Selasa, November 26, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Hak Subjektif Versus Hak Objektif

Oleh Mas ud HMN*)

Adanya hak subjektif dari warga negara bangsa di Indonesia dalam keterkaitan Indonesia di masa depan dalam rangka hidup Indonesia Raya dalam hak subjektif versus hak objektif dalam hukum, agaknya pantas atau relevan diurai sampai tuntas. Mengingat hak subjektif adalah hak sangat dasar dan hak objektif adalah hak yang diperoleh dari kesepakatan. Persoalan kritisnya ada pada saat pelaksanaan objektif dalam posisi subjektif.

Sederhananya keharusan menjadi warga negara dan bangsa loyalis pada Indonesia. Bagaimana dengan hanya loyal pada Indonesia Raya sebagai warga negara dan tidak loyal kepada negara dalam posisi bangsa. Bukankah itu adalah paradoks atau posisi berlawanan?

Sesungguhnya hak subjektif sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep hukum memang telah ada sejak masa lampau. Bahkan sejak lahirnya hukum dalam kehidupan sejarah umat manusia. Sebab hak melekat dari kelahiran manusia sendiri. Artinya hak subjektif ada bersama lahirnya hukum dan berjalan seiring.

Dari frasa padanan ungkapannya adalah hak pribadi, hak perorangan. Dalam bentuknya yang lebih luas diidentikkan hak sipil. Hak warga negara. Lalu lawan kata (contrary words) nya hak penguasa. Dengan demikian hak sipil bukan hak penguasa, bukan milik pemerintah, tetapi milik perorangan.

Hanya istilahnya terkadang berbeda, menyesuaikan pada unsur utama yang menyertainya. Hak pribadi (person’s reach). Hak individu yang berkaitan dengan keberadaan di luar kelompok. Ada pula yang berkaitan dengan makna anggota kelompok. Ringkasnya orang dalam arti badan, dalam status pribadi dari subjek hukum.

Dalam makna seperti demikian menarik untuk memahami ungkapan dari Mr Nazar Said (alm) seorang ahli hukum perdata alumni tahun 1952 Univeritas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia berpendapat bahwa, ada terdapat persamaan pengertian dari hak subjektif dengan person rights namun ada perbedaan atau ketidaksamaan.

Ia mengambil misal pada keasasiannya hak anggota sebagai bagian dari kelompok yang asalnya kesepakatan dan kesetaraan. Tapi hak subjektif, esensinya adalah berdasarkan kemelekatannya diperoleh sejak lahir dan tak bisa dirubah oleh siapapun. Sementara hak individual melekat karena kesepakatan. Karena pengakuan umum.

Ini sama dengan makna bangsa dan warga negara. Dalam pendangan Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau Pekanbaru itu, bangsa adalah hak subjektif dan warga negara adalah individual rights. Sehingga hak subjektif tidak sekadar individual rights. Mengingat hak subjektif lebih mendasar sifat dan keberadaannya. Demikian Mr Nazar Said Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau Pekanbaru 1980-an ahli hukum kesohor amat dikenang mahasiswanya.

Persoalan kemudian adalah jika persoalan hak subjektif ini dihubungkan dengan keberadaan bangsa dan warga negara, pertanyaannya apa implikasi yang timbul akibat dua konsep tersebut. Mungkin konsep itu dapat dijelaskan seperti berikut. Setidaknya ada dua hal:

Pertama, konsep bangsa. Bangsa adalah hak pribadi yang melekat sejak lahir.

Kedua, konsep warga negara. Kedudukan konsep warga negara tidak otomatis melekat sejak lahir. Warga negara ada atas dasar kesepakatan atau ketentuan yang berlaku. Seorang lahir dari ibu – bapak bangsa Amerika, tapi ia menjadi warga negara Australia. Kasus demikian terjadi juga di Indonesia warga negara keturunan China. Mau mengaku warga negara saja. Tidak mau jadi bangsa Indonesia.

Dari dua sudut pemahaman konsep di atas yaitu hak subjektif dan kedua hak objektif. Ada persamaan yang similar namun ada pula unsur contrary meaning atau perbedaaan. Yang pada gilirannya membawa implikasi majemuk dalam praktek. Bahkan dapat menjadi orang dengan dwi kewarganegaraan.

Implikasi di lapangan misalnya di Indonesia ada Indonesia yang bangsa dan warga negara sekaligus melekat. Ia berbangsa Indonesia dan berwarga negara Indonesia. Inilah yang kita kenal dengan istilah pribumi. Akan tetapi ada orang yang menjadi warga negara Indonesia tapi tidak mengaku bangsa Indonesia.

Nah, warga negara tipe ini yang loyalis ganda. Di mana dia tinggal tapi berimpit dengan kenegaraan leluhur di samping mengaku sebagai warga negara Indonesia.

Posisi ganda dapat menjadi problema laten dalam hukum Indonesia. Antara posisi yang satu objektif dan posisi yang sama juga ada dalam posisi subjektif. Seharusnya loyal pada Ibu Pertiwi Indonesia namun ada tuntutan lain untuk loyal mengabdi pada tanah leluhur. Suasana yang kita rasakan belakangan ini.

Akhirnya kita berpendapat untuk memilih konsep dasar yang lebih tinggi yaitu mengejawantahkan hak subjektif bangsa dalam rangka unity nation harus diambil menjadi pilihan utama. Tidak ada loyalis ganda untuk Indonesia Raya. Marilah falsafah asli kita jadikan pegangan dasar membangun bangsa ini. Bagi mereka yang menjadi Indonesia karena kesepakatan hukum mari kita jalan bersama. Yaitu di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Satu ke-Indonesia-an yang tunggal utuh dalam membangun masa depan. Semoga!

*) Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles