Ilmu amat berkaitan untuk mencapai kebahagiaan. Tanpa ilmu tiada bahagia. Hal ini benar adanya.
Dengan mengutip kata Imam Syafii:
Barang siapa ingin bahagia di dunia dengan ilmu untuk bahagia di akhirat dengan ilmu. Kalau ingin dua-duanya yaitu ingin bahagia di dunia dan akhirat hendaklah dengan ilmu. Tinggal lagi klasifikasi ilmu ada ilmu makrifah membawa kabahagiaan dan ada ilmu imitasi zaman yang membawa ketidakbahagiaan.
Ungkapan ini ada yang menyatakan hadist Rasullulah. Namun banyak yang mengatakan bukan hadist tapi ucapan Imam Syafii. Apapun tingkatannya, ucapan ini menarik untuk dikaitkan hal aktual berkenaan indeks kebahagiaan penduduk kawasan Indonesia.
Dari survei Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 10 provinsi baru-baru ini yang indeks kebahagiaan masyarakatnya tinggi. Ada perbedaan kawasan satu dengan lain. Seperti dilansir detik.com, 10 Januari 2022 urutannya adalah sebagai berikut:
Urutan kawasan, yaitu (1) adalah Maluku Utara (2) Maluku (3) Papua (4) Jambi (5) Sulawsi Utara (6) Kepulauan Riau (7) Gorontalo, (8) Papua Barat (9) Sulawesi Tengah dan (10) Sulaweasi Utara. Inilah antara lain mewakili indeks kebahagiaan wilayah yang disurvei. Intinya mengambarkan sekilas episode Indonesia yang luas ini. Yang tertinggi indeks kebahagiaan adalah provinsi Maluku Utara, disusul Maluku, Papua dan seterusnya.
Di antara faktor yang diukur oleh BPS adalah indeks bahagia, kepuasan hidup, perasaan dan sosial. Sebab musabab timbulnya hilangnya bahagia datang dominan dari perasaan dan cara berpikir.
Tentu saja hal ini menarik, meski tingkat survei mengandung esensi subjektif tinggi. Ada apa dan mengapa demikian. Menariknya disebutkan hilangnya bahagia dominan dari perasaan dan cara bepikir. Seperti dinampakkan berpikir bimbang dan gagap yang mempengaruhi indeks bahagia.
Bentuk keresahan memikir bermula dengan bimbang dan gagap. Datang dari stimulus angkatan gagap. Mengambil misal pada wawasan orang Melayu klasik yang bernama wawasan Lebai Malang.
Ya, kita kenal kelompok dimaksud ada kini di masyarakat yang memiliki cara sederhana dan berkelanjutan. Tidak peduli perkembangan luar lingkungan. Mereka memihak pada wawasan sempit, keliru dan menghilangkan atau memanipulasi kebenaran.
Ya itulah social group Lebai Malang. Hidup menurut pemikiran sendiri, mengabaikan asas ilmu politik dan asas agama tanpa diajarkan asas hukum. Lebai adalah pemuka kaumnya, acap muncul di perhelatan, kenduri dan pesta. Malang dengan tiada tuah yang andal untuk kompetitif.
Fenomena klasik ini membawa kegalauan, keresahan, kegelisahan masyarakat. Menampakkan kepalsuan seolah benar. Itulah masyarakat dengan perilaku lain di mulut lain di hati. Yang boleh disebut masyarakat munafik.
Kini dalam bentuknya yang baru identik dengan Buzzer. Yang berperilaku nyinyir. Bikin recok banyak hal, secara terminologi Lebai Malang atau Buzzer bukan orang kaya status, memiliki peringkat keturunan bangsa juga tidak, dan martabat pun kurang. Mereka adalah komunitas seolah-olah, lancung, menjadi dalang sebagai pendukung imitasi zaman. Bangsa yang tidak menjaga martabat.
Agaknya sangat mungkin diselaraskan pengertiannya dengan sang Buzzer, dalang pendukung imitasi zaman, identik dengan istilah Isa Masaaid pemikir Malaysia. Dalam puisi berjudul Melakar Bahtera ia berkata kita sedang diasuh generasi untuk mendakap kepalsuan dengan senyap menajisi benih kebenaran.
Kata mendakap kepalsuan maknanya menjadi pengikut. Ketidakberesan. Sementara ungkapan menajisi adalah mengotori benih atau esensi kebenaran. Kelompok lancung, kelompok pendukung imitasi zaman. Hal ini bisa disimpulkan ilmu tidak berfungsi mencerahkan dan memberi inspirasi menghadapi tantangan zaman.
Dalam kaitan ini pandangan Khalifah Ali bin Abi Thalib tentang ilmu menjadi penting. Ia menyatakan ilmu itu adalah sebagai Lazzatul Makrifah.
Belakangan didefenisikan para ilmuwan menjadi categorization of knowledge. Yang tersistem dari informatioan assimilation of knowledge for detemation of truth (terurai dari informasi, dari ilmu pengetahuan untuk jadi ilmu pengetahuan dan berakhir makrifah (wisdom)).
Ilmu sebagai makrifah mampu menjelmakan kebahagiaan. Sementara ilmu kepalsuan, mengotori kebenaran, dan kecurangan membawa kegelisahan serta ketidakbahagiaan.
Terhadap adanya indeks kebahagiaan berbeda masing-masing provinsi di Indonesia, berdasar paparan di muka, maka ada temuan penting yang dapat kita tarik. Yaitu Ilmu Makrifah, sebagai kebenaran memberi kebahagiaan. Tanpa kebenaran ilmu, yang diarahkan ilmu Makrifah kabahagiaan tidak bisa dicapai.
Artinya kebenaran ilmu memastikan tidak adanya kepalsuan dan kecurangan dan tidak tercampur dengan pengotoran pada kebenaran. Dengan demikian asas ilmu makrifah dan hikmah harus diimplementasikan. Hiduplah bahagia dengan kebenaran. Semoga!
Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta