Tapteng, Demokratis
Kurun 20 tahun belakangan ini, warga Kelurahan Sibabangun, Kecamatan Sababangun, dan warga Kelurahan Lumut, Kecamatan Lumut, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), telah menetapkan sungai Sibabangun sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP).
Pelestarian lingkungan alur sungai dilakukan melalui pola privatisasi tradisional lubuk larangan, budi daya ikan air tawar. Kearifan lokal yang mengikat warga setempat dan terus dilesatarikan ini tertuang dalam aturan adat dan kesepakatan masyarakat.
Budidaya ikan yang dikelola secara zonasi ini dapat mengharmonisasikan antara ekonomi masyarakat dengan keinginan melestarikan sumber daya air. Alur sungai Sibabangun yang membelah pemukiman penduduk dijadikan sebagai tempat berkembang biak ikan dan ekosistem air lainnya. Hasil budi daya menciptakan Pendapatan Asli Desa (PADes) yang sangat menakjubkan. Dengan modal kebersamaan, lubuk larangan yang dipanen setahun sekali ini dapat menghasilkan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Selain itu, kawasan konservasi perairan ini dapat menarik minat wisatawan lokal untuk berkunjung. Tidak jarang, wisatawan yang melintas, singgah untuk menghilangkan kepenatan sembari memberi makan ikan-ikan yang berenang hilir mudik. Kegiatan mancing mania yang menjadi awal proses pembukaan lubuk larangan, juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal untuk datang dan mengadu hoki. Jadilah zona lubuk larangan menjadi kawasan wisata perairan (KWP).
Ketersediaan dan kualitas air sungai Sibabangun yang baik, menjadi pendukung utama efektifnya kearifan lokal di dua kelurahan bertetangga itu. Produksi panen setiap tahunnya meningkat. Satu kali dalam setahun warga akan menikmati ikan segar. Selain dinikmati, sebahagian hasil budi daya dijual. Hasil penjualan dipergunakan untuk kegiatan sosial dan pembangunan rumah ibadah.
Namun dua tahun belakangan, kondisi itu tidak lagi didapatkan. Produksi ikan melalui pola privatisasi tradisional lubuk larangan anjlok. Menurunnya produksi ditengarai akibat pembuangan limbah oleh pabrik kelapa sawit yang beroperasi di hulu sungai. Kondisi air sungai Sibabangun yang telah tercemar menghambat perkembangan ikan-ikan yang dibudidayakan.
“Realisasi produksi anjlok. Kondisi ini terjadi sejak dua tahun terakhir,” ungkap Ngatino, salah seorang pengurus lubuk larangan di Kelurahan Sibabangun, Kamis (14/10/2021).
Ditegaskannya, pembuangan air sisa proses ke sungai Sibabangun menjadi penyebab utama tercemarnya air. Setiap hari, pabrik pengolah tandan buah segar (TBS) tersebut membuang limbah ke sungai Sibabangun. Kualitas air menjadi menurun yang berimbas terhadap perkembangan ikan. Telur ikan tidak ada yang jadi, kematian benih-benih tidak bisa dielakkan.
“Kualitas air menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan budi daya. Bagaimana mungkin produksi bisa bertambah jika airnya sudah tercemar. Yang ada ya itu, produksinya akan semakin anjlok,” ucapnya.
Senada, Sahrul Nasution, pengurus lubuk larangan di Kelurahan Lumut menilai, kehadiran pabrik kelapa sawit telah melahirkan kerugian yang luar biasa terhadap pola privatisasi tradisional lubuk larangan dan kegiatan konservasi yang sudah dilakukan puluhan tahun. Diduga limbah yang dialurkan ke sungai Sibabangun mengandung berbagai macam larutan dan aneka bahan polutan lainnya. Padahal, sebagai habitat ekosistem bagi ikan, kualitas air yang baik merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya.
“Konservasi yang kita lakukan adalah untuk menjamin ketersediaan air dan keberlanjutannya, sehingga memberikan manfaat secara adil kepada masyarakat, melindungi dan menjamin pemenuhan hak rakyat atas air. Jika limbah sudah di buang ke sungai tersebut, pelestarian dan keberlanjutan sumber daya air tidak akan tercapai,” papar Sahrul.
Menjaga kualitas air sungai Sibabangun agar tetap baik, sekaligus mempertahankan produksi budi daya ikan lubuk larangan, Sahrul yang didampingi pengurus lubik larangan lainnya meminta pihak pengelola pabrik kelapa sawit tidak lagi membuang air sisa proses ke sungai Sibabangun.
“Sebagai kawasan konservasi perairan yang tertuang dalam aturan adat dan kesepakatan masyarakat, kita minta air sisa proses tidak lagi dibuang ke sungai Sibabangun,” tegasnya. (MH)