Jakarta, Demokratis
Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) bekerja sama dengan Jaringan Positif Indonesia (JIP), Lentera Anak Pelangi (LAP), Yayasan Pelita Ilmu (YPI), UNAIDS Indonesia dan UNICEF Indonesia Gelar Simposium Elimination of Mother-to-Child HIV Transmission (EMTCT).
Aliansi Nasional untuk mengakhiri AIDS pada anak, yang diinisiasi oleh Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Jaringan Positif Indonesia (JIP), Lentera Anak Pelangi (LAP), Yayasan Pelita Ilmu (YPI), UNAIDS Indonesia dan UNICEF Indonesia Gelar Simposium Elimination of Mother-to-Child HIV Transmission (EMTCT). Simposium ini digelar pada hari Senin dan Selasa, 27 dan 28 November 2023 di Royal Kuningan Hotel Jakarta Jl. Kuningan Persada No. 2, RT.1/RW.6, Guntur, Kecamatan Setiabudi, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12980.
Berdasarkan estimasi global yang dikeluarkan UNAIDS, perempuan menanggung beban HIV dan AIDS yang menjadi penyebab utama kematian perempuan usia reproduktif. Perempuan hamil yang mengidap HIV mempunyai risiko lebih besar mengalami komplikasi kehamilan seperti infeksi penyerta termasuk TBC, pneumonia, dan meningitis karena sistem kekebalan tubuh yang lemah.
Memberikan perawatan dan dukungan bagi perempuan yang hidup dengan HIV selama kehamilan, persalinan, dan masa nifas menghadirkan tantangan unik tidak hanya dalam pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA), namun juga bagi kesehatan perempuan itu sendiri. Menurut estimasi global terbaru yang dilakukan oleh UNAIDS, 81% perempuan hamil yang hidup dengan HIV menerima terapi antiretroviral (ART) untuk mencegah penularan vertikal HIV melalui program PPIA dan hanya 52% anak yang hidup dengan HIV menerima pengobatan. Pada tahun 2021, UNAIDS memperkirakan 1.700.000 anak (0-14 tahun) hidup dengan HIV secara global. Anak-anak yang hidup dengan HIV memiliki tingkat pengobatan HIV yang lebih buruk dibandingkan orang dewasa dan mempunyai proporsi komplikasi dan kematian terkait AIDS yang lebih tinggi.
Kasus yang sama juga terjadi di Indonesia, dimana pada tahun 2021, terdapat 19.000 anak berusia 0-14 tahun yang diperkirakan hidup dengan HIV, dan hanya 25% yang mendapatkan terapi antiretroviral untuk menyelamatkan nyawa. Terdapat 2.400 anak yang terinfeksi HIV dan meninggal karena penyakit terkait AIDS pada tahun 2021. Rendahnya akses terhadap pengobatan antiretroviral, ditambah terbatasnya upaya pencegahan, merupakan penyebab utama kematian tersebut. Penularan HIV secara vertikal pada anak dapat terjadi selama kehamilan, persalinan, atau menyusui, dimana seorang ibu yang berisiko tertular HIV belum atau tidak didukung untuk tetap negatif HIV.
Atau jika perempuan hamil positif HIV, mereka kesulitan untuk tetap mengakses perawatan dan pengobatan yang efektif.
Program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PMTCT) merupakan upaya untuk mencegah perempuan usia produktif (15-49 tahun) yang berisiko atau mengidap HIV agar tetap sehat, dan juga untuk mencegah infeksi pada bayinya selama proses kehamilan.
Meskipun program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) telah berjalan di Indonesia sejak tahun 2006, proporsi ibu hamil yang tertular HIV masih tinggi di beberapa kabupaten. Data UNAIDS pada tahun 2021 menunjukkan secara nasional, hanya 15% dari seluruh ibu hamil dengan HIV yang menerima obat antiretroviral untuk mencegah penularan dari ibu ke anak. Di Jakarta, cakupannya bahkan lebih rendah lagi (11%).
Program EMTCT di Indonesia, termasuk mencapai triple eliminasi sesegera mungkin, Aliansi Nasional untuk mengakhiri AIDS pada Anak, yang diinisiasi oleh Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Jaringan Positif Indonesia (JIP), Lentera Anak Pelangi (LAP), Yayasan Pelita Ilmu (YPI), UNAIDS Indonesia dan UNICEF Indonesia menyelenggarakan Simposium EMTCT dengan mengundang pembicara ahli dari kawasan Asia-Pasifik.
Tujuan pertemuan ini untuk memperkuat upaya eksplorasi yang saat ini sedang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, masing-masing dokter dan peneliti dan secara perlahan bergerak menuju rencana peningkatan program EMTCT di Indonesia. Tujuan khusus dari simposium ini adalah:
– Menghilangkan mitos & asumsi umum terkait EMTCT dan implementasinya, di kalangan pemangku kepentingan & pembuat kebijakan, tetapi juga masyarakat luas
– Menyajikan strategi penerapan EMTCT & pembelajaran baik dari negara lain di kawasan Asia-Pasifik
– Mendiskusikan & menyepakati faktor-faktor penentu utama dan langkah-langkah yang mungkin dilakukan ke depan dalam penerapan EMTCT di seluruh Indonesia.
Peserta kegiatan simposium ini bersifat teknis dan akan diikuti oleh perwakilan pemerintah dari Kementerian Kesehatan, dokter & peneliti yang bekerja dalam bidang HIV dan AIDS di Indonesia dan organisasi layanan masyarakat. Jumlah peserta sebanyak 150 orang yang hadir secara langsung dan 100 orang akan mengikuti kegiatan secara tatap virtual/online.
Metode Kegiatan
- Kegiatan ini diadakan dalam pengaturan hybrid, sebanyak 150 orang akan hadir secara langsung/tatap muka dan 100 orang lainnya akan mengikuti secara virtual.
- Narasumber kegiatan berasal dari perwakilan pemerintah, tenaga ahli dari beragam organisasi profesi, perwakilan komunitas serta para peneliti yang berfokus pada isu EMTCT baik dari Indonesia dan juga perwakilan dari dua negara yakni Malaysia dan Thailand.
- Para narasumber menyuguhkan materi-materi penting dan termutakhir berkaitan dengan EMTCT melalui metode paparan dan diskusi panel dengan alokasi waktu 45-90 menit untuk presentasi formal dan 15-30 menit untuk tanya jawab.
- Simposium ini menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Maka dari itu panitia akan menyediakan layanan Interpretasi berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
- Informasi ini lebih lengkap dapat diakses melalui Instagram kami di akun
https://www. instagram.com/emtctsimposium_id/.
Seluruh narasumber dan moderator kegiatan telah didiskusikan oleh panitia penyelenggara dan dipilih sesuai dengan keahlian, peran dan dedikasi bagi kerja penanggulangan HIV pada kelompok perempuan dan anak di Indonesia, penempatan masing–masing narasumber juga telah disesuaikan dengan tema setiap panel kegiatan.
Narasumber merupakan perwakilan dari pemerintah yakni kementerian kesehatan, perwakilan pakar dan ahli kesehatan dari organisasi profesi, perwakilan rumah sakit, perwakilan peneliti, perwakilan mitra pembangunan, dan tentunya perwakilan komunitas. Sementara moderator merupakan perwakilan dari pakar dan ahli, mitra pembangunan serta komunitas yang akan memimpin sesi dengan baik.
Kesenjangan dalam layanan HIV pada ibu dan anak di Indonesia sangat besar. Temuan kasus HIV pada ibu hamil masih rendah sehingga penularan pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV masih terjadi. Perlu upaya komprehensif pengendalian HIV yang memprioritaskan penanganan pada ibu dan anak.
Data Kementerian Kesehatan 2022 menunjukkan besarnya kesenjangan tersebut. Dari perkiraan 5 juta ibu hamil, hanya 58 persen yang mendapatkan deteksi HIV. Dari jumlah itu, ditemukan 0,3 persen atau sekitar 7.100 ibu hamil yang positif HIV.
Kesenjangan berikutnya ditemukan pada jumlah ibu hamil dengan HIV yang mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV). Dari sekitar 7.100 ibu hamil dengan HIV, hanya 24 persen atau 1.700 ibu yang mendapatkan pengobatan ARV. Kondisi serupa juga ditemukan pada layanan pada bayi baru lahir dengan HIV. Akibat penanganan yang tidak optimal pada ibu hamil, penularan pada bayi masih terjadi. Padahal, jika mendapatkan terapi ARV yang optimal, penularan bisa dicegah.
Dalam simposium ini, Kepala Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Hartini dalam Simposium EMTCT (Eliminasi Penularan Ibu ke Anak) di Jakarta, Senin (27/11/23), menegaskan, penanganan perempuan dengan HIV selama ini hanya dipandang sebagai persoalan HIV semata. Akibatnya, intervensi yang diberikan tidak spesifik memberikan layanan yang utuh untuk kebutuhan perempuan dengan HIV.
“”Dukungan yang ada pada isu HIV sebagian besar juga hanya berfokus pada kelompok populasi kunci. Kebutuhan perempuan terkadang menjadi tidak diperhatikan secara penuh,” ujarnya.
Papar Hartini lebih lanjut, perempuan dengan HIV memiliki kebutuhan yang spesifik, seperti akses pada layanan HIV dan ARV, perencanaan dan pencegahan kehamilan ketika tingkat tingkat viral load (jumlah virus dalam tubuh) masih tinggi, serta kesehatan mental dari psikolog dan psikiater. Pengaduan dan penanganan kekerasan berbasis jender juga dibutuhkan. Tidak sedikit perempuan hamil yang terdeteksi positif HIV mengalami kekerasan dari pasangannya, baik kekerasan fisik, psiks, maupun penelantaraan ekonomi.
Dukungan yang ada pada isu HIV sebagian besar juga hanya berfokus pada kelompok populasi kunci. Kebutuhan perempuan terkadang menjadi tidak diperhatikan secara penuh.
Tegas Hartini lagi, dukungan mental juga perlu diprioritaskan dalam penanganan HIV pada ibu hamil. Stigma dan diskriminasi pada pasien HIV yang masih tinggi sering membuat ibu hamil yang pertama kali terdiagnosis HIV tidak mau membuka statusnya. Akibatnya, ia tidak mendapatkan pengobatan yang optimal. Dukungan dari pasangan, keluarga, masyarakat, dan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhannya selama masa kehamilan serta bayinya kelak tidak bisa diberikan.
Kondisi tersebut akhirnya membuat tujuan dari upaya deteksi yang sudah dilakukan tidak tercapai. Deteksi HIV pada ibu hamil amat penting agar kasus HIV pada ibu hamil bisa ditemukan sejak dini. Setelah terdeteksi diharapkan pengobatan bisa segera diberikan dengan baik. Ibu hamil yang mendapatkan terapi ARV sejak dini dapat mengurangi risiko penularan pada bayi yang dikandungnya hingga kurang dari 2 persen, sedangkan yang tidak menjalani terapi bisa berisiko menularkan pada bayinya 20-50 persen.
Sementara itu, Direktur UNAIDS untuk Indonesia Krittayawan Boonto menyampaikan, kesenjangan akses layanan HIV terjadi pula secara geografis. Banyak daerah yang bahkan capaian penapisan HIV pada ibu hamilnya masih di bawah cakupan nasional.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, dibandingkan cakupan penapisan HIV pada ibu hamil nasional yang sebesar 58 persen, penapisan di NTT hanya 19 persen. Jumlah itu merupakan yang terendah di Indonesia. Adapun di Bangka Belitung cakupan mencapai 88 persen yang merupakan tertinggi di tingkat nasional.
Baca juga PPKM Level3, KTJ Pulau Tidung Cek Kartu Vaksin dan Swab Antigen Pendatang
Kesenjangan secara geografis itu juga tampak dari capaian ibu hamil dengan HIV yang memulai terapi. Secara nasional, cakupan pemberian terapi pada ibu hamil dengan HIV sebesar 24 persen, sedangkan di Gorontalo kurang dari 1 persen dan Bangka Belitung hampir 100 persen.
Menurut Boonto, komunitas sangat dibutuhkan untuk mendukung peningkatan layanan pada ibu hamil dengan HIV. Pelayanan berbasis masyarakat lebih efektif untuk merangkul ibu dengan HIV agar bisa mengakses pengobatan dengan baik.
”Komunitas menjadi garda terdepan dalam merespons HIV. Pendampingan ibu hamil dengan HIV oleh komunitas perlu lebih masif dikembangkan agar penanganan HIV bisa lebih baik,” tuturnya.
Pembelajaran dari negara lain, tambah Boonto, juga bisa diterapkan di Indonesia untuk perbaikan layanan HIV pada ibu hamil. Di Malaysia, misalnya, layanan HIV pada ibu hamil diberikan terintegrasi. Layanan untuk kehamilan dan HIV diberikan di lokasi yang sama sehingga stigma dan diskriminasi bisa diatasi. Selain itu, layanan yang terintegrasi di tempat yang sama juga mengurangi beban biaya transportasi serta waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan oleh ibu hamil.
Ketua Tim Kerja Kesehatan Maternal Neonatal Kementerian Kesehatan Laila Mahmudah menyampaikan, pemerintah telah menetapkan peta jalan penanganan HIV, terutama untuk memutus penularan HIV dari ibu ke anak. Sebelumnya, eliminasi penularan dari ibu ke anak pada tiga penyakit menular, yakni HIV, sifilis, dan hepatitis B, ditargetkan tercapai pada 2022. Namun, target tersebut belum bisa terpenuhi sehingga target eliminasi ditetapkan ulang agar bisa dicapai pada 2030.
Sejumlah program nasional sudah disiapkan agar target tersebut tercapai. Misalnya, mewajibkan seluruh ibu hamil mendapatkan pemeriksaan HIV, sifilis, dan hepatitis B pada kunjungan pertama pemeriksaan kehamilan. Apabila terdeteksi positif, ibu hamil tersebut akan melanjutkan perawatan dengan menjalani terapi dan konseling dari petugas kesehatan. Konseling juga akan dilakukan untuk pasangan dan keluarga.
Namun, sejumlah tantangan masih dijumpai. Kebutuhan dasar seperti layanan kesehatan, termasuk jumlah dan kualitas logistik masih terbatas. Sumber daya kesehatan dan upaya perluasan cakupan layanan juga masih belum menyeluruh. Pendanaan di tingkat daerah, baik di provinsi maupun kabupaten/ kota terbatas. Tantangan itu semakin berat dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai pencegahan dan penularan dari HIV, sifilis, dan hepatitis B.
”Namun, upaya meningkatkan cakupan dan kualitas skrining untuk HIV, sifilis, dan hepatitis B pada ibu hamil diharapkan bisa mempercepat capaian eliminasi penyakit tersebut. Kami berupaya agar kolaborasi dan kerja sama lintas program dan sektor bisa berjalan lebih baik juga bisa meningkatkan partisipasi dari publik. Harapannya pada 2030, target eliminasi bisa dicapai,” tutur Laila.
Tampil sebagai pembicara/narasumber dalam simposium ini antara lain :Sdri.Magdalena ( perwakilan dari Aliansi Nasional untuk anak dengan HIV ) ,Krittayawan Boonto ( UNAIDS Country Director For Indonesia ), Dr.dr.MaxiRein Rondonuwu, DHSM, MARS ( Direktorat Jenderal Pencegahan dan pengendalian penyakit(P2P) ), dr. maria Endang Sumiwi,MPH ( Direktorat Jenderal KesehatanMasyarakat ). Prof.dr.DanteSaksono Harbuwono,Sp.PD_KEMO ( Wakil Menteri Kesehatan ), dr. Lovely DaisyMKM, Dr. Anita Suleiman, Dr. Wipaporn Natalie, Dwi Yuliawati Faiz, Panca Wardhana, Meirinda Sebayang, Hartini, Ruth Handayani SKM,MPH, dr. Shafgiq Essejer, Dr. dr. Yudianto Budi Saroyo, So.O.G, Subsp.KFm., Drs. Bdn. Ropina S, SST, MM., Dr. Dina Bu Muktiarti, SpA(K), dr. Ivanna Theresa Seyijanyo, So.OG., MPH., Dr. Salwa, Prof. Irwanto, Ph.D, Prof. Pande Januraga, dan Adi Nugroho, Ph.D. (RY)