Abdul Halim Perdanakusuma adalah pejuang revolusioner yang militan. Keterlibatan pahlawan asal Sampang, Madura dalam perang dunia II hingga perang revolusi kemerdekaan membuatnya jadi petarung udara yang diperhitungkan.
Halim tak saja jago dalam menerbangkan pesawat, tapi juga hebat dalam memperbaiki pesawat rusak. Berkat militansinya itu Halim dijuluki oleh angkatan udara Inggris sebagai The Black Mascot (Si Jimat Hitam).
Halim Perdanakusuma yang lahir 18 November 1922 termasuk orang yang beruntung. Sebagai kaum bumiputra, Halim dapat mengenyam pendidikan di sekolah pemerintah kolonial Belanda. Semua itu karena Halim dilahirkan di dalam lingkungan keluarga berada.
Ayahnya, Haji Abdulgani Wongsotaruno adalah Patih dari Sampang. Pun ibunya, Raden Ayu Aisah adalah putri dari seorang Wedana Gresik. Alhasil, anak terakhir dari lima bersaudara itu dapat mulus-mulus saja mengenyam pendidikan di sekolah Belanda.
Halim Lulus Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Semarang pada 1934, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Surabaya tahun 1938, dan melanjutkan ke pendidikan calon pegawai Belanda, Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA) di Magelang.
Karena itu, Halim telah terbiasa dengan ragam bahasa seperti Belanda, Madura, dan Jawa. Halim mulai akrab dengan dunia militer ketika masih berseragam Mosvia. Kala itu, Perang dunia II pecah di Eropa. Pemerintah kolonial Belanda lalu mengeluarkan peraturan wajib militer bagi rakyat Hindia.
Halim yang tengah duduk di tingkat dua MOSVIA tak luput dari kewajiban wajib militer. Lantaran itu pendidikan Halim di Mosvia tak berlanjut. Sebagai gantinya, Halim mengikuti pendidikan calon perwira Angkatan Laut (AL) Belanda di Surabaya. Halim pun berhasil lulus.
Kemudian, dirinya ditempatkan pada Departemen Informasi Angkatan Laut Kolonial Belanda. Namun, tak bertahan lama. Belanda yang keok dari Jepang di awal 1942 jadi muaranya. Saat Jepang menginvasi, Halim mengikuti orang-orang Belanda yang mengungsi ke Australia.
Tak lama tinggal di Australia, Halim langsung dikirim ke India. Di sana dirinya bergabung dengan Militer Inggris. Atas rekomendasi militer Inggris, Halim kemudian disekolahkan ke Inggris. Akan tetapi, Halim memulai petualangan barunya bukan sebagai Angkatan Laut, melainkan Angkatan Udara (AU).
Inggris kemudian membawa Halim belajar ke Kanada. Di Kanada, Halim fokus mempelajari latihan Navigasi bersama Angkatan Udara Kanada, Royal Canadian Air Force (RCAF). Karier itu serius ditekuni oleh Halim. Buahnya, Halim lulus sebagai perwira navigasi.
Ia lalu dijadikan kru pesawat pembom milik Angkatan Udara Inggris, Royal Air Force (RAF). Halim bertugas di skadron pembom dengan pesawat Lancaster dan Liberator. Misi utamanya adalah melawan tentara fasis Nazi pimpinan Adolf Hitler.
“Sebagai awak pesawat pembom ia berkali-kali ikut dalam pemboman (daerah pendudukan militer) Jerman, dan mengalami pertempuran udara yang sengit,” tulis M Sunjata dalam buku Bakti TNI Angkatan Udara, 1946-2003 (2003).
Keterlibatan Halim menjadi kru pesawat pembom disambut baik oleh militer Inggris. Pun Halim tercatat sudah menjalan 44 misi. Dalam masa itu, tiap Halim terlibat misi di wilayah Jerman dan Perancis, Halim jadi penanda nasib baik seluruh pesawat yang beroperasi.
Oleh sebab itu, Angkatan Udara Inggris menjulukinya The Black Mascot. Sebuah julukan yang juga menjadi penanda bahwa putra bangsa berani berjuang di langit Eropa.
Halim kembali ke Indonesia ketika Perang Dunia II berakhir. Dalam suasana kemerdekaan itu Halim bergabung ke dalam militer Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Halim dipromosikan menjadi Komodor Udara. Sejak itu, Halim sering ditugaskan, bahkan dengan insiatif sendiri mengorganisir Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Segala upaya dilakukan Halim supaya AURI Indonesia terbentuk. Saking besarnya kecintaan akan AURI, Halim turut memperbaiki pesawat-pesawat rusak bekas Jepang. Pasawat-pasawat itu kemudian digunakannya oleh AURI untuk memperpanjang napas perlawanan terhadap Belanda pada Agresi Militer Belanda I.
Selain itu, Halim bertugas pula dalam segala bidang. Antara lain menembus blokade udara Belanda, mengatur siasat serangan udara atas daerah lawan, operasi penerjunan pasukan di luar Jawa, dan penyelenggaraan operasi penerbangan dalam rangka pembinaan wilayah.
Salah satu serangan yang dikomandoi Halim paling dikenal adalah serangan ke tiga kota yang dikuasai Belanda: Semarang, Salatiga, dan Ambarawa. Serangan tersebut melambungkan nama AURI pada 1947. Sebab, selama ini Belanda selalu memandang rendah kemampuan penerbang Indonesia, apalagi peralatan tempurnya.
Kendati demikian, serangan itu harus dibayar mahal. Belanda yang mulai menyerang membabi buta membuat tiga perintis dan pelopor AURI gugur. Mereka adalah Komodor Muda Udara Adisucipto, Komodor Muda Udara Abdulrahman Saleh, dan juru radio opsir udara Adioemarmo Wiryokusumo. Nasib buruk itu bahkan merembet ke Halim.
Pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan karena cuaca buruk di Labuhan Bilik Besar, di Pantai Lumut, Malaysia. Halim pun mati muda. Saat itu usianya masih berumur 25 tahun. Atas jasa dan daya juangnya, pemuda asal Madura dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional pada 1975. ***