Oleh Suwarno Tarigan
Berangkat dari toko kecil penjual aneka parfum di Jalan Petamburan Tanah Abang Jakarta Pusat, Habib Rizieq membentuk Front Pembela Islam (FPI) mengkalim memiliki mandat untuk melindungi komunitas muslim lokal dari kecabulan, keruntuhan ahklak, dan “kebebasan melampaui batas”, yang mereka yakini tumbuh seiring dengan masa transisi pasca-Orde Baru (Wilson 2008). Seperti yang dijelaskan salah seorang Ketua FPI, “Demokrasi membuka pintu perubahan, persoalannya membuka pintu buat segala jenis manusia dan segala hal pornografer, homoseksual, murtad, dan segala bentuk bid’ah dan penyimpangan”. (Wawancara dengan Murhali Barda, Ketua FPI Bekasi, Bekasi 2012).
Kendati beroperasi dengan relatif otonom, keberadaan mereka ditunjang dan dalam banyak kasus dipupuk oleh kebutuhan elite-elite politik lokal dan militer serta polisi, untuk mengkonsolidasi dan menegoisasikan kembali kuasa, dan kepentingan mereka sendiri dalam sebuah lingkungan politik yang lebih baik tak terduga dan kompetitif. Preman lokal merupakan pasokan tenaga fisik yang siap sedia untuk memobilisasi dukungan elektoral, sumber pendapatan, dan punya kemampuan untuk menjaga bentuk bentuk ketertiban setempat yang kondusif, dalam banyak hal merupakan kelanjutan dari peran mereka selama rezim sebelumnya. Seperti yang ditunjukan oleh Hadiz dan Ryter. Gengster-gengster politik yang ikut menyusun sebagian dari eselon menengah dan bawah struktur kekuasaan Orde Baru kini punya “moment untuk mengemuka”. Jika, seperti kata Ryter, perang perebutan wilayah semasa Orde Baru “terbatas kepada kompetisi di dalam rangka partai tunggal yang dipuncaki oleh satu orang bos”, desentralisasi dan demokrasi kompetitif berarti bahwa pertarungan pertarungan ini “serang bisa dijalankan secara lebih terbuka dengan kesempatan yang jauh lebih besar” (Ryter 2012, 112).
Hasil dari dinamika ini secara spesifik dibentuk oleh kontijensi lokal dan pada tingkatan yang berbeda-beda, tetapi, ada sejumlah poin umum yang patut dipertimbangkan. “Individualisasi” politik lokal yang disebut oleh Buehler telah melambungkan kuasa tokoh-tokoh lokal yang menonjol, dan memiliki jejaring akar rumput yang luas (Buehler 2007). Misalnya saja Ryter telah mendokumentasikan bagaimana bos-bos berlatar “organisasi pemuda” Orde Baru sukses besar dalam meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), umumnya dengan persentase suara yang secara keseluruhan lebih tinggi ketimbang para pejabat atau pengusaha (Ryter 2012, 191-192). Bos-bos dan orang kuat lokal, dalam kaitan ini, diuntungkan oleh demokratisasi. Namun mereka tidak kebal terhadap kontur dan dinamikanya yang lebih luas, termasuk yang membesarnya harapan anak buahnya sendiri terhadap keterwakilan dan perbaikan kehidupan material. Dalam banyak kasus hal ini diterjemahkan sebagai pola distribusi sumber daya dan konsensi seperti yang sudah jamak dikenal, tetapi dalam sejumlah kelompok yang muncul pasca-Orde Baru, seperti FBR, aspirasi dan tuntutan kolektif bagi pemecahan tata kelola oleh negara. Sebagaimana dicatat oleh Barker, kemampuan para jago dan preman untuk mengorganisir “kalangan proletar informal yang paling kelihatan di muka umum dan paling rentan secara politik”, yang menarik minat otoritas negara dan partai-partai politik (Barker 2009, 72).
Terlepas dari setreotip yang ada, geng adalah bentuk organisasi sosial yang multifaset, dan Indonesia tidak berbeda dalam hal ini. Kendor dan retaknya struktur struktur patrimonial yang mempertalikan geng-geng dengan kekuasaan negara telah menciptakan ruang untuk mengutarakan dan merumuskan agenda agenda sosial dan politik yang baru. Karya Brotherton tentang transformasi geng-geng terorganisir di Amerika Serikat (AS) menjadi apa yang ia sebut sebagai “organisasi jalanan”, “tahap peralihan antara geng dan gerakan sosial”, menawarkan kerangka kerja untuk memahami bagaimana geng, kelompok kelompok vigilante, dan milisi etnis bisa menjadi biang kriminalitas, sembari juga bertindak sebagai wahana proaktif bagi perlawanan sosial dan budaya komunitas komunitas yang terpinggirkan secara sosial dan politik (Brotherton 2007, 252).
Bagi preman lokal, FPI memberi tudung baru bagi pemerasan. Mereka pindah dari Pemuda Pancasila (PP) dan ormas lain, dengan anggapan “Islam” menjadi tudung oraganisasi yang paling mutakhir dan paling ampuh untuk melakukan pemerasan dan pungutan (Wilson 2008). Ketertarikan kaum miskin kota dan kelas pekerja kepada FPI, yang membentuk sebagian besar anggotanya, didorong oleh campuran antara istrumentalisme pragmatis, termasuk pencarian nafkah, gagasan normatif tentang ketakwaan beragama, serta kegelisahan dan kemarahan mengenai integritas teritorial, ekonomi, dan moral ligkungan mereka di hadapan proses transformasi sosial ekonomi jakarta yang tak henti berjalan. Retorika radikalnya yang “bergaya militan” dan penekanannya pada “aksi langsung”, menjadi daya tarik utama bagi para pemuda kampung yang bila tidak demikian, tidak bakal tertarik akan tujuan tujuan lebih luas yang dikerangkai secara keagamaan (Wilson 2014). Namun demikian hal ini baru satu dimensi dari daya tariknya sebagai contoh, FPI dan berbagai kelompok Islam memanfaatkan persaingan antara lingkungan-lingkungan mapan dengan para pendatang yang lebih muktahir di kawasan priurban dan suburban Jakarta raya, khususnya Kota Bekasi. Titik awal di Bekasi adalah tudingan upaya “kristenisasi” kaum muslim Bekasi oleh kelompok evangelis Pantekosta.
Sejumlah kecil kaum neo-Pantekosta radikal melancarkan kampanye agresif di Bekasi, untuk mengajak kaum muslim miskin pindah agama (International Crisis Group 2010, 2). Alhasil kubu pantekosta dan islamis radikal, termasuk FPI, bersaing memperebutkan konstituen yang sama. Di latar belakang inilah meningkat kebencian antar kubu, ketakutan akan meluasnya kristenisasi, serta stratifikasi warga menjadi lokal dan “orang luar”. Etnis Batak menjadi sasaran khusus kaum islamis vigilante, karena banyak di antaranya yang merupakan jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Sebagai sebuah gereja etnis, HKBP tidak terlibat dalam kegiatan misionaris, sehingga tudingan tentang kristenisasi kaum muslim setempat, tidak memiliki landasan substantif. Namun wacana kristenisasi menjadi wacana yang paling gampang untuk merasionalisasi kebencian membara terhadap perubahan paras Bekasi, seraya aliran tetap para pendatang ekonomi, dimana orang Batak menjadi salah satu segmennya yang terbesar, mempertajam ketegangan atas ruang, lapangan kerja, dan sumber daya ekonomi yang terbatas.
Hal itu berfokus pada peraturan bersama Nomor 8-9 Tahun 2006, yang kontroversial mengenai pendirian rumah ibadat. FPI dengan yang lainnya memanipulasi ketegangan-ketegangan ini secara diskursif untuk “membingkai” upaya pihak HKBP membangun rumah ibadat baru guna melayani pertumbuhan jemaat mereka sebagai serangan kepada integritas masyarakat Islam. (Untuk membangun rumah ibadat baru, peraturan bersama tahun 2006 mensyaratkan dukungan dari setidaknya 60 anggota masyarakat berbeda agama, dengan rekomendasi dari forum khusus perdamaian agama yang didirikan murni untuk tujuan melaksanakan peraturan. Hal ini terbukti mudah dimanipulasi oleh kelompok kelompok Islam untuk mengerahkan sentimen lokal terhadap kelompok kelompok minoritas. Untuk ketegangan lebih lanjut tentang peraturan dan latar belakang kasus Bekasi, lihat Internaional Crisis Group 2010). Bersambung… Politik Jatah Preman, Mirza Jaka Suryana/suwarnotarigan1@gmail.com