Membayangkan Indonesia berkemajuan adalah identik dengan Indonesia yang damai dan sejahtera. Mustahil adanya kemajuan, jika ada konflik di mana-mana, saling sikut, saling menghujat dan semacamnya. Intinya Indonesia itu, konflik, pecah belah dan sikap menghujat itu harus dihentikan.
Lalu berikutnya Indonesia maju itu selain damai juga harus sejahtera. Artinya, damai dan sejahtera kata kunci untuk Indonesia berkemajuan. Bayangkan jika negara kita miskin, ya pastilah tidak ada kemajuan. Contohlah negara tetangga kita Timur Leste sekarang yang jatuh miskin. Ya jauh dari kemajuan. Yang menyebakan terjadi kejahatan kriminal.
Paparan di atas mdengindikasikan bahwa kemajuan berdasar pada perilaku damai dan kondisi sejahtera. Damai muncul dari perilaku yang dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan.
Persepsi perilaku kemanusiaan terbaik berdasar pandangan Islam adalah manusia yang memberi nilai banyak mamfaat atau faedah sejahtera kepada manusia lain. Menurut pandangan Islam itulah peran kemanusiaan yang harus dilakukan manusia.
Bukan sebaliknya dengan berbuat kerusakan, korupsi dan kehancuran. Seperti berita yang menyatakan harta kekayaan pejabat negara mengalami kenaikan di era pandemi Covid-19. Sementara kemiskinan rakyat meningkat (Kompas 7 September 2021).
Padahal salah satu pertanda majunya bangsa adalah kukuhnya perilaku nilai kepribadian yang muncul dari tradisi yang tumbuh dan berkembang sebagai ciri yang membedakan dengan bangsa lain. Kepribadian itu menjadi kebanggaan dan nilai melekat dilestarikan. Tanpa kepribadian tiada progres dan kemajuan. Bahkan bukan Indonesia berkemajuan terjadi tetapi masyarakat masuk jurang.
Karena itu, masyarakat perlu mengikuti petunjuk nilai perilaku Islami yang digambarkan manusia yang memberi rahmat bukan hanya kepada umat Islam tetapi lebih dari itu menjadi rahmat seluruh alam. Itulah disebut kepribadian Islami. Hal itu dipersepsikan sebagai manusia yang sempurna tidak hanya ubudiyah, tetapi banyak nilai lain.
Perilaku kemanusiaan Islam tersebut didukung ahli psikologi Barat yang menekankan peran individu untuk manfaat lingkungan. Menurut Psikolog Universitas Havard Amerika Gordon Allport (1897-1967), kepribadian adalah organisasi sistem raga manusia yang dinamis dalam diri individu yang menentukan penyesuaian individu terhadap lingkungan.
Ini sejalan dengan Carl Gustav (1867-1951) kelahiran Finlandia, mengatakan kepribadian merupakan wujud pernyataan kejiwaan yang ditampilkan seseorang dalam kehidupannya. Tokoh psikologi sosial ini memberi landasan bahwa perilaku kemanusiaan selain wujud orientasi kejiwaan individu namun dalam perwujudan dalam orientasi praktek lingkungam nilai sosial yang ada.
Melengkapi pendapat Alport dan Gustav, seorang pujangga Malaysia Isa Masaid tahun 1930-an yang pro konsep kemanusiaan itu, menyatakan soal kebenaran kemanusiaan seharusnya didukung. Dalam puisinya Melakar Bahtera dia mengatakan kekesalannya. Namun ada saja yang merusaknya. Ia menyebut orang itulah yang “mendakap kecurangan” dengan “menajisi kebenaran”. Mendakap bermakna mendukung. Menajisi bermakna mengotori menjorokkan. Jadi yang terjadi pada masyarakat di bawah penguasa adalah jauh dari yang diinginkan. Demikian Mas Said.
Dengan mengambil faham dari paparan di atas, maka kemanusiaan itu ditentukan (berkorelasi) dengan faktor lain seperti nilai, tadisi, lingkungan, kepribadian kemanusiaan yang tidak mantap atau buruk ada bersama lingkungannya. Lingkungan yang buruk menjelmakan wujud yang buruk juga.
Maka kemanusiaan akan mantap bila kontribusi nilai, tradisi dan lingkungan positif. Sebaliknya kepribadian tidak mantap bila faktor yang mempengaruhi itu negatif. Karena kiri kanan oke. Agaknya bukan keliru dan memang itulah model perilaku kemanusiaan macam ini sedang merajalela dalam masyarakat umum. Sawah tak punya pematang. Tiada bingkai moral. Artinya mencari yang untung, yang mudah, tetapi tidak peduli nilai yang baik, faedah pada orang lain.
Ada sebuah Hadis yang memberi petunjuk agar manusia itu memihak kepada yang baik. Hadis itu bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
Khairunnas yanfaunnas
Manusia yang baik adalah manusia yang bermanfaat untuk orang lain (Riwayat Imam Akhmad).
Sekali lagi itulah keperibadian yang Islami. Itulah pula cita-cita Indonesia yang bekermajuan. Sama sekali bukan golongan yang mendakap (mendukung) kecurangan dan menajisi (mengotori) kebenaran yang tidak peduli dengan ajaran Islam yang menyuruh berbuat baik dan bermanfaat kepada orang lain bahkan seluruh alam lingkungan.
Apa yang kita temukan dengan perilaku saat ini di dalamnya penuh hiruk-pikuk, penuh konflik, hujat sana sini, provokasi pecah belah adalah negatif untuk kemajuan masyarakat berkemanusiaan yang kita dambakan.
Dalam rangka cita-cita Indonesia berkemajuan kita harus menjunjung konsep menjadikan perilaku kemanusiaan yang peduli, menyumbangkan faedah kepada masyarakat dan lingkungan. Semoga.
Jakarta, 30 November 2021
*) Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com

