Tapteng, Demokratis
Lagi, kekecewaan mendalam dirasakan kelompok masyarakat yang menjadikan sungai Sibabangun sebagai kawasan budi daya ikan kearifan lokal lubuk larangan. Bukannya bertambah, hasil budi daya menurun drastis. Harapan memperoleh hasil melimpah hanya lelucon Minggu siang yang menggelitikkan hati.
Sedih, kecewa dan kesal yang sebelumnya dirasakan beberapa kelompok lubuk larangan, kini menular kepada anggota kelompok lubuk larangan Lingkungan II Kelurahan Lumut, Kecamatan Lumut, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng). Hasil panen yang digelar, Rabu (10/11/2021), menurun hingga mencapai 50 persen.
Bukannya karena faktor ketidakmampuan menangkap atau hoki yang tidak ada, sebagaimana yang dialami kelompok lubuk larangan lainnya, faktor ketersediaan ikan menjadi penyebab utama turbulensi panen. Kepadatan ikan yang selama ini menghiasi lubuk-lubuk zona budidaya sudah tidak terlihat lagi.
“Biasanya anggota akan mendapat bagian 2 1/2 kg. Namun kali ini hanya sekitar 1 kg lebih,” ujar Hasibuan (65), salah seorang pengurus lubuk larangan Lingkungan II Kelurahan Lumut, Jumat (12/11/2021).
Diduga, pembuangan air sisa proses oleh pabrik kelapa sawit yang beroperasi di hulu sungai menjadi penyebab utama menurunnya hasil panen. Setiap hari, air sungai Sibabangun terlihat kecoklat-coklatan dan berminyak.
Kondisi ini ditenggarai menurunkan kualitas air yang berpotensi menghambat perkembangbiakan ikan.
“Kita menduga akibat kualitas air yang menurun,” timpal Hasibuan.
Diungkapkannya, tidah hanya produksi budi daya ikan yang menurun, banyak warga mengalami gatal-gatal seusai mandi di sungai Sibabangun. Hingga saat ini penyebab gatal-gatal tersebut belum mereka ketahui. Yang pasti, kondisi ini telah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir.
“Sering saya merasakan gatal-gatal seusai mandi di sungai. Saya nggak tahu kenapa begitu,” ungkapnya.
Rasa gatal setelah mandi di air sungai Sibabangun juga dialami S Harahap, warga Kelurahan Lumut lainnya. Ia mengaku sering merasakan gatal-gatal seusai mandi di sungai yang mengalir di belakang rumah penduduk Kelurahan Lumut itu. Sama dengan Hasibuan, Harahap juga tidak tahu penyebab pasti kenapa hal itu bisa terjadi.
Namun besar dugaannya, penyebab gatal-gatal yang timbul akibat air yang sudah tercemar limbah pabrik.
“Bisa jadi akibat air yang sudah tercemar. Dulu-dulu nggak ada kok kita merasakan gatal kalau mandi di sungai,” ucapnya.
Harahap mengaku kondisi ini membuat dirinya kelimpungan. Pasalnya, untuk aktivitas MKC (mandi, cuci, kakus), ia beserta anggota keluarga lainnya masih mengandalkan sungai Sibabangun. Tidak mustahil, jika pembuangan air sisa proses ke sungai Sibabangun tidak dihentikan, akan menghadirkan penyakit gatal-gatal berkepanjangan kepada warga yang memanfaatkan sungai untuk MCK.
“Bisa jadi. Sekarang saja kita sudah merasakannya,” tukasnya. (MH)