Jakarta, Demokratis
Idris Laena Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR RI mengatakan, alas hukum atas Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui Konvensi berbeda dengan Ketetapan MPR RI yang mengatur GBHN di dalam UUD 1945 yang asli dimana MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara.
Dan jangan lupa bahwa sesudah amandemen UUD tahun 2002, MPR RI sudah tidak bisa membuat Ketetapan, dan 7 lembaga tinggi negara lainnya punya kedudukan yang setara setelah dihapusnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Sebaliknya Mahkamah Konstitusi sebagai wadah baru diberi wewenang uji judicial review Undang-Undang atas Undang-Undang Dasar yang dibentuk untuk menjamin demokrasi dan check and balances atas UU yang dibuat oleh DPR bersama Pemerintah.
Berbeda dengan Konvensi apabila jika dijadikan hukum oleh MPR RI selain tidak diatur dalam konstitusi, juga tidak diatur di dalam sumber hirarkhi hukum yang diatur dalam perundangan produk DPR RI dan Pemerintah.
“Alasan itulah yang jadi sikap Fraksi Partai Golkar di MPR RI bahwa Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang disiapkan MPR RI sebaiknya diatur berdasar Undang-Undang atau bukan Konvensi,” kata Idris Laena Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI sehari setelah menggelar diskusi Urgensi PPHN saat ditemui di Jakarta, Jumat (9/9/2022).
Dengan alas UU itu pula, ujarnya, terbuka ruang check and balances seiring dengan makin menguatnya masyarakat sipil. Bahwa semua produk Undang-Undang yang dibuat DPR dan Pemerintah diberi ruang diuji di MK.
“Dan kami menolak Konvensi sebab kami menilai akan rawan disalahgunakan dalam tata negara sebab karena 8 lembaga tinggi negara punya kedudukan yang sama setelah MPR sebagai lembaga tertinggi negara dihapus wewenangnya dalam membuat putusan Ketetapan oleh MPR sendiri pada tahun 2002 saat amandemen UUD,” terangnya.
“Jika alasan membuat Konvensi dibuat karena MPR RI bukan sebagai lembaga tertinggi negara. Dan lalu diloloskan sehingga lahir Konvensi, siapa yang menjamin tidak lahir Konvensi baru seperti akan mengatur perpanjangan masa jabatan Presiden,” ungkapnya.
Oleh dikarenakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) I dalam bentuk produk Undang-Undang akan berakhir pada tahun 2025. “Golkar mengusulkan, satukan saja PPHN ke dalam hirarki hukum dengan alas Undang-Undang,” tegas Idris.
Sehari sebelumnya dua pakar hukum tata negara Refly Harun dan Fery Amsari mengatakan, apabila MPR RI mempunyai kewenangan membuat Konvensi sebagai alas hukum PPHN bahwa Konvensi tidak bisa diuji di MK karena MK hanya berwenang menguji UU atas UUD 1945.
“Selain itu, aturan Konvensi ataupun tuntutan kembali kepada UUD yang asli oleh DPD RI akan dapat jadi pintu masuk Presiden 3 periode. Seperti pemberlakuan Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno yang didukung KSAD AH Nasution yang memutuskan kembali ke UUD 1945 dengan menetapkan Soekarno sebagai Presiden penuh yang sebelumnya hanya tukang stempel,” kata Refly.
MPR RI sebelumnya telah menugaskan kepada Badan Kajian MPR RI untuk melakukan kajian perihal substansi atas Pokok-Pokok Haluan Negara sebagai pengganti GBHN dan alas hukum atas PPHN.
Pada pertengahan bulan Juli lalu, Badan Kajian MPR sudah melaporkan hasil kajiannya dalam Rapat Gabungan MPR RI yang selanjutkan akan dibahas di dalam Sidang Paripurna MPR yang dilanjutkan dengan tanggapan 9 Fraksi dan Kelompok DPD RI pada bulan September ini terkait kedudukan PPHN yang akan diatur oleh Konvensi.
“Bagi Golkar jika apabila PPHN ditujukan untuk membuat filosofi haluan negara. Pertanyaannya, apa pembukaan UUD yang sangat filosifis sekali yang dirumuskan pendiri negara, apa masih kurang juga,” kata Idris.
“Kita masih perlu pencerahan dari publik, apakah MPR berwenang membentuk PPHN setelah amandemen UUD. Kami akan bertemu dengan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebelum sikap Fraksi Golkar dibacakan pada Sidang Paripurna MPR nanti,” pungkasnya. (Erwin Kurai Bogori)