Peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965 merupakan sejarah kelam bangsa Indonesia. Sejarah itu harus diambil sebagai pelajaran. Di situlah fungsi ilmu sejarah sesungguhnya.
Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa ilmu sejarah sudah mati. Betulkah sejarah itu sudah mati? Kenapa? Kemudian bagaimana pembelajaran sejarah hidup kembali.
Esai ini mencoba memberi analisis berdasar pada konsep sejarah. Yaitu sejarah wawasan ilmu (rational thinking of history), sejarah sebagai penalaran (reasoning of history), sejarah sebagai iktibar, perbandingan (comparative of history) dan sejarah sebagai ibrah, nilai moral (value of history).
Terhadap pertanyaan kedua, bagaimana sejarah diajarkan yang benar, bisa dijawab dengan memberlakukan satu usaha baru. Hal itu didasarkan pada hal berikut:
Pertama, sejarah sebagai ilmu (rational). Para ahli meletakkan sejarah dalam lingkup ilmu sosial. Alasannya karena keberadaannya dalam hubungan antara individu, masyarakat dan masyarakat dan individu.
Bahkan secara khusus Aguste A Comte menjelaskan dalam bukunya History of Biology menguraikan tentang manusia sebagai mahluk berpikir. Comte membentangkan tahap-tahap berpikir manusia dari mitos hingga berpikir ilmu. Intinya sejarah harus diurai secara keilmuan. Kedekatan konsep terletak pada sosiologi dan antropologi.
Kedua, sejarah sebagai sebagai penalaran (reasoning). Mengapa sejarah dikategorikan ke dalam aspek reasoning, karena sejarah itu adalah peristiwa fakta dan logika. Bahkan dalam pepatah Arab disebutkan la kalam wa daal. Tiada kalam (kalimat) tanpa dalil.
Diambil faham, sejarah itu adalah peristiwa dengan fakta yang harus difahami dengan penalaran (reasoning). Pembelajaran sejarah dengan mengaitkan unsur penalaran ada kelemahan. Ada unsur penalaran kadang kala sulit dilakukan. Karena peristiwa masa lalu dan apa adanya sudah begitu (given).
Ketiga, sejarah sebagai iktibar, perbandingan (comparative). Pembelajaran sejarah dengan comparative dilakukan dengan memahami keberagaman secara differential proses intelektual dengan komprehensif (menyeluruh).
Proses ini mengklasifikasi mana yang sama dan mana yang beda. Klasifikasi untuk menarik faham, terhadap peristiwa, maupun fakta.
Apa dan mana yang harus diambil. Adalah berdasar faktor yang membedakan itu. Mengambil iktibar, contoh, pilihan pada yang telah terjadi.
Keempat, sejarah sebagai nilai moral. Faktor moral merupakan ada nilai atau tidak yang diperoleh dengan mempelajari sejarah. Pembelajaran ini lebih sebagai faktor kunci dalam memahami sejarah. Nilai moral, mengambil yang baik dari satu pristiwa dan dijadikan teladan benchmarking. Mari kita coba tarik simpulan empat konsep pembelajaran sejarah inilah harus kita tuntaskan. Maksudnya agar sejarah menarik, berguna alias tidak mati.
Oleh karena itu, perlu reaktualisasi dengan empat pilar pembelajaran sejarah seperti paparan di atas. Yaitu berpijak pada (1) ilmu, (2) penalaran, (3) iktibar dan (4) nilai moral yang secara utuh berkelindan berkesatuan.
Inti maksudnya bahwa pembelajaran sejarah ada mamfaatnya. Dengan kata lain jangan sampai terjadi kita mempelajari tapi tak mengerti untuk apa. Termasuk adakah yang bisa diselesaikan oleh sejarah pada problem yang dihadapi. Pembelajaran sejarah haruslah berguna dalam menghadapi tantangan dan memeberi jalan keluar.
Catatan akhir dengan paparan singkat ini agaknya perlu memberi titik tekan bahwa sejarah dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Namun harus didahului dengan pemantapan konsep sejarah itu dalam pembelajaran.
Dengan menghidupkan peristiwa sejarah masa lalu tentang kebenaran, tentang moral. Kita harus menarik butir peristiwa masa lalu dengan mengambil yang terbaik, membuang yang buruk. Inilah yang dituntut dari semangat ucapan jangan melupakan sejarah. Semoga.
Jakarta, 20 September 2021
*) Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com