Kita dan negeri ini makin jauh dari republik dan demokrasi. perkorupsian dan perampasan ham marak dan semerbak. kekuasaan membatu dalam jiwa. menumbuhkan dan menyuburkan hasrat keabadian. seperti akar alang-alang dan rumputan tak kenal musim. sekalipun kemarau. merambat dan menjalar kemana-mana. menjadi semak-semak belukar tempat binatang melata menyembunyikan diri dan binatang-biunatang buas saling berebut kekuasaan.
Kita dan negeri ini makin jauh dari republik dan demokrasi. perkorupisn dan perampasan ham marak dan semerbak. membaca angin membaca laut membaca ombak membaca gelombang membaca hasrat dalam jiwa selalu menyala untuk menghidupkan kembali tahta dalam kekuasaan. musim memang silih berganti. arah angin tak bisa dipungkiri. itu kata politisi. aroma membusuk bisa dibalsem dengan duit. yang tersaji dalam gambar elok sekali. mengundang wartawan dan televisi dan diunggah ke medsos dengan narasi melawan caci maki.
Kita dan negeri ini makin jauh dari republik dan demokrasi. perkorupsian dan perampasan ham marak dan semerbak. angin dan ombak dan gelombang yang menderu dalam senyap. menuju ke jalan sunyi menjadi literasi peradaban dan literatur bagi kita. di sini, di negeri ini, tahta dan kekuasaan makin jauh dari republik dan demokrasi. oligarki, pecundang dan para penghamba telah menguasai akal budi. kaya miskin setali tiga uang. demokrasi dan ham menjadi duri bagi politik dan kekuasaan. membusuk dalam denotatif dan menjadi racun dalam konotatif. republik dan demokrasi makin menjauh dari kita. perkorupsian dan perampasan ham makin menjadi-jadi.
Kita dan negeri ini makin jauh dari republik dan demokrasi. tapi semakin lengket dengan korupsi dan makin tertawan oligarki. makin lekat dengan hutang luar negeri. negeri ini semakin tidak peduli dengan derita dan nestapa ibu pertiwi. sejarah kekuasaan. hanya melahirkan si malin kundang dan sengkuni. demokrasi makin tenggelam. korupsi makin garang dan menjadi-jadi. anak-anak yang baru melihat dunia sudah dihisap oligarki sedangkan rahim ibunya belum genap empat puluh hari. mereka menangis tak henti. tapi siapa yang bisa? negeri ini sudah bisu tuli dan tak lagi punya hati. matanya pun telah gerhana pula. petir menyambar bersahut-sahutan di siang bolong. tak ada mendung apalagi hujan. malam begitu senyap dan sunyi. perkorupsian dan perampasan ham terus terjadi. demokrasi tenggelam dan hanyut ke samudra kekuasaan oligarki. (O’ushj.dialambaqa, Sajak: Kita dan Negeri Ini, Singaraja 1/5/2021-8/12/2021)
Setiap tanggal 9 Desember merupakan Hari Anti Korupsi sedunia, dan setiap tanggal 10 Desember merupakan hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia, yang selalu diperingati di berbagai negara, yang bukan negara fasis dan atau komunis. Di negeri ini, kedua hari peringatan itu pun selalu diperingati, senantiasa ada spanduk-spanduk yang dipajang di banyak tempat dan atau di gedung-gedung pemerintahan penyelenggara negara.
Sebegitu pentingnya dunia mengingatkan kita, bahwa perkorupsian atau korupsi merupakan bencana dan petaka bagi bangsa dan negara. Begitu juga, sebegitu pentingnya dunia mengingatkan pada kita, bahwa HAM yang terabaikan akan membawa bencana bagi peradaban umat manusia atas hasrat hendak berkuasa yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan kekuasaan itu sendiri, melanggengkannya.
Perkorupsian (korupsi) dan HAM adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan keberadaannya, karena korupsi adalah juga bagian dari bentuk perampasan HAM atas hak-hak hajat hidup orang lain, hajat hidup rakyat atau masyarakat dalam suatu bangsa dan negara.
Maka, Hari Anti Korupsi sedunia dan hari HAM sedunia setiap tahun menjadi bagian penting untuk kita memutar kembali ingakatan kolektif suatu bangsa dan negara terhadap dua hal subtantif kehidupan berbangsa dan bernegara, agar kekuasaan tidak terjerumus dalam perkorupsian dan agar kekuasaan tidak mengedepankan sikap dan tidakan represitas atau merepresi kemerdekaan atau kebebasan berekspresi.
Kini oleh kekuasaan, kebebasan berekpresi ditafsirkan sebagai ancaman, sebagai ujaran kebencian, dan sebagai pencemaran nama baik. Padahal, kritik, olok-olok, satire, sindiran dan lainnya itu adalah relasi dari sebab akibat terhadap kekuasaan yang keluar dari relnya.
Kekebasan berekspresi tersebut tidak dibutuhkan pertanggunjawaban sekalipun menggunakan kata yang amat tidak beradab, karena rasa kepedihan, kegeraman dan kenestapaannya dalam melihat dan membaca prilaku kekuasaan atas kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, menjadi sangat sulit untuk bisa disantunkan oleh peradaban umat manusia.
Kebebesan berekspresi yang harus dipertangungjawabkan dan atau dimintai pertanggungjawaban atas ekspresinya adalah kebebasan yang melakukan tindakan pengrusakan, perampasan hak, merepresi secara pisik maupun spikis dan lainnya, dimana hal itu bertentangan dengan HAM. Bukan kebebesan berekspresi yang menentang dan atau menolak kekuasaan yang represitas, sewenang-wenang, merepresi dan yang membrangus hak-hak individual dan atau hak-hak kolektif, dimana itu semua berada dalam HAM itu sendiri.
Di berbagai negara yang menganut paham demokrasi, berlomba-lomba dan atau berpacu untuk menghadang (mencegah) dan memberantas praktik-praktik perkorupsian dan pelanggaran HAM, karena sebab-akibat dari keduanya akan menjadi bencana, petaka bagi bangsa dan negaranya. Lantas, bagaimana dengan republik negeri ini?
Perkorupsian Yang Nyata
Entah kata apa yang bisa harus kita katakan melihat dan pembaca perkorupsian di negeri ini, kecuali mungkin hanya ada satu kata, yaitu, “decade keserakahan” kekuasaan yang bisa harus kita katakan. Tidak ada kata lain yang bisa diperuntukannya, jika kita melihat dan membaca pemberitaan perkorupsian di belbagai koran atau media massa (cetak maupun online) dan atau medsos (media sosial-dunia maya), baik pusat, daerah maupun media lokal di seluruh nusantara yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Pemberitaan perkorupsian tersebut setiap hari bisa kita baca, seperti, adanya proyek-proyek mangkrak. Adanya proyek yang asal-asalan dikerjakan. Adanya jual beli jabatan. Adanya permainan proyek dan jual beli proyek. Adanya permainan anggaran, dan adanya nomenklatur.
Adanya puluhan kasus-kasus perkorupsian yang dilaporkan publik (masyarakat) ke APH (Aparat Penegak Hukum dan atau Lembaga Penegakkan Hukum). Adanya kasus-kasus yang mangkrak di tangan APH. Adanya banyak kasus yang tak tersentuh. Adanya kasus-kasus perkorupsian yang mau disentuh. Adanya kasus-kasus yang tenggelam, dan kasus-kasus yang jalan di tempat hingga berkali-kali pergantian pejabat baru.
Hal itu terjadi di pusat maupun di daerah, serupa, jika kita membaca pemberitaan media massa dan atau medsos. Sungguh geram dan menjengkelkan. Padahal, negara tercekik hutang luar negeri, di mana para ekonom intelektual; akademik sangat mencemaskan akan nasib bangsa dan negara ini lataran hutang luar negeri. Hutang luar negeri pun nyaris habis untuk perkorupsian dari pusat hingga daerah, termasuk untuk menanggung beban anggaran untuk merepresi kebebasan berekspresi, di mana negara dijadikan alat kekuasaan pemerintah, rezim penguasa untuk kekuasaannya.
Perkorupsian (korupsi) itu begitu nyata secara de facto, tetapi menjadi dunia lain, dunia maya secara de jure. Apakah pendekatannya dengan cara pandang azas praduga tak bersalah atau menggunakan cara pandang azas praduga bersalah dan atau menggunakan pendekatan analisis akademik yang hitam putih, sekalipun kita selalu di-ber-adab-kan dengan kata “patut diduga” atau adanya “indikasi” perkorupsian. Kenyataan itu sungguh nyata, tetapi tidak bisa dinyatakan.
Di gedung-gedung APH, kita selalu membaca spanduk-spanduk yang berbunyi: Zona Integritas (ZI). Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani, dan ada spanduk yang paling menyengat dengan kata: “LAPORKAN!”. Tetapi, apa hendak dikata, kata-kata itu tidak bisa bicara, bahwa dirinya sedang dilecehkan dan atau dimanipulatif makna dan pengertiannya dari kata itu sendiri. Penangan dan atau pemberantasan perkorupsian bagaikan sinetron kejar tayang di negeri ini.
Semua hal itu, menjadi benar-benar nyata, dan menjadi nyata dalam logika dan akal waras. Perkorupsian itu nyata dan benar-benar nyata sekalipun tidak bisa di-hitam-putih-kan. Perkorupsian itu tidak seperti ideologi, tapi sekalipun begitu, keduanya bisa kita baca dalam sikap dan tindakannya.
Kita bisa melakukan pembacaan atas gesture tubuhnya, kita bisa membaca dalam apologi dan alibinya, dan kita bisa membaca akal-akalannya atau ke-Abu-Nawas-annya, dan kita bisa membaca atas jumpalitannya angka-angka di kalkulatornya. Jika logika dan akal waras kita masih berguna, berfungsi dengan baik, tidak terjadi konsleting arus, atau jika kita tidak tenggelam dalam lumpur penghambaan kekuasaan.
Perkorupsian yang nyata itu, acapkali kemudian kita hanya bisa melihat kenyataan yang nyata dalam dunia maya, dunia lain. Kita tidak pernah sungguh-sungguh bertekad membebaskan negeri ini dari perkorupsian. Padahal, spanduk-spanduk peringatan Hari Anti Korupsi dunia setiap tahun, setiap tanggal 9 Desember terpajang di gedung-gedung APH dan pemerintahan, seolah-olah kita terbebas dari adanya praktik-praktik perkorupsian yang nyata.
Seolah-olah kita sungguh-sungguh melakukan pemberantasan korupsi. Padahal, faktanya, peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia itu hanya menjadi sederetan atau setumpuk kata dan kalimat yang membeku, membisu dan kehilangan maknanya. Spanduk-spanduk peringatan Hari Anti Korupsi hanya menjadi slogan, jargon dan retorika politis. Di balik spanduk-spanduk peringatan Hari Anti Korupsi sedunia, justru di situlah tempat bersemayamnya perkorupsian itu terjadi dan meng-ada.
Salah satu contoh spanduk (di gedung-gedung pemerintahan Indramayu) dalam peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia itu berbunyi: ‘Selamat Memperingati Hari Antikorupsi Sedunia’. ‘Satu Padu Bangun Budaya Antikorupsi’. ‘Stop Korupsi’. Sungguh, negeri ini menjadi bangsa dan negara yang hipokrit. Kata, ucapan, tindakan dan perbuatannya bagaikan langit dengan bumi. Kita hanya melihat fatamorgana.
HAM Yang Nyata Tenggelam
Pelanggaran HAM terus mewarnai negeri ini, nyaris setiap lahirnya kebijakan baru oleh rezim penguasa sepanjang sejarah. Tidak saja pada era rezim Orde Lama, Orde Baru pun mengulang sejarah yang sama, karena kekuasaan rezim penguasa yang jauh lebih lama dibanding sebelumnya. Peristiwa Talangsari, Tanjung Priok 1984. Peristiwa Sengkon dan Karta, 1974. Peristiwa pendudukan kampus ITB di penghujung tahun 1979-1980 yang menelan korban mahasiswa tewas dan luka atas tindakan militeristik Orba. Peristiwa Semanggi 1 dan 2 dalam gelombang reformasi, dan terus berlanjut hingga dari Presiden ke Presiden. Semua itu tak mau tahu dengan HAM dan pelanggaran HAM. Tak bergeming. Membisu dan membuta.
Pelanggaran HAM tidak berhenti pada tumbangnya rezim penguasa Orde Baru yang banyak menelan korban dan meregangkan nyawa hingga tewas ditembus peluru, diburu dan diculik hingga lenyap, hilang antah berantah hingga kini. Dalam catatan KontraS masih ada 13 aktivis yang hilang tanpa jejak hingga kini. Penyair Wiji Tukul lenyap tanpa jejak.
Kita mengira setelah rezim otoriter militeristik Orde Baru tumbang, orde selanjutnya tidak lagi menempatkan peluru untuk meregangkan nyawa, di mana nyawa adalah milik absolut Tuhan. Ternyata absolutism Tuhan diambilalih dan dirampas oleh kekuasaan, penghamba kekuasaan dan atau penguasa begitu saja.
Dari Presiden ke Presiden, pelanggaran HAM tidak menjadi agenda negara dan rezim penguasa tidak peduli dengan apa itu HAM dan apa itu pelanggaran HAM. Rezim penguasa dari Presiden ke Presiden telah membutakan matanya, telah menulikan pendengarannya dan telah mematikan denyut jantung dan hati nuraninya melihat pelanggaran HAM dan HAM itu sendiri.
Hal tersebut bisa kita berikan fakta yang tak terbantahkan dalam sejarah keniscayaannya, seperti, kasus dibunuhnya Marsinah (buruh) di Nganjuk Jawa Timur yang ditemukan di Dusun Jegong pada 9 Mei 1993. Kasus dibunuhnya wartawan Bernas Yogya Fuad Muhammad Syafruddin (Udin Bernas) pada 16 Agustus 1996.
Kasus yang lebih sadis dan kejam lagi adalah dibunuhnya Munir KontraS dalam perjalanan ke Den Haag Belanda pada 7 September 2004 dengan racun arsenik, dan masih sederet daftar panjang yang tak muat memenuhi angka kalkulator 12 digit.
Yang aneh tapi nyata bin ajaib, Pemerintah Pusat telah membagikan penghargaan ke daerah-daerah yang konon peduli dengan HAM dan pelanggaran HAM. Realitas dan faktanya, justru terbalik. Salah satu contoh, misalnya, Pemerintah Kabupaten Indramayu mendapatkan penghargaan peduli HAM oleh Pemerintah Pusat. Padahal, kasus tindak kekarasan dan atau percobaan pembunuhan (yang ke-5) terhadap Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) O’ushj.dialambaqa dilakukan yang disorder oleh rezim penguasa saat itu, yang mengakibat luka serius dilarikan ke Rumah Sakit, tetapi belum sempat tewas, tidak terungkap jejaknya bahkan tenggelam. KontraS Haris Azhar pun angkat bicara bahkan hingga membawanya kasus tersebut ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Hal serupa juga terjadi banyak daerah.
Baju hitam, payung hitam dan pita hitam setiap Kamisan depan Istana Kepresidenan dari Presiden ke Presiden, Istana tak pernah merasa terhentak, tidak pernah merasa tersayat, tidak pernah merasa nyeri dan tidak pernah merasa pedih melihat ibu-ibu dan bapak-bapak dan semua orang yang berkumpul di depan Istana yang kehilangan nyawa anaknya, kerabat dan handai taulannya, karena peluru menembus ruhnya. Ruhnya kembali kepada yang punya, Illahi Robbi.
Kemanusian yang dirampok dan dilenyapkan oleh kekuasaan. Padahal, mereka semua yang terbunuh dan terluka pada gelombang reformasi itu telah mengantarkannya mereka-mereka menjadi Presiden, Gubernur, Wali Kota atau Bupati bahkan Kepela Desa, di mana mereka dulu cuma menonton, cuma menyemooh, cuma nyinyir, cuma menyindir bahkan mengolok-olok dan meludahi panggilan ibu pertiwi.
Catatan KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) selama gelombang demo UU Omnibus Law pada Oktober 2020 telah menelan korban luka sebanyak 232 orang, dan 4.555 lainnya ditangkap (Kamis, 10/12/2020).
Catatan Asfinawati Direktur YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), tindakan kekerasan yang dilakukan kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa menolak UU Omnibus Law terjadi di 18 provinsi di seluruh Indonesia, di mana para pengunjuk rasa dihalang-halangi dengan cara ditangkap sebelum melakukan aksi (BBC News Indonesia, 9/10/2020).
Di berbagai daerah juga terjadi hal serupa, dan juga tidak sedikit korban setiap kali terjadi unjuk rasa menolak kebijakan rezim penguasa yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Himawan Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi adalah mahasiswa Perikanan dan Teknik Vokasi Universitas Halu Ole Kendari Sulawesi Tenggara, yang ditembus peluru brutal aparat saat demo di gedung DPRD Sulawesi Tenggara, Kamis, 26/9/2019, demo penolakan RKUHP dan RUU Revisi UU KPK.
Menghalang-halangani kemerdekakan berekspresi, menyatakan pendapat di muka umum dengan tindakan kekerasan apalagi dengan melakukan pembunuhan dengan berbagai apologi dan alibi demi stabilitas sosial politik dan negara dan apapun alasannya, merupakan pelanggaran HAM dan demokrasi yang secara konstitusional itu merupakan hak setiap orang dan merupakan kewajiban negara untuk melindunginya, melindungi segenap tumpah darah.
Extra judicial killing (penembakan dan atau pembunuhan di luar proses hukum) merupakan pelanggaran dan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM itu sendiri, seperti halnya kasus 6 laskar FPI (Front Pembela Islam) di KM 50 yang ditembak mati oleh aparat, begitu juga terhadap dua mahasiswa di Kendari Sulawesi Tenggara tersebut yang tewas ditembus peluru negara.
Extra judicial killing sama sekali bukan amanat dan atau tujuan negara untuk melakukan pelenyapan nyawa atas rakyatnya, karena rakyat adalah pemegang kedaulatan atas negara itu sendiri, maka negara berkewajiban melindungi segenap tumpah darah.
Dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), International Covenant on Civil and Political Rights/CCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang diratifikasi dan atau disahkan melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, pasal 6 ayat 1: Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang. Pasal 6 hingga pasal 27 mentsabilo atas hak-hak setiap orang untuk tidak dirampas HAM-nya.
Dalam UUD’45, pasal 28A mengatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Untuk itu, extra judicial killing merupakan bagian dari bentuk lain atas pelanggaran HAM itu sendiri, karena pada sejatinya adalah merampas hak hidup dan atau merampas hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Jika negeri ini, mengedepankan extra judicial killing, berarti negara dalam genggaman dan tikaman kekuasaan pemerintah, dimana rezim penguasa itu bercokol, di mana alat negara menjadi alat kekuasaan untuk membentengi dan atau menjadi benteng tirani rezim penguasa.
Sejarah, fakta dan realitasnya, dari rezim ke rezim dalam dua hal elementer kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu peringatan Hari Anti Korupsi dan Hari HAM hanya merupakan kata-kata beku, tidak punya nilai dan makna apa-apa bagi rezim penguasa.
Jika saja spanduk peringatan Hari Anti Korupsi dan HAM itu dibuat dan atau dipasang oleh civil society, merupakan keniscayaan yang harus disuarakan dan diteriakkan, karena rezim penguasa tidak mau peduli apalagi tersentuh untuk kedua hal tersebut. Tetapi, yang menjadi kita geram, jengkel dan sekaligus menggelikan, justru spanduk-spanduk peringatan Hari Anti Korupsi dan HAM itu dipajang di depan gedung-gedung pemerintahan dan atau lembaga-lembaga pemerintah, yang fakta sejarahnya adalah mereka itu menjadi pelaku sejarah dari praktik-praktik perkorupsian dan pelaku pelanggaran HAM itu sendiri.
The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020, Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir ini, dengan pertingkat ke-64 dunia (dari 167 negara) dengan skor 6,3 dengan kategori Demokrasi Cacat. Di Asia, peringkat 4 di bawah Malaysia, Timor Leste dan Filipina. EIU memberikan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralism. Skor 7,5 untuk Fungsi dan kerja pemerintahan. Partisipasi politik dengan skor 6,11. Budaya politik dengan skor 4,38, dan kebebasan sipil dengan skor 5,59.
Freedom House (Freedom in the World 2020) merilis laporannya tahun 2020, memberikan peringkat terhadap 195 negara, dan menyatakan bahwa 83 dari negara sebagai “bebas”, 63 negara sebagai “bebas sebagian” dan 49 negara sebagai “tidak bebas”. Dari 64 negara mengalami kemunduran. Indonesia secara keseluruhan memperoleh 61 poin, dikategorikan sebagai negara yang “setengah bebas, bebas sebagian”.
Setara Institute merilis Indeks kinerja Hak Asasi Manusia (HAM) selama satu tahun pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin sejak dilantik 20 Oktober 2019. Indeks kinerja HAM pada 2020 turun dari tahun sebelumnya. Indeks HAM tahun 2020 adalah 2.9 sedangkan pada tahun 2019 skornya adalah 3.2, dengan skala 1 sampai dengan 7. Angka 1 menunjukkan penegakan HAM yang rendah dan angka 7 menunjukkan penegakan HAM yang tinggi.
Pemberian nilai terhadap praktik penegakan HAM dalam indeks ini dilakukan dengan pengukuran terhadap 6 (enam) indikator hak sipil dan politik (hak sipol). Hak sipol meliputi hak hidup, kebebasan beragama/berkeyakinan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak turut serta dalam pemerintahan dan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.
“Yang mana perlu kita highlight bahwasanya dari keenam indikator tersebut hanya ada satu indikator yang memang berada atau mengalami peningkatan, yaitu untuk kebebasan beragama/berkeyakinan,” (Peneliti Setara Institute Sayyidatul dalam konferensi pers, Kamis, 10/12/2020). Sedangkan untuk indikator lainnya mengalami stagnasi atau penurunan atau regresi itu sendiri.
Peneliti Setara Institute menjabarkan penilaian hak sipil di tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya secara umum yakni 2.8 pada tahun 2020 sedangkan sebelumnya adalah 3. Rincian sub indikator dari hak sipol yakni hak hidup 2.4 sebelumnya 2.5; hak beragama/berkeyakinan 2.5 sebelumnya 2.4; hak memperoleh keadilan 3.2 sebelumnya sama atau stagnan dengan tahun sebelumnya yakni 3.2. Hak atas rasa aman 3.1 sebelumnya 3.6, hak turut serta dalam pemerintahan 4 sebelumnya 4.2 dan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat 1.7 sebelumnya 1.9.
Penilaian praktik penegakan HAM, diukur dengan 5 (lima) indikator: hak ekonomi, sosial, dan budaya (hak ekosob). Hak ekosob turun dari tahun sebelumnya, pada tahun 2020 dengan skor 3.1 pada tahun 2019 yakni 3.5.
Rincian hak ekosob tersebut terdiri dari hak atas kesehatan yakni 3.6 turun dari 3.9, hak atas pendidikan stagnan dari 4.5 di tahun 2019 dan skor di tahun 2020 juga 4.5. Hak atas pekerjaan turun dari sebelumnya 3.2 menjadi 2.8 di tahun 2020, hak tanah turun menjadi 2.9 dari sebelumnya 3.4 dan terakhir hak atas budaya juga turun dari 2.4 menjadi 2.1 di tahun 2020.
Untuk hak ekosob ini sendiri, justru dari kelima sub indikator tersebut hanya satu yang kemudian berada pada angka yang cukup stabil, yaitu hak atas pendidikan yaitu berada pada angka 4.5 sedangkan untuk empat sub indikator lain justru mengalami regresif itu sendiri.”
Angka yang paling rendah adalah terkait hak atas budaya yang mana di dalamnya meliputi terkait dengan kriminalisasi atau pengakuan terhadap eksistensi daripada masyarakat adat yang masih sangat minim.” (Laporan Setara Institute tahun 2020).
Transparency International Indonesia (TII) merilis indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia tahun 2020, Kamis (28/1/2021). Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko menjelaskan, skor indeks persepsi korupsi Indonesia saat ini berada di angka 37 pada skala 0-100. Adapun skor 0 sangat korup dan skor 100 sangat bersih. Kita tahun 2020 ini berada pada skor 37 dengan ranking 102 dan skor ini turun 3 poin dari tahun 2019 lalu. Turunnya angka IPK tersebut juga membuat posisi Indonesia melorot menjadi peringkat 102 dari 180 negara yang dinilai IPK-nya.
Sebelumnya, Indonesia berada di posisi 85. Jika tahun 2019 lalu kita berada pada skor 40 dan ranking 85, ini 2020 kita berada di skor 37 dan ranking 102. Negara yang mempunyai skor dan ranking sama dengan Indonesia adalah Gambia.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, IPK Indonesia berada di peringkat lima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40). (Transparency International Indonesia tahun 2020).
Membaca data laporan ke-3 lembaga riset tersebut, memberikan kesimpulan pada kita, bahwa persoalan demokrasi tidak bisa dipisahkan dari persoalan HAM dan perkorupsian. Semakin buruknya kualitas demokrasi, akan menunjukkan kurva semakin tingginya pelanggaran HAM dan semakin merebaknya praktik-praktik perkorupsian yang terjadi.
Kesimpulan berikutnya atas buruknya kita berdemokrasi dan atau tidak berjalannya demokrasi, mencerminkan kebebasan berekspresi civil society tertawan dan atau terbelenggu, dan kesimpulan terakhirnya, demokrasi yang terbelenggu menunjukkan negara tengah menuju otoritarianisme dalam kekuasaan, yang jika dibiarkan akan menggali kuburnya sendiri bagi bangsa dan negara itu sendiri.
Apa yang dikatakan Haris Azhar Lokataru harus menjadi catatan bersama, karena institusi, kebijakan dan pelaksanaan kerjanya masih buruk, korup, bisa ‘dibeli’ atau menerima pesanan dari pihak tertentu. Salah satunya seperti kasus eks jaksa Pinangki, yang dijerat menerima suap dari kasus Djoko Tjandra. Intitusi hukum yang masih transaksional (Senin, 6/12/2021 kepada wartawan).
Sungguh memilukan dan sangat menyedihkan, kok, negeri ini menjadi bangsa dan negara yang ekolalia (latah). Kok, menjadi bangsa dan negara yang sangat hipokrit. Sungguh memedihkan takdir sosial negeriku, bangsaku dan negaraku ini. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti dan sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD), dan Accountant Freelance. Tinggal di Singaraja. No. Kontak: 081931164563. e-mail: jurnalepkspd@gmail.com