena, secara prinsip Demokrasi dan  HAM, siapapun tidak dibenarkan untuk dibunuh begitu saja tanpa ada alasan yang jelas, sekalipun itu disematkan stigma teroris, apalagi yang bersangkutan jika benar tidak melakukan perlawanan senjata, atau tidak melakukan kontak senjata, dan

Kesepuluh, HRS hanya berkutat dalam gerakan amar ma’ruf nahi munkar dalam lingkaran 5M; Madon (Melacur), Maen (Judi), Mabuk (Miras), Madat (Obat-obatan) dan Maling (Mencuri), dengan trademark atau brand FPI adalah memberantas Maksiat (Kemaksiatan). Korupsi bukan bagian dari kamus amar ma’ruf nahi munkar HRS (FPI) sebelum ajang Pilpres 2019, dan baru didengungkan akhir-akhir ini setelah ditembaknya 6 Laskar FPI oleh pihak Kepolisian yang diklaim atas nama insiden Km 50 Jalan Tol sebagai ancaman terhadap keselamatan negara ataukah ancaman atas kekuasaan Istana?

Ada yang tersembunyi dalam penampakannya. Sekalipun, dalam ruang demokrasi itu bukanlah sesuatu yang tabu; tunggang menunggangi, bonceng memboncengi dan politik mempolitiki. Dalam hukum sejarah, gelombang gerakan nasional selalu saja tersedia ruang untuk para penunggang gelap. Tetapi, dalam perspektif politik kekuasaan dimaknai sebagai ancaman kejatuhan bagi rezim yang berkuasa jika gerakan politik oposan politik  menyatu dalam ruang yang tepat dengan gerakan oposan intelektual akademik.

Sesungguhnya, dalam demokrasi, tersedia ruang bagi oposan politik, tetapi untuk tingkat kepecayaan publiknya sangatlah rendah dalam catatan sejarah sepanjang peradaban manusia yang beradab dan bermartabat dengan logika dan akal warasnya. Oposan politik tidak akan mampu merebut public trust. Itulah yang tidak dipahami HRS dengan FPInya.

Dalam gerakan oposan politik, idealisme ketokohannya akan terus dipertanyakan atau akan selalu diragukan, tidak bisa dipegang,  karakter dan atau mentalitasnya mengikuti gelombang arus kepentingan pragmatis. Bisa berselancar dalam gelombang politik arus yang menderu.

Maka, jika HRS bisa berselancar dengan gelombang demo gerakan kampus dan lainnya, tentu bisa menjadi ancaman, karena secara tersembunyi ada skenario kepentingan politik pragmatis endingnya. Berbeda dengan gerakan oposan inteletual akademik yang endingnya hanya meluruskan politik kekuasaan untuk tidak menjadi tirani bagi demokrasi, tidak tersungkur menjadi otoritarianisme, atau menjadi fasis, karena kewajiban Negara adalah melindungi segenap tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa dan membuat atau merumuskan Negara kesejahteraan, kata  Adam Smith.

 

Oposan Intelektual Akademik

Oposan  intelektual akademik sangatlah jauh berbeda dengan oposan politik, bagaikan langit dengan bumi, bagaikan air dengan minyak, dan bagaikan air di daun talas, seolah-olah menyatu, tetapi sesungguhnya tidak bersentuhan, yang dipisahbataskan dengan kepentingan yang jauh berbeda.  Oposan intelektual akademik adalah digerakkan atas panggilan moralitas,  nurani dalam melihat, bersikap dan menyikapi suatu situasi dan kondisi kekuasaan yang tidak mempedulikan segenap tumpah darah.

Oposan intelektual akademik bersandar pada pisau bedah akademik yang harus bisa dibuktikan kebenaran asumsi, analisis dan pandangannya atas premis-premisnya dengan metodologi akademik yang bertumpu pada logika dan akal waras, sehingga rasionalitasnya terjaga.

Oposan intelektual akademik tidak mempunyai kepentingan politik praktis atau tidak berafiliasi dengan politik kekuasaan, yang pada akhir perjuangannya atau endingnya seperti ingin mendapatkan kenikmatan kue kekuasaan, apakah sebagai Menteri, Komisaris BUMN, Staf Khusus, Tenaga Ahli Utama KSP, Juru Bicara Istana atau posisi kue jabatan lainnya bahkan untuk menjadi buzzer-bazzer yang dipelihara Istana untuk tetap menggonggong dan menyalak jika kebijakan dan kenyamanan Istana terganggu.

Oposan intelektual akademik berjalan dan bergerak pada porosnya, yaitu mengawal kebijakan kekuasaan agar bisa melindungi segenap tumpah darah. Agar kekuasaan tidak menjadi otoritarianisme. Agar Demokrasi dan Pancasila menjadi landasan kehidupan bangsa dan Negara.

Oposan intelektual akademik bukanlah penghamba kekuasaan (menjadi Kacung, Centeng, Pecundang, Brutus-Brutus, Sangkuni-Sangkuni, Dorna-Dorna dan sejenisnya), sehingga otentifikasi pikirtan-pikirannya, nalar-nalarnya, logika dan akal warasnya bukan dengan menggunakan argumentasi-argumentasi politik. Argumentasi politik sesungguhnya merupakan argumentasi kepentingan kekuasaan, dimana kebenaran-kebenarannya adalah atas dasar kebenaran konsesus seperti yang dikatakan Jurgen Habermas, termasuk dalam membuat undang-undang, bukan persoalan hukum dan keadilan hukum. tetapi pasal-pasal kekuasaan yang dihimpun dalam undang-undang yang disamarkan dalam berkeadilan.

Oposan intelektual akademik tidak hanya atau tidak harus kalangan akademik semata, melainkan di dalamnya juga kaum intelektual yang berada dalam civil society, dimana argumentasi-argumentasi yang dibangun bertumpu pada logika dan akal waras yang bisa diurai secara akademik atau metodologis. Sekalipun ada banyak fakta sosial politik yang tak bisa dipungkiri dan bahkan tak bisa terbantahkan, bahwa dulunya berada dalam kawah candradimuka keakademikan setelah ditarik ke dalam sumbu kekuasaan kemudian menjadi penghamba kekuasaan atau menjadi Kacung, Centeng atau Pecundang kepentingan pragmatis politik.

Oposan inteletual akademik tidak mengajarkan menjadi opontunisme, kebunglonan dan atau menjadi Brutus-Brutus, atau Sangkuni-Sangkuni sekalipun punya alasan yang jelas dan konkret.  Oposan intelektual akademik semata-mata hanya menunaikan kewajiban dan tanggungjawab kekhalifahan sebagai khalifatullah fil ardh, untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi dan atau alam semesta.

Akan tetapi, apakah oposan intelektual akademik akan bisa selalu terjaga? Tentu tidak. Banyak fakta sosial di negeri ini apa yang disebut dengan pelacuran akademik. Oposan intelektual akademik yang kemudian menjadi penghamba kekuasaan, yang oleh Pierre Boudieu disebut sebagai Pengkhianatan Intelektual, karena keintelektualannya dipakai untuk melakukan pembodohan dan penyamaran akan kebenaran. Memanipulatif atau mengkamuflasekan logika dan akal waras dalam menjustifikasi akan kebenaran, dan apologinya akan tetap mengatakan bahwa dirinya menggunakan logika dan akal waras.

 

HRS dan Kejatuhan Presiden

Dalam ruang demokrasi, pikiran-pikiran atau imaji-imaji liar seperti itu bukanlah tabu dikumandangkan HRS, sekalipun Istana menjadi terancam. Karena, Jokowi sebagai Presiden menafsirkan UUD ’45 pasal  10 yang menyatakan: Presiden memegang kekuasaan  tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara,  sehingga Pangdam Jaya Dudung Abdurrachman dengan TNInya menurunkan semua baligho HRS yang dimaknai sebagai pemecah persatuan dan kesatuan bangsa (NKRI). Sekalipun dalil yang dipakai Pangdam Jaya tersebut dalam ruang demokrasi menjadi antidemokrasi, mengolok-olok demokrasi itu sendiri, yang kemudian dihadapkan pada pertanyaan, apakah militer (TNI) sudah menjadi alat politik kepentingan kekuasaan. Bukankah TNI harus mengambil jarak dengan kepentingan politik pragmatis kekuasaan, dimana TNI harus menjaga keutuhan NKRI, menjaga Negara untuk kekuasaan  tidak menjadi tirani bagi Negara itu sendiri, tidak menjadi  otoritarianisme dan  tidak tumbuhnya oligar-oligar keuasaan dalam benyak bentuk dan model yang bisa menghancurkan Negara dan atau NKR?

Pasal 10 UUD’45 tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan ada pasal yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam tafsir, yaitu pasal 11 yang menyatakan: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Satu kesatuan tafsir tersebut untuk tidak menjadikan tentara (AD, AU dan AL) sebagai alat politik kekuasaan Presiden (Pemerintah). Jika tentara tersebut harus mengemban tugas kenegaraan  dikarenakan adanya ancaman bagi keselamatan Negara atau jika Presiden menyatakan perang atau Negara dalam kondisi terancam bahaya, tentara berkewajiban turun tangan.

Yang terjadi sekarang dalam hal penurunan paksa baligho HRS, Presiden menganggap dirinya sebagai Panglima Tertinggi atas AD, AU dan AL. Tafsir Presiden atas pasal 10 UUD ’45 sebagai Panglima Tertinggi dikatakan Aristedes tidak sah dan bertentangan dengan pasal 10 UUD ’45 itu sendiri.

Tentara (TNI)  itu alat Negara bukan alat Pemerintah. Bisa kejadiannya Negara dengan Pemerintah itu tidak sejalan. Nah itu tantangan buat TNI, bagaimana harus bersikap. Bahwa kalau rakyat tidak mendukung TNI, bedil-bedilnya tidak ada gunanya dalam berpolitik, itu harus ada dukungan dari rakyat.  Jadi harus melihat tren itu kemana?  Kalau baru satu dua orang demo, tentara diam.  Kalau lebih banyak demo, mereka melihat. Kalau itu menguntungkan Negara, mereka dukung Negara. Tapi kalau yang demo sudah banyak ia akan milih rakyat. Artinya, ia akan melawan pemerintah. Sumpahnya setia kepada Negara bukan setia kepada pemerintah. Istilah Panglima Tertinggi itu sebenarnya tidak ada. Itu dulu dipakai bung Karno, ia menafsirkan pasal 10 itu menyatakan Presiden memegang kekuasaan  tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Ia tidak menghubungkan pasal berikutnya. Pasal-pasal berikutnya menyebutkan Presiden itu mengumumkan perang dan damai. Artinya Presiden itu mengusai tentara sebagai aparat politik bukan dicampuri ke dalam. Presiden tidak boleh mencampuri tentara (secara teknis) karena dia bukan pimpinan tentara. Masih ada yang menafsirkan seperti itu, termasuk  Pak Jokwi menafsirkan bahwa beliau sebagai  Panglima Tertinggi (Pandangan Prof. Salim Haji Said Soal Pancasila: Teks Pancasila Sudah Selesai,….Indy Rahmawati, Talk Show tvOne).

Seperti apa yang dikatakan Aristedes  tentang kesalahan tafsir atas pasal 10 UUD’45, dimana Presiden Jokowi menganggap dirinya sebagai Panglima Tertinggi atas AD, AU dan AL, begitu juga seperti  yang dikatakan Prof. Salim Haji Said, Jokowi menafsirkan pasal tersebut sebagai Presiden adalah sebagai Panglima Tertinggi, padahal, bahwa tentara bukan alat kekuasaan pemerintah tapi alat Negara, sehingga dalam kondisi politik yang paling sangat menentukan untuk menjaga kelangsungan Negara, dimana rakyat berada dipihak negara, maka pastilah TNI bersumpah-setia mengabdi kepada Negara, bukan mengabdi kepada kekuasaan Presiden. Jokowi sebagai Presiden seharusnya bisa belajar dan mengambil pelajaran dari realitas empik sejarah sebagai sebuah fakta sosial yang konkret atas jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto dan Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid), sekalipun ketiganya ada perbedaan, tetapi secara fundamental secara konstitusional adalah sama, dan TNI tidak memihak kepada kekuasaan Presiden, tetapi memihak pada rakyat sebagai pemegang otoritas kedaulatan Negara.

Soekarno jatuh atau dilengserkan karena adanya gerakan people power (Mahasiswa-Rakyat; oposan intelektual akademik) yang kemudian ditindaklanjuti dengan mekanisme konstitusional, yaitu ditolaknya pertanggungjawaban Nawaksara Soekarno oleh MPRS 1966, sekalipun oposan politik pun turut serta dalam people power.

Pada peristiwa kejatuhan Soeharto juga dengan adanya gerakan people power yang serupa dengan yang terjadi pada jatuhnya Soekarno. Yang membedakan adalah Soekarno melalui pemakzulan oleh MPRS 1966 sedangkan Soeharto memilih jalan paling cantik dan elok, yaitu mengundurkan diri dari kursi kepresidenannya 21 Mei 1998, sekalipun sesungguhnya dilengserkan oleh people power Kampus-Rakyat sebagai oposan intelektual akademik, sekalipun juga tidak bisa dihindari adanya oposan politik dalam pusaran tersebut, yang dikatakan dalam kamus politik sebagai penunggang gelap dan atau sebagai  pembonceng gerakan untuk  kepentingan pragmatis kelompoknya.

Pada peristiwa politik kejatuhan Gus Dur sebagai Presiden, tentu berbeda dengan Soekarno dan Soeharto. Kesamaan Gus Dur dengan Soekarno, keduanya sama-sama dimakzulkan oleh MPR. Gus Dur dimakzulkan setelah mengeluarkan Dekrit Presiden 23 Juli 2001 yang isi maklumatnya membekukan MPR dan DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, dan membekukan Partai Golkar. Tetapi, kejatuhan Gus Dur tidak diberengi dengan gerakan people power Kampus-Rakyat, dan oposan politik berada dalam kantong-kantong atau baju-baju partai politik yang tersembunyi. Gus Dur maki-maki HRS, sebaliknya, HRS mencacimaki Gus Dur saat itu. Istana dan lingkaran Istana Gus Dur tidak melaporkan HRS, tetapi sekaranng sumbu-sumbu Istana melaporkan HRS hinga menjadi tahanan denga berlapis pasal.

Tidakah HRS mau belajar dan membaca catatan sejarah dan waktu, bahwa kejatuhan (kekuasaan) Presiden; mengambilalih kekuasaan Presiden dari Istana,  tidak bisa dilakukan oleh gerakan oposisi politik ansich, terkecuali oposan politik dalam gerakannya bersekutu dengan kekuatan militer, sehingga bisa menjatuhkan Presiden dengan jalan kudeta.

Kudeta hanya bisa dilakukan oleh militer bukan oleh sipil. Catatan sejarah dan waktu yang bicara itu, bisa kita baca dalam catatan sejarah negara-negara di belahan dunia. Kekuatan milter saja kadang gagal jika masih ada sebagian besar yang setia pada (kekuasaan) Presiden, contohnya,  kudeta gagal yang dilakukan militer di Turki atas Presiden Cecep Tayyib Erdogan. Pada 15 Juli 2016, sehingga 18,632 orang telah dipecat, termasuk 8.998 polisi dan 6.152 militer (Kantor Berita AFP).  Ada 199 akademsi juga dipecat  dari berbagai universitas (Kantor Berita Reuter).  Tindakan berikutnya, memecat 4.000 pejabat publik dalam pembersihan pasca kudeta, mensokrs 9.000 polisi terkait Fethullah Gulen. 50.000 orang sudah divonis mendekam di penjara.  Kudeta yang gagal juga terjadi di Ethiopia (Ras Tafari-Kaisar Haile Selassie, Desember 1960), Irak, Sadam Husein, 1996), Austria (The Juli Putsch, 25 Juli 1934), Jepang ( Insiden Kyuo, 6 Agustus1945), Aljazair (Charles de Gualle, 21 April 1961), Uni Soviet ( Mikhail Gorbachev, 18 Agustus 1991) dan Indonesia (Gerakan 30 September 1965 PKI).

 

Revolusi Akhlaq dan Khilafah

Ketokohannya tak terbantahkan amat luar biasa jika pembacaannya dilakukan dari banyaknya umat pendukung dan simpatisan terhadap HRS, sekalipun kita tak perlu mensederajatkan dan atau bahkan membanding-bandingkannya dengan ketokohan Ayatullah Khumaedi di Iran, Nelson Mandela di Afrika Selatan atau Aquino di Philipina, Aung San Suu Kyi di Myanmar, dimana rakyat menanti datangnya seberkas cahaya perubahan bagi negerinya yang berada dalam cengkraman represitas rezim otoritarianisme, fasisme, diktatorisme yang berkuasa di negaranya, yang banyak menelan korban, pelenyapan nyawa, pemenjaraan pisik dan  kemerdekaan berpikir kritis yang dirawat oleh logika dan akal waras.

Sejarah kemudian membuktikan itu semua sebagai kebutuhan dan tuntutan zamannya. Sehingga, Ayatullah Khumaeni, Nelson Mandela, Qory Aquino, Lech Walensa, Vaclav Havel oleh sejarah dikatakan terlahir atas tuntutan zaman yang tak bisa tertunda.

Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah HRS dengan Revolusi Akhlaqnya akankah seperti dan atau akan menjadi Lech Walensa penerima Nobel Perdamaian (1993, dan menjadi Presiden 1990-1995)  di Polendia yang sukses mengakhiri komunis di Polandia pada tahun 1989 dan mengantarkan mengakhiri perang dingin. Atau seperti Vaclav Havel (Penyair, Eseis dan Dramawan) dari Praha negeri Ceko yang dikenal dengan gerakan Revolusi Beludru (tanpa meneteskan darah) yang menandai kejatuhan komunis di negeri Cekoslowakia, kemudian pecah menjadi dua secara damai; Republik Ceko dan Republik Slowakia.

Havel melaui karya sastra dan sikap kemerdekaan berpikirnya secara tegas menentang sistem totaliter di negeri Cekoslowakia. Sekalipun jadi presiden masih menganggap dirinya sebagai sastrawan, maka perubahan politik yang revolusioner itu tanpa harus meneteskan darah rakyat. Havel tidak berangkat dari karier politik atau sebagai politisi, tapi sebagai sastrawan yang menjadi tuntutan zamannya. Ataukah seperti Ayatullah Khumaeni di negeri Republik Iran, hanya sebagai Imamah (pinjam istilah Syiah), atau seperti Aung San Suu Kyi di Myanmar sebagai martir melawan rezim otoriter militer?

HRS kepulangannya, dikultuskan (sampai ada Hayya Alal Jihad; merubah adzan   sholat menjadi adzan ajakan jihad membela HRS). HRS kepulangannya  dielu-elukan oleh jutaan umat sebagai pembawa cahaya perubahan,  yaitu Revolusi Akhlaq. Lantas, apa bedanya Revolusi Akhlaq dengan Revolusi Mental yang ditancapkan Presiden Jokowi? Revolusi mental telah gagal, karena memang tidak hendak dijalankan kecuali sebagai slogan, jargon dan retorika politis semata untuk membius rakyat? Sedangkan Revolusi Akhlaq yang ditancapkan HRS kita belum tahu anak panah mau diarahkan ke mana dari busurnya.

Dalam orasi pertamanya HRS di Petamburan (10/11/2020) yang disambut gegap gempita lautan manusia, ditegaskan bahwa Revolusi Mental digunakan oleh peletak paham komunis, Kartl Marx sedangkan kata Akhlaq dipakai  oleh Nabi Muhammad SAW. Revolusi Akhlaq seharusnya mampu membangunkan kesadaran kolektif, jika liniear dengan adanya keteladanan yang baik atas sang tokoh pembawanya. Jika tidak, hanya akan berumah di atas angina, gentayangan di awan yang berarak hitam pekat, bersemayan dalam dada para pemimpi dan pengigau yang telah kehilangan arah anak panah dari busurnya. Jargon, slogan dan retorika telah menggerhanakan matanya. Logika dan akal waras tak lagi bisa bicara. Sejarah dan waktulah yang akan bicara kenyataan yang nyata.

Revolusi Akhlaq yang dibawa HRS jika kita merujuk pada tegaknya: *Khilafah ‘ala minhajin nubuwah* akan terjebak dan atau tergelincir pada dua arus pusaran yang berpotensi konflik, dan bisa menjadi bencana Negara, karena, (1) Pertikaian persoalan Khilafah dan (2) Pertikaian atau pertengkaran teologis. Keduanya bisa menjadi berdarah-darah bahkan bunuh membunuh, karena saling menghalalkan darah mereka masing-masing, mengatasnamakan jihad dan mati menjadi suhada yang kelak disambut dan ditemani Bidadari di Surga.

Agama menjadi candu, dan ghiroh beragama dalam pusaran pubertas beragama akan terjerumus pada arogansi beragama dan atau keberagamaan, yang kata Charles Kimball dalam When Religion Becomes Evil mengatakan, bahwa agama bisa menjadi spirit pemicu untuk melakukan tindak kekerasan antar sesama. Hal itu pun pernah dialami oleh umat Islam, catatan sejarah dan waktu yang bicara baik semasa Khulafaurrosyiddin, Peristiwa padang Karbala-Muawiyah hingga abad 20/21 seperti yang masih terjadi di Irak-Syira dengan ISISnya, Afganistan dengan Talibannya, Palestina dengan Hammas dan Al Fatahnya dan Israel dan seterusnya.

Membongkar tafsir para pendulu, akan beresiko distigmatisasi ke dalam anti-Islam, menghina Ulama dan menista agama, seperti yang dialami Farag Fauda (lahir 1945, -1992) di Mesir yang  pada 8 Juni 1992 ditembak mati di Madinat al-Nasr-Kairo, dibunuh oleh kelompok Jamaah Islamiyah (Gamaa Islamiyya). Farag Fauda, diantaranya,  lantaran masuk dengan analisis pemikiran radikal (ke akar-akar masalah dan persoalannya) dalam mengkoreksi pemikiran para pendahulunya yang dilabelkan sebagai Ulama atas teks teologis  Khilafah ‘ala minhajin  nubuwah dalam konteks Negara agama (Islam).

Sistem Negara dalam bentuk Khilafah hingga kini terus menjadi perdebatan yang tak berujung dan selalu memanas, menyulut emosi dan membakar teologis keberagamaan, sehingga atas nama agama bisa menjadi spirit pemicu dalam tindak kekerasan dan atau saling berbunuhan. Pada sisi lain, ada banyak pemikir dan catatan sejarah menjelaskan bahwa Khilafah sudah berakhir.  Farag Fauda mendetailkan bahwa hingga masa Khalifaurrosyiddin belum ada yang namanya sistem tata Negara, belum tersusun dalam pemerintahan dan hal lainnya dalam tafsir ulang teologis; Kebenaran Yang Hilang.

Dalam sistem ketatanegaraan itu tentu harus tersusun adanya konsitusi dan turunannya sebagai undang-undang dan atau peraturan perundang-undangannya yang merupakan turunan dari konstusi pokok negaranya,. seperti, mengenai Pemilihan Kepala Presiden, Kepala Daerah, Parlemen, Kabinet, Korp Diplomatik (Hubungan Bilateral), Tata Niaga Perdagangan, Kependudukan, Hak dan Kewajiban Warga Negara, dan Hak dan Kewajiban Negara (Pemerintahan) dan seterusnya, sekalipun menganut sistem Monarki atau Kerajaan atau sistem Khilafah.

Jika Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah dimaknai keharusan sebagai sistem pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian, tentu akan menjadi perdebatan yang tak berujung dan melelahkan,  karena seperti yang dikatakan Farag Fauda. Di samping banyak pihak saling sengketa tafsir, seperti ada yang bertumpu pada 47 pasal Piagam Madinah  (Mitsaq al-Madinah) untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Mitsaq al-Madinah dikatakan sebagai bukti otentik peradaban Islam  bahwa Negara pertama yang didirikan Nabi Muhammad SAW ialah Negara Madinah, Negara kesepakatan atau perjanjian (Darul Mitsaq), bukan Negara Islam, bukan Daulah Islamiyah. Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah oleh ISIS dimaknai sebagai Negara Islam, begitu juga oleh HTI (Hizbut Tahrir) dengan doktrin teologisnya: Demokrasi itu thogut, Pancasila itu thogut dan setrusnya.

Sistem khilafah yang dimaknai sebagai sistem bernegara atau kenegaraan saat itu adalah menjadi sumur tanpa dasar. Piagam Madinah juga tidak bisa dimaknai atau ditafsirkan sebagai bentuk Negara Islam atau disebut Negara (Islam) Madinah, karena waktu itu jika merujuk pada Farag Fauda, belum ada sistem Negara seperti yang kita kenal sekarang ini apa yang disebut dengan Negara, Pemerintah(an), kedaulatan Negara dan otoritas negara.

Piagam Madinah dengan 47 pasalnya hanya bicara hubungan niaga antar kabilah (antarsuku yang berada di sekitar Jazirah Timur Tengah, Arab) atau sekarang jika bisa dikatakan adalah antar etnis  dan hubungan sosial kemasyarakatan, termasuk soal saling tidak mengganggu atas keyakinan beragama masing-masing pemeluknya, seperti Umar bin Khottob yang menjamin kedamaian adanya Tembok Ratapan (HaKotel Hama’aravi)  tempat berdiam Shekhinah, sebagai rumah Tuhan  di Yerusalem (Yerushalayim) yang dibangun Raja Herodes, tempat suci bagi kaum Yahudi.

Jika Madinah dikatakan sebagai Negara (Islam) pertama yang didirikan atau dibangun Rosulullah, bukankah yang harus menjadi Kepala Negaranya pastilah Rosulullah, atau jika bentuk negaranya adalah Kerajaan, tentulah yang harus dan atau menjadi Rajanya adalah Rosulullah. Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal tersebut itu tidak bisa dikatakan sebagai konstitusi Negara Islam Madinah. Rosulullah pun kemudian tidak menobatkan dirinya menjadi Kepala Negara atau Raja, bahkan ketika ditawari menjadi Raja, Rosulullah pun tidak mau.  “Tuhanku menyuruhku memilih di antara dua perkara: menjadi Hamba sekaligus Rosul atau menjadi Raja sekaligus Nabi. Aku tidak tahu yang mana dari keduanya yang akan aku pilih. Aku mengangkat kepala lalu Jibril berkata: rendah hatilah kepada Tuhanmu. Maka kemudian aku menjawab: Hamba sekaligus Rosul.” ( Hadits  Riwayat As-Sya’bi). Hadits tersebut oleh sebagian dianggap hadits mursal, tetapi jika kita tarik benang merahnya masih menyatu dan bisa menjadi argumentatif berdasarkan logika dan akal waras., termasuk yang relevansi dan korelasinya dengan ayat-ayat Tuhan itu sendiri soal kedudukan Rosulullah. Berbeda dengan hadits mursal mengenai Khilafah.

Argumentasi Rosulullah tidak memilih menjadi Raja sekaligus Nabi, merupakan dalil (postulat) untuk mengafirmasi bahwa adanya Piagam Madinah tersebut bukanlah sebagai bentuk dari adanya Negara Islam Madinah dan atau Rosulullah mendirikan sebuah Negara, yang banyak diklaim oleh sebagian umat Islam dan bahkan termasuk di masa Khulafaurrosyiddin.

Salah satu dalil lainnya yang bisa kita kedepankan bahwa Islam (Rosulullah) tidak membentuk sebuah Negara, akan tetapi,  bagaimana dalam kehidupan umat manusia harus mengikuti petunjuk yang telah digariskan Allah SWT (Islam), termasuk dalam praktik-praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Rosulullah tidak mengatakan, dirikanlah Negara Islam. Pesan sebagai wasiat terakhirnya adalah , “ini wasiat terakhirku  bagi kalian . Wahai manusia, Allah telah menjelaskan bagi kalian dalam Alqur’an, apa yang halal dan haram bagi kalian, apa yang boleh dilakukan dan perkara yang ditinggalkan. Halalkanlah apa yang memang halal bagi kalian, dan haramkanlah apa yang memang haram buat kalian. Percayalah kepada ayat-ayat mutsyabih, kerjakanlah ayat-ayat yang sudah terang benderang dan ambilah I’tibar dari ayat-ayat perumpamaan.”  Sehingga, apa yang dikatakan Khilafah ‘ala munhajin nubuwwah yang bernama Negara  menjadi kehilangan benang merahnya.

Peristiwa dan sejarah Padang Karbala (10 Muharam 61 H) yang berdarah-darah atas Hasan dan Husain Cucu Rosulullah dengan sadis dan kejam yang dilakukan oleh golongan Muawiyah. Hasan bin Ali bin Abi Tholib,  Cucu Rosulullah dibunuh dalam perjalanan ke Khuffah dalam perkara baeat kekhalifahan. Husain dikepung pasukan Ubaidillah bin Ziyad untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Muawiyah. Husain dibunuh dengan tombak dan dipenggal kepalanya oleh Sinan bin Anas bin Amr Nakhai. Setelah terbunuhnya kedua Cucu Rosulullah dan keluarganya, Yazid Muawiyah mendaulat dirinya sebagai Raja. Tragedi Padang Karbala juga bisa dijadikan dalil, bahwa waktu itu belum ada Negara. Yazid Muawiyah pun baru pada tahap kekuasaan semata atau dengan kata lain jika boleh dikatakan pembaeatan menjadi Khalifah untuk menguasai dan berkuasa atas daerah kekuasaannya.

Begitu pula, atas dasar hadits tersebut, Abdul Fattah As-Samman dalam bukunya Harta Nabi, Rosulullah tidak memilih sendiri  jabatannya namun terlebih dahulu memohon petunjuk  dan nasehat dari Malaikat Jibril. Rosulullah setuju dengan pendapat Jibril,  karena kehambaan merupakan status yang paling tinggi kedudukannya daripada gelar Raja di samping Nabi suka nenempati kedudukan wasilah.

Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah kemudian menjadi perdebatan yang paling fundamental. Nadirsyah Hosen, Dosen Senior Monash Law Schol: Meluruskan Hadits Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah, menjelaskan, Pertama,  Khilafah ‘ala minhujin nubuwwah dikatakan berangkat dari hadits yang tidak shahih, lemah, dhoif karena periwayat hadits itu hanya dari Habib bin Salim. Imam Bukhari mengatakan fihi nazhar (perlu diteliti), tidak mau meriwayatkannya. Perlu ditinggalkan, diabaikan kebenarannya. Ada yang mengatakan dari 9 kitab hadits utama (kutubul tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadits khilafah ‘ala munhajin nubuwwah, kelemahan hadits tidak tertolong.

Kedua, Kritik Sanad. Habib bin Salim tidak banyak meriwayatkan hadits, dan beberapa diantaranya  juga bermasalah. Kitab al-Muwatha dan Tuhftul Ahwazi mendhaifkan  riwayat lain dari Habib bin Salim.  Kitab Faidul Qadir mengatakan riwayat Habib bin salim dari Huzaifah itu mursal dan hadits soal khilafah ‘ala munhajin nubuwwah  ini diriwayatkan Habib bin Salim dari Huzaifah. Tarikul Islam li dzahabi mengatakan hadits-hadits riwayat Habib bin Salim dari Abi Basyir itu dhaif. Kitab al-Du’afa al-kabir lil Uqayli mendhaifkan riwayat Habib bin salim. Kata Ibn Adi, sanad dia sering tertukar. Al-Suyuti mengatakan dia lemah.

Habib bin Salim adalah budak yang dimerdekakan oleh Gubernur Nu’man, dan diangkat sebagai sekretaris. Anaknya Nu’man yang bernama Yazid kawan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis. Maka untuk mendukung anak bossnya, Habib bin Salim menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis bahwa yang dimaksud sebagai khalifah ‘ala minhajin nubuwwah itu adalah Umar bin Abdul Azis, dan Khalifah merasa gembira dengan kabar dari Habib bin Salim ini. Jelas kita harus berhati-hati menerima riwayat ‘politis’ dan cukup ‘berbau menjilat’ kepada penguasa ini.

Ketiga, Segi Matan, menurut riwayat jalur Musnad Ahmad (Hadits No 18.406) periode khilafah itu: a. Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah: ini disepakati ulama sebagai periode khulafa al-rasyidin. Yang dalam riwayat lain disebutkan hanya 30 tahun. b. Kemudian memasuki masa Kerajaan yang Menggigit/zhalim (Mulkan ‘Adhan). c. Setelah itu periode Kerajaan yang diktator (Mulkan Jabariyah). d. Setelah itu akan datang masa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Indikasi dari riwayat Musnad Ahmad ini Habib bin Salim tegas merujuk kepada Khalifah Umar Bin Abdul Azis sebagai periode keempat. (d) yaitu khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Jadi, sudah selesai periodisasi di atas. Pendapat para ulama seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Bazzar, Abu Dawud al-Thayalisi, Abu Nu’aim al-Ashfihani, al-Baihaqi, Ibn Rajab al-Hanbali, al-Suyuthi, bahkan Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (kakek Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir) juga berpendapat Umar Bin Abdul Azislah yang dimaksud dalam periode keempat.

Jika seperti itu, apakah HRS juga akan sama dengan  HTI dalam persoalah khilafaf, menganggap periode keempat itu akan muncul, sehingga, Revolusi Akhlaq menjadi ruh yang terus harus  diperjuangkannya? Atau seperti apa tafsirnya atas Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah,  dan bagaimana pula sistem ketatanegaraannya yang tersusun yang dimaksudkan oleh HRS dengan FPInya?

Riwayat Thabrani justru periodisasinya berbeda: Kenabian, Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah terus Mulkan Jabariyah. Berarti tidak ada nanti khilafah lagi. Kitab Majma’ Zawaid mencantumkan riwayat dari Muadz bin Jabbal bahwa urutannya adalah kenabian, khilafah, mulkan adhan dan mulkan jabariyah. Tidak disebut periode akhirnya adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Begtu juga tiga riwayat yang tercantum dalam Kanzul Umal (Hadis No 15111, 15112, dan 15113) tidak menyebutkan ujungnya adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (Ibid).

Jika khilafah ‘ala minhajin nubuwwah ditafsirkan HRS atau FPI harus menjadi keniscayaan zaman, suatu masa yang akan datang, maka akan melahirkan potensi konflik, yang jika dipaksakan akan menjadi genangan darah dimana-mana, tidak saja berhadap-hadapan dengan sesama muslim melainkan juga dengan sesama sodara dalam satu tanah air yang menganut  berbeda keyakinan dan  keberagamaan. Kebhineka-tunggal-ika-an dalam keberagamaan, tetaplah menuju Negara yang adil dan makmur, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur menjadi impian (semua) umat beragama dalam keberagamaan yang tidak melupakan Tuhan (Allah SWT).

Jika HRS memaksakan keyakinan keislamannya menurut tafsir teologisnya, belum tentu semua umat Islam setuju dan sepakat sekalipun HRS bersama FPInya, sekalipun HRS mengatakan sebagai Aswajah (Ahlussunnah Wal Jamaah) sebagai firqah (pengikut) Imam Syafi’i dengan tarekat  Abu Hasan al-As’ari (Asy’ariyah) dan Abu Mansur al-Maturidi. Karena, Islam setelah sepeninggalan Rosulullah dan keempat kholifaurosyiddin menjadi bergolong-golongan, bermadzhab-madzhab, beralir-aliran, yang semua menjadi utopis untuk disatukan dalam satu oase teologis.

Dengan fanatisme dan militansi madzhab, kita seringkali bertikai dan bertengkar, dan itu sangat melelahkan, kecuali untuk jualan agama dengan ayat-ayatnya dalam berceramah di mimbar khalayak, termasuk ada diantara kita yang sangat suka dengan urusan agama atau keyakinan yang berbeda, lantas ditakar kebenarannya dengan agama dan keyakinannya sendiri, seperti yang diunggah dalam cermah atau video, youtube, Islam menilai Kristen, hal yang sama Kristen menilai Islam. Akhirnya saling memaki, saling mengolok-olok dan atau menghinadinakan agama yang bukan keyakinannya. Menyulut emosi dan membakar kebencian.  Padahal gemboknya sudah terkunci dengan, agamu adalah urusanmu dan agamaku adalah urusanku, bukan urusanmu. Lakum dinukum waliyadin.

Tafsir HRS itu pun akan melahirkan banyak pertanyaan, diantaranya,  apakah Imam Hambali, Maliki dan Hanafi bukan Aswajah? Mengapa HRS hanya menyebut Imam Syafi’i sebagai aqidahnya sekalipun HRS mengatakan menisbatkan dirinya pada paham Sunni, padahal paham Sunni merujuk pada fiqih 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali)? Apakah Khawarij dan Jabariyah yang ditentangnya itu karena dianggap cenderung tekstual, dan paham Qadariyah dan Mu’tazilah karena dianggap  cenderung liberal, lantas itu bukan Aswajah? . Padahal, yang dikatakan Aswajah itu adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih (KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam Ziyadah at-Ta’liqat), dan jika begitu, apakah Hanafi, Maliki dan Hambali bukan kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih?

Hal tersebut, jika makin diperdebatkan, maka akan semakin meruncing tanpa kesudahan, termasuk antara aswajah dengan Salafi, Wahabi, yang jika kita simak dalam berbagai video unmggahannya saling tuding, bertengkar, mengklaim masing-masing yang paling benar menafsirkan dan memaknai teks Al Qur’an dan ucapan-ucapan Rosulullah, tanpa kecuali soal Syi’ah, yang kadang diperuncing sekedar sujud di atas tembikar (batu) tanah Karbala. Jika Syi’ah dikatakan bukan Islam, lantas buat apa kita mempersoalkan wujud di atas batu tanah Karbala? Yang seperti itu adalah sebuah konsekuensi dari adanya bergolong-golongan, bermadzhab-madzhab, beraliran-aliran dalam eskatologi teologis. Keislaman yang didogmatismekan bagi kaumnya.

Apa yang dkhutbahkan dalam ruang publik oleh HRS dengan narasi besar dan agungnya yang bernama Revolusi Akhlaq, akankah mendapat kepertcayaan public?  HRS kini berada dalam tahanan, atau jika HRS sudah keluar dari tahanan? Jika HRS  sebagai nakhoda kapal Revolusi Akhlaq  dengan tetap berada dalam pusaran haluan oposan politik, maka waktu dan sejarah akan mengatakan, biarlah teks narasi agung itu akan berlalu ditelan waktu, dimana angin akan menghanyutkannya ke lautan lepas bersama waktu dan kesadaran kolektif itu sendiri.

Tidakah disadari oleh HRS bahwa  sejarah dan waktu tidak akan berpihak pada oposan politik (oponturir, bunglon) untuk memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keselamatan Negara. Itulah tantangan besar bagi HRS dan FPI dengan Revolusi Akhlaqnya. Akankah berkubang dalam lumpur sejarah yang sama? *****

*) Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus  Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles