Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Indonesia dan Netanyahu dalam Konflik Bersenjata Palestina dan Zionis Israel

Awan gelap membalut september 1982, zionis membabi buta brutal. membantai sabra dan katila. darah merah dan air mata menggenangi sabra dan katila. kenyerian sejarah menjadi monumen dalam jiwa. akan senantiasa kujaga dan kupelihara agar tidak melahirkan kemurkaan dan kedurhakaan peradaban. agar bunga-bunga di kemudian hari semerbak mewangi. meski darah terus bergolak dan mendidih ketika mengingat kembali kebrutalan dan kebiadaban yang terus terjadi dan makin menjadi-jadi dipertontonkan di muka bumi. menistakan akal budi dan menyilet-nyilet nurani.

Darah dan air mata kini menggenang lagi. roket, rudal, bom, tank-tank, meriam dan peluru-peluru lainnya membelah kegelapan langit. desingan peluru menghujani al-aqsa dan gaza. mengucurkan darah dan berlimpangan pula nyawa tiada terperikan. pohon-pohon zaitun menggigil menghirup mesiu dan amis darah. hamas berkobar dan zionis membara. benyamin netanyahu dengan garang dan congkak: hamas harus membayar mahal atas peristiwa dan tidak selesai sampai di sini saja. anak-anak dan perempuan tak berdaya kembali dibantai, disiksa dan ditembak seketika. sungguh brutal dan biadab.

Al-aqsa dan gaza berdarah-darah. anak-anak dan perempuan tak berdaya terus diburu, dibantai dengan brutal, disiksa dan dibedil seketika. mereka tak tahu apa-apa tentang kekuasaan dan tak tahu pula untuk apa berperang. mereka juga belum mengerti jika palestina menyimpan catatan sejarah nabi-nabi yang menegaskan bahwa kita adalah khalifatullah fil ardh. untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi.

Al-aqsa dan gaza berdarah-darah. anak-anak kecil dengan tangan-tangan mungil yang gemetar dan bergetar hanya bisa melempari dengan batu kerikil sambil menjerit dan berteriak memanggil-manggil-mu.  allahhu akbar allahu akbar allahu akbar sebelum mati ditembus peluru kebiadaban. mereka, tangan-tangan mungil itu hanya punya air mata dan do’a sebagai senjata. batu-batu kerikil dan selebihnya tak berarti apa-apa.

Aku kini tak bisa lagi untuk berkata apalagi mengucapkan kata-kata karena luka duka tak cukup hanya mengatakan belasungkawa dan sekeras-kerasnya mengutuk kebiadaban yang terkutuk. air mataku habis sudah. engkau pastilah mendengar dan melihat jeritan, ratapan, nestapa dan air mata dari tangan-tangan mungil yang gemetar dan bergetar yang menggenggam batu kerikil karena memanggul senjata tidaklah mungkin.

Hanya engkaulah yang bisa, manakala kekuasaan dan kebiadaban merajalela. batu-batu kerikil dari tangan-tangan mungil yang gemetar dan bergetar yang menyebut nama-mu tak henti-hentinya, tak akan mampu untuk menjaga kesucian al-aqsa dan baitul maqdis, gaza atau yerusalem. maka batu-batu kerikil dari tangan-tangan mungil yang bergetar dan gemetar itu serupakanlah dengan batu-batu yang dilemparkan burung-burung ababil manakala pasukan gajah abraha hendak memusnahkan ka’bah yang dijaga abdul mutholib kakek muhammad pemeluk teguh agama ibrahim sebelum kenabian muhammad menjelaskan ajaran berikutnya atas ayat-ayat-mu.

Umar bin khottob dan saladin al-ayyubi menyulam kembali benang merah yang kusut dan terputus. membawa cahaya-mu ke yerusalem tempat suci. lakum dinukum waliyadin; islam dengan al-aqsanya, yahudi dengan tembok ratapannya dan kristen nasrani dengan gerejanya. mengalun harmonisasi orchestra kehidupan. terdengar lirih dan merdu mendayu-dayu dan angin yang sejuk dan pohon-pohon zaitun rindang dan lebat. air tak beriak menggemericik ke anak-anak sungai kehidupan sebagaimana kodratnya musim. tapi kini, al-aqsa, al-quds, gaza dan yerusalem terus berdarah-darah. kuasa dan kekuasaan terus membara sehingga kebiadaban makin menjadi-jadi dan terus dipelihara. (O’ushj.dialambaqa, Sajak: Al-Aqsa dan Gaza Yang Berdarah, Singaraja, 20.5.2021).

Genosida Untuk Netanyahu

Zionis Israel dalam konflik bersejata dengan Palestina yang menyerang Al-Aqsa, Gaza dan atau Yesusalem dengan sangat membabi buta dan brutal. Kebrutalan Zionis dalam pertempuran dengan Palestina sepeken ini telah dengan sengaja membantai, menyiksa dan membunuh dengan cara yang keji, menembak mati di muka umum terhadap anak-anak, perempuan dan warga sipil lainnya yang tak berdosa, tak bersenjata dan tak berdaya.

Dalih atau yang didalilkan PM Benyamin Netanyahu karena pasukan Hamas bersembunyi di balik warga sipil, sehingga Israel membalas serangan Palestina. Mendalilkan warga sipil dijadikan tameng peperangan menjadi sangat naïf dan terbantahkan dari semua tindakan dan kebrutalan sebagai fakta yang terekam dalam jejak digital (video) yang memperlihatkan pasukan Zionis melakukan pembantaian, penyiksaan dan menembak mati warga sipil di muka umum.

Bahkan kebrutalan yang tak bisa kita ampuni dan tolerir adalah pembantaian, penyikasaan dan menembak mati secara brutal terhadap anak-anak dan perempuan. Anak-anak yang tak mau diusir pasukan Zionis baik di Al-Aqsa, Al-Quds atau di Yesusalem lainnya kemudian dibantai secara keji dan ditembak mati diperlihatkan di muka umum. Padahal, anak-anak tersebut tidak pernah tahu apa itu kekuasaan dan untuk apa mereka berperang. anak-anak itu hanya ingin merindukan kedamian untuk berkumpul secara utuh dengan bapak ibunya dan sanak saudaranya, dan mereka, anak-anak itu tidak mau lagi kehilangan keluarganya yang ditembak dan atau mati karena serangan pasukan Zionis.

Maka dunia internasional harus tersinggung, marah dan harus merasa dipermalukan atas tindakan kebrutalan atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pasukan Zionis atas anak-anak, perempuan dan atau warga sipil yang tak berdosa secara biadab.

Jika saja anak-anak dan perempuan atau warga sipil mati karena terjangan rudal, roket atau peluru-peluru lainnya yang nyasar pada saat pasukan Zionis menggempur pasukan Hamas, dunia tak perlu menggugat dan atau memaksa dunia internasional untuk sepakat dan atau sejutu membawa Benyamin Netanyahu ke Pengadilan Genosida dalam hal kejahatan kemanusiaan yang sangat biadab. Benyamin Netanyahu adalah sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas pembantaian, penyiksaan dan menembak mati anak-anak dan perempuan di tempat yang terbuka diperlihatkan di depan warga sipil lainnya, karena itu sebagai tindakan kejahatan kemanusiaan yang sangat biadab.

Mengapa harus dibawa ke Genosida, karena dalam Konvensi Jenewa 1949, Hukum Kemanusiaan Internasional (IHL) adalah serangkaian hukum internasional yang mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam konflik bersenjata atau perang.

Hukum perang tersebut bersifat universal. Dalam perang, berlaku hukum (ketentuan aturan): (1) Merawat korban luka, sakit, karam, baik mereka kawan maupun lawan. (2) Perlakukan manusiawi terhadap tawanan. (3) Perlindungan terhadap properti dan individu. (4) Menghormati Palang Merah, Bulan Sabit, dan entitas kemanusiaan. (5) Hanya boleh menyerang target militer. (6) Membatasi penggunaan kekerasan, dan (7) Tidak boleh ada penyiksaan fisik dan moral terhadap individu, khususnya ketika ingin menggali informasi dari mereka atau pihak ketiga.

Prinsip dasar hukum internasional atas peperangan adalah pasukan negara agresor dan atau negara yang diperangi (dianeksasi), keduanya berkewajiban harus melindungi keselamatan warga sipil dari serangan pihak musuh atau lawan. Begitu juga pihak negara yang diserang juga harus melindungi keselamatan jiwa raga warga sipil ketika mempertahankan diri. Kedua belah pihak yang bersengketa tidak boleh melakukan pembantaian, penyikasaan apalagi pembunuhan warga sipil dalam peperangan dengan dalih atau dalil apapun juga.

Zionis Israel dalam hal ini telah mengabaikan dan atau melanggar “jus ad bellum” (syarat-syarat berperang yang telah datur dalam hukum perang) dan juga telah melanggar “jus in bello” (tindakan-tindakan yang dibolehkan atau diizinkan dalam keadaan perang). Zionis Isreal telah melakukan tindakan membabibuta, membantai dan penyiksa dan menembak mati warga sipil, terutama terhadap anak-anak dan perempuan yang tak bisa didalilkan dengan dalil apapun juga.

Untuk itu, dunia internasional yang menjungjung tinggi HAM harus dan atau berkewajiban untuk bersikap dan bertindak tegas membawa Benyamin Netanyahu dan para pempimpin Zionis Israel lainnya ke meja Genosida atas kebrutalan dan kebiadaban kemanusiaan sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan yang sangat biadab di Yesrusalem-Palestina yang tak bisa ditolerir logika dan akal waras.

Meja Genosida telah dibuktikan terhadap kejahatan kemanusiaan dalam perang Serbia dan Bosnia pada tahun 1992-1995 dengan vonis 40 tahun terhadap Rodovan Karadzic sebagai orang yang bertanggungjawab atas pembersihan etnis muslim di Bosnia, dan Radko Mladic sebagai Panglima Milier Serbia atas putusan Genosida tahun 2017 divonis hukuman seumur hidup, karena melakukan pembantaian terhadap 8.000 laki-laki dan remaja muslim. Peristiwa di Sebrenica pada tahun 1995 digambarkan sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terburuk di Eropa setelah perang Dunia Kedua.

Begitu juga yang terjadi atas konflik dan perang Palestina dan Israel, karena, pertama adalah Palestina telah bergabung sebagai anngota di Pengadilan Internasional sejak tahun 2015 sedangkan Israel bukan anggota dan menolak yuridiksinya.

Kedua adalah The International Criminal Court (ICC) is an independent judicial body with jurisdiction over persons charged with genocide, crimes against humanity and war crimes (ICC merupakan badan peradilan independen yang memiliki yuridiksi terhadap individual yang diduga melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan atau kejahatan perang).

Dalam statuta Roma 2002, pasal 5 ayat (1), bahwa yuridiksi tindak pidana yang menjadi kewenangan ICC adalah: (1) Genosida. (2) Kejahatan terhadap kemanusiaan. (3) Kejahatan Perang, dan (4) Agresi.

PM Benyamin Netanyahu sebagai pemimpin sudah sangat sempurna untuk bisa dibawa ke meja Genosida yang diperkuat dengan pernyataan terbukanya yang mengatakan: bahwa Hamas harus membayar mahal atas peristiwa ini dan tidak selesai hanya sampai di sini. Pernyataan Benyamin Netanyahu tersebut kemudian dibuktikan dengan tindakan pasukan resmi Zionis Israel dalam melakukan pembantaian, penyiksaan dan menembak mati anak-anak, perempuan dan warga siplil di muka umum yang tak berdaya, yang secara perikemanusian tindakan tersebut merupakan kebiadaban dan kebrutalan kejahatan kemanusiaan yang dilegitimasi oleh pemimpin (pemerintah) Israel, yaitu Benyamin Netanyahu sebagai PM Israel.

Benyamin Netanyahu dan para pempin lainnya juga harus dibawa ke Mahmakah Internasional, karena dengan sangat sempurna apa yang dilakukan pasukan Zionis Israel dalam melakukan kebrutalan yang biadab atas nama perang untuk membunuh dan atau menembak mati warga sipil yang tak berdosa dan tak berdaya seperti yang terkandung dalam unsur pasal 5 ayat (1) Statuta Toma 2002 tentang genosida.

Ketiga adalah pernyataan Jaksa ICC (International Criminal Court) atau Mahkamah Pidana Internasional, Fatoa Bensouda yang dialansir AFP (Sabtu, 6/2/2021, detiknews), ICC mengatakan, bahwa para hakim telah memutuskan secara mayoritas, bahwa yuridiksi teritorial pengadilan atas situasi di Palestina diperluas ke wilayah yang diduduki Israel sejak tahun 1967, yaitu Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Keputusannya bukanlah keputusan tentang “kenegaraan” Palestina, tetapi posisi Palestina sebagai anggota di bawah statuta Roma yang didirikan oleh ICC.  Jaksa Fatoa Bensouda memperoleh temuan pada Desember 2019 bahwa “kejahatan perang telah atau sedang berlangsung di Tepi barat, termasuk di Yerusalem Timur dan Jalur Gaza.”

Kita di Mata Dunia

Politik luar negeri kita yang bebas dan aktif dalam tahun 80-an dipandang dunia internasional masih sangat berpengaruh untuk bisa memainkan perdamaian dunia di banyak konflik negara-negara belahan dunia, termasuk dalam forum DK. PBB untuk ambil bagian dalam perdamaian dunia dan mengirim pasukan perdamaian yang benama Kontingan Pasukan Garuda (KPG).

Keikutsertaan kita dalam menjaga atau mewujudkan perdamaian dunia sudah dimulai sejak tahun 1957 dengan mengirim KPG untuk perdamaian Timur Tengah antara Mesir dan Israel. KPG 1961 dan 1963 untuk  Kongo. KPG 1973-1975 untuk Vietnam. KPG 1989 untuk Irak. KPG 1989 untuk Namibia. KPG 1992 untuk Kuwait. KPG 1993 untuk Kamboja dan Somalia. KPG 1993-1996 untuk Bosnia. KPG 1997 untuk Macedonia. KPG 1997 untuk Slovania. KPG 1995 untuk Kroasia. KPG 1977 untuk Reblaka. KPG 1994 untuk Mozambik. KPG 1999 untuk Philipina. KPG 1998 untuk Tajikistan. KPG 1999 untuk Sieralion. KPG 2002 untuk Kongo. KPG 2004 untuk Liberia. KPG 2006 untuk Sudan dan Lebanon. KPG 2007 untuk Nepal, dan KPG 2008 untuk Unamed.

Sungguh mencengangkan, kini posisi politik luar negeri kita yang bebas dan aktif akhir-akhir ini dalam pergaulan dunia internasional hanya menjadi pelengkap penderita. Begitu pula dengan konflik dan perang Palestina dan Israel yang membara kini kita hanya sebagai pelengkap penderita saja. AS dan Eropa semakin mengambil jarak dengan kita, jika tidak boleh dikatakan kita makin dijauhkan dalam pergaulan dunia internasional. Hal ini bisa kita pahami, mengapa demikian?

Dalam perkembangan politik Istana belakangan ini, dalam kebijakan ekonomi politik dan politik ekonomi, kita lebih mendekat ke China yang komunis, bahkan bisa dikatakan bahwa politik ekonomi dan ekonomi politik yang menjadi kebijakan Istana adalah mengulang politik rezim Soekarno; Indonesia poros Peking (ke-2).

Hal yang demikian sebagai fakta yang tak bisa terbantahkan, bisa kita lihat dalam data statistik  investasi yang masuk ke kita yang terbesar adalah dari China dibanding negara-negara Eropa dan Amerika, termasuk dalam neraca perdangan, dan barang-barang impor yang masuk ke kita yang lebih besar dari China.

Bahkan TKA China tak terkendalikan, menyerbu lapangan kerja anak-anak bangsa, yang memang menjadi hal yang logis sebagai konsekuensi, karena semua harus dari China; investasinya dari China, industri yang dibangun kontruksi dan tenaga ahli maupun buruh kasarnya dibawa dari negeri asal investornya. China dengan TKA-nya menjadi problem sosial politik kita akhir-akhir ini.

Kebijakan politik ekonomi dan ekonomi politik kita yang poros Peking-China (dalam era Soekarno dikenal dengan Indonesia Poros Peking) dipandang oleh Amerika dan Eropa menjadi ancaman stabilitas politik dunia, karena China dengan sistem ideologi komunisnya masih menjadi ancaman bagi kehidupan demokrasi. Kita dengan negara-negara Eropa dan Amerika sama-sama menganut sistem demokrasi, sehingga tidak menjadi gesekan atau ancaman bagi dunia.

Sebagai konsekuensi logisnya, kita mengalami kesulitan untuk meminta bantuan pinjaman (hutang luar negeri) untuk mengatasai ketidakpastian ekonomi yang diakibatkan oleh banyak variable, yang tidak saja karena imbas dari pandemi corona. Variabel lainnya adalah pertumbuhan ekonomi yang masih minus, APBN yang defisit dan hutang luar negeri yang makin membelit. Eropa dan Amerika yang menjauh, pada akhirnya Istana mau tidak mau makin merapat ke China, dan jatuh dipelukan China yang komunis.

Istana poros China juga ternyata berimplikasi pada sikap negara-negara Timur Tengah. Maka, kita dalam konflik Palestina dan Israel dianggap angin lalu dan sebagai pelengkap penderita saja, sekalipun Presiden Jokowi atas nama bangsa Indonesia mengutuk keras tindakan Israel terhadap Palestina.

Tidak hanya itu, negara-negara Timur Tengah, kini nyata-nyata menjauhkan kita dalam pergaulan dunia negara-negara yang mayoritas muslim. Hal ini terbukti dari 34 negara mayoritas muslim dalam aliansi militer, Indonesia dan Iran tidak diakui atau tidak masuk dalam aliansi militer negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Jika kita masih punya muka, sikap negara-negara Timur Tengah tersebut merupakan pukulan yang amat sangat mempermalukan kita.

Implikasi lainnya, tentu akan mempengaruhi banyak hal dalam hubungan antarnegara Timur Tengah yang dulu sangat mesra sekali. Jika Istana terus berlanjut membangun oligarki ekonomi dan politik dengan poros Peking-China, berarti kita telah gagal memposisikan diri kita sebagai Negara Bon Blok. Fakta sosial politik dan ekonomi politik, kini kita menjadi negara Ngeblok atau negara blok China komunis.

Jika Iran tidak dimasukan dalam aliansi negara-negara mayoritas muslim, tentu bisa kita memahaminya, sebab Iran dengan Syahnya dianggap bukan Islam, sehingga Iran tidak dianggap negara mayoritas muslim (Suni), sedangkan kita mayoritas Islam (Suni), tetapi tetap tidak dimasukan dari daftar negara-negara mayoritas muslim. Fakta sosial politik tersebut adalah sebagai bukti bahwa kita telah dijauhkan dari negara-negara mayoritas berpenduduk muslim, terutama negara-negara Arab.

Tentu, itu semua karena kebijakan politik ekonomi dan ekonomi politik Istana berporos China. Kita tahu bahwa negara-negara Kawasan Teluk, terutama Arab Saudi  kini bergandengan dengan AS, sehingga kebijakan Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh atau dominasi pandangan politik AS.

Fakta dan realitas sikap negar-negara di Timur Tengah tersebut juga bukan tidak berimplikasi pada politik luar negeri kita yang bebas dan aktif yang pada akhirnya suara kita tidak lagi didengar atau tidak mempunyai wibawa lagi. Dalam hal ekonomi, kita juga semakin sulit untuk bisa meminta bantuan negara-negara Timur Tengah yang kaya, yang disebut sebagai negara-negara petro dollar. Lebih celaka, jika di kemudian hari kita juga dikeluarkan dari OKI (Organisasi Kerjasama Islam) yang saat ini beranggotakan 57 negara, termasuk negara kita.

Negara-negara yang tergabung dalam aliansi negara-negara mayoritas muslim yang berjumlah 34 negara tersebut juga akan menghadapi batu sandungan. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin Amerika tidak berpihak ke Zionis Israel, karena Amerika juga menjalin kerjasama teknologi persenjataan dengan Israel. Begitu juga sebagian negara-negara Kawasan Teluk juga menjalin kerjasama ekonomi dengan Israel seperti yang kita uraikan di muka. Apakah mungkin bisa sepenuhnya membantu dan melindungi Palestina dari agresi atau aneksasi dan gempuran Zionis Israel yang biadab itu?

Kedua varibel posisi Amerika tersebut, tidak memungkinkan ke-34 negara yang beraliansi militer tersebut tidak dintervensi Amerika, sekalipun Turki dengan Recep Tayyip Erdoğannya menyatakan perang dengan Amerika, tetapi apakah ketika membuat kebijakan dan keputusan bersama dalam 34 negara yang tergabung itu dalam membantu menyelesaikan konflik Palestina dan Israel tidak tarik menarik dan atau tidak terhalang oleh kepentingan politik Amerika yang berpihak ke Zionis Israel apalagi Amerika memegang senjata ampuh di DK PBB dengan hak vetonya.

Secara logika dan akal waras, aliansi militer ke-34 negara mayoritas muslim tersebut untuk seia sekata dalam menghadapi Zionis Israel untuk melindungi dan atau membebaskan Palestina dari cengkraman dan gempuran Zionis dan untuk mewujudkan negara Pelestina merdeka dan berdaulat masih menjadi pertanyaan yang mendasar, mungkinkah?

Yang memilukan bagi kita sebagai bangsa dalam konflik dan situasi perang Palestina dengan Zionis Israel, kita telah kehilangan wibawa di mata dunia, sehingga politik bebas dan aktif yang seharusnya bisa memgambil peran strategis dalam perdamaian dunia, kini kita dianggap sebagai pelengkap penderita yang disebabkan Istana mengambil sikap politik berporos China (yang komunis), Eropa-Amerika dan negara-negara Timur Tengah sangat tidak menyukai, karena China dengan sistem komunisnya masih menjadi ancaman bagi negara-negara yang bersistem demokrasi.

Pernyataan Menlu Retno Marsudi sebagai delegasi untuk menyuarakan Indonesia di forum DK PBB pada Kamis, 20/5/2012 di markas besar DK PBB di New York AS pada sidang pleno ke-67 membahas dua agenda, yaitu agenda 37 membahas situasi di Timur Tengah  dan agenda 38 membahas situasi Palestina.

Pernyataan Indonesia yang disampaikan Menlu Retno Marsudi sangat tidak serius, karena kalimat mendukung Palestina merdeka hanya sebagai pernyataan atau kalimat pelengkap penderita. Kita hanya menyuarakan dalam hal 3 (tiga) hal, yaitu, Pertama, agar Majelis Umum PBB dapat menghentikan kekerasan dan aksi militer untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban jiwa. Menyerukan gencatan senjata segera yang langgeng dan harus dihormati semua pihak. Agar Majelis Umum PBB membentuk sebuah tim internasional, atau international presence, di Al-Quds atau di Yerusalem untuk mengawasi dan memastikan keselamatan rakyat di wilayah pendudukan dan untuk melindungi status komplek Al Haram Al Sharif, tempat suci tiga agama.

Kedua, agar Majelis Umum PBB memastikan akses kemanusiaan dan perlindungan rakyat sipil. Menyerukan kepada Majelis Umum PBB bersama badan PBB terkait dan pihak lain untuk meningkatkan upaya bersama dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Palestina yang terdampak. Seluruh badan tersebut harus menyerukan agar Israel membuka dan memberikan akses pengiriman bantuan kemanusiaan, termasuk ke Gaza yang telah berada dalam blockade selama lebih 13 tahun.

Ketiga, Majelis Umum PBB harus mendorong dimulainya kembali negoisasi multilateral yang kredibel. Saya menyampaikan bahwa negoisasi yang kredibel sangat penting dalam memajukan perdamaian yang adil dan komprehensif berdasarkan two-state solution. Majelis Umum PBB memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan agar negoisasi perdamaian dapat dilakukan segera. Jika pemukiman ilegal terus dilakukan, pengusiran warga Palestina terus berlanjut dari wilayah Yerusalem, maka isu Yerusalem yang harus dirundingkan menjadi tidak bisa dirundingkan karena de facto telah dikuasai oleh Israel. Oleh karena itu saya menekankan semua tindakan Israel yang bertentangan dengan hukum internasional dan semua ketidakadilan harus dihentikan. Kita harus terus memberikan dukungan bagi keadilan dan kemerdekaan Palestina (Liputan 6, Kamis, 21/5/2021.12:57 WIB).

Pernyataan Istana yang disuarakan Menlu Retno Marsudi di DK PBB tersebut tidak lagi sekuat dulu. Kita tidak lagi dengan tegas mendukung Palestina untuk segera mendapatkan pengakuan dunia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Menlu Retno yang mewakili Istana sangat tidak sensitif terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Israel, bahkan dengan jelas tidak peduli, apalagi mau bicara soal genosida. Karena itu tidak disinggung sama sekali apalagi hendak menggarisbawahi pentingnya genosida seperti Istana terhantui pelanggaran HAM 1998 dan pelanggaran HAM lainnya, yang faktanya tak dipedulikan juga di dalam negerinya.

Bahkan yang sangat tidak bisa kita pahami, justru Istana menolak dan atau tidak menyepakati agenda baru pembahasan tentang genosida dalam forum DK PBB. Indonesia berada pada urutan 15 negara yang menolak agenda pembahasan bersama China, Korea Utara, Rusia, Kyrgyztan, Nicaragua, Zimbabwe, Venezuela, Burundi, Belarus, Eritrea, Bolivia, Mesir, Kuba, dan Suriah, sedangkan 115 negara lainnya memberikan suara mendukung, dan 28 abstain.

Sidang Umum PBB berlangsung selama dua hari, Senin, 17/5/2012 dan Selasa, 18/5/2021, dengan tajuk: “The Responsibility to Protect (R2P) and the prevention of genocide, war crimes, ethnic cleansing, and crimes against humanity’ adalah bagian dari agenda formal sidang ke-75. Agenda tersebut membahas soal kewajiban negara-negara untuk menjaga dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang justru kita menolak agenda pembahasan tersebut.

Alasan politik Istana menolak resolusi R2P (Responsibility to Protect) terlampau sepele dan tidak argumentatif, naïf, aneh bin ajaib, karena yang dikedepankan adalah alasan bahwa resolusi R2P yang dihasilkan pada KTT Dunia 2005 sudah dibahas dalam Sidang Majelis Umum PBB sejak 2009 di bawah mata agenda bernama Hasil dari KTT Dunia 2005.

Australia dan Gana pada 2017 justru meminta supaya R2P dimasukkan dalam agenda tambahan secara khusus dengan komitmen hanya berlaku setahun namun diperpanjang sampai tahun lalu. Hingga akhirnya, tahun ini muncul permintaan R2P dijadikan agenda tetap tersendiri, terlepas dari agenda Hasil dari KTT Dunia 2005. Alasan Australia dan gana tersebut tentu bisa kita pahami, karena situasi sosial politik dunia tidak stagnan, bahkan menunjukkan adanya dinamika yang kadang drastis dan dramatis yang menyulut potensi konflik baik internal maupun antarnegara. Hal yang demikian tak disadari oleh Istana dalam gesekan politik global.

Bagi Indonesia, sudah jelas yang namanya R2P adalah mandat atau amanah KTT Dunia tahun 2005 di mana harus dibahas dan agendanya sudah ada. Jadi kita merasa lebih baik dibahas di agenda yang sudah ada seperti sejak tahun 2009. Apologianya menjadi amat absurd dan anif.

Yang terbaca dengan gamblang adalah ketakutan kita terhadap gugatan HAM yang selama ini terus terjadi. Bukankah jika resolusi R2P tersebut diagendakan dan dibahas setiap tahun karena ada dua hal yang memang harus dunia internasional bisa pahami, yaitu, pertama karena fenomena dunia konflik, kapan saja bisa terjadi, yang dipicu oleh berbagai variable, misalnya, kecenderungan otoritarianisme dan  konflik atau sengketa kawasan antarnegara, seperti soal laut Cina Selatan, China-Taiwan, Myanmar, Suriah, Libya, Yaman dan masih banyak lagi negara di belahan dunia yang hingga kini dilanda konflik kekuasaan, termasuk antarnegara.

Hal yang kedua, karena kita sungguh-sungguh punya komitmen terhadap antikekerasan dan mencegah terjadinya genosida; kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang dipicu sentimen agama (berbunuhan atas nama jihad, agama, atau dalam istilah lainnya) maupun berebut (ke)kuasa(an).

Justru Istana harusnya sangat mendukung jika negara-negara anggota PBB memutuskan untuk memasukkan R2P dalam agenda tahunan Majelis Umum PBB. Selain itu, resolusi R2P juga secara resmi meminta agar Sekretaris Jenderal PBB melaporkan setiap tahun tentang topik tersebut. Ternyata, bukan responnya gayung bersambut, tetapi justru kita menolaknya dengan kenaifan dan keabsurditasan logika dan akal waras.

Negara-negara Arab makin menjauhi kita. Amerika dan Eropa juga menjauhi kita. Intana hanya bisa mengutak-atik pajak buat rakyat kecil semata, yang konglomerasi dan para oligar ekonomi dikasih bonus amnesti pajak. Perekonomian kita makin dalam ketidakpastian. Hutang luar negeri makin membelit kita. Resiko politiknya akhirnya rakyat juga yang nanggung. Kita jatuh kembali pada pelukan China yang komunis setelah rezim penguasa Soekarno membuat Indonesia poros Peking menjadi bencana bagi kehidupan sosial kita.

Jika kita mengulang dan atau melanjutkan sejarah poros Peking atau sekarang namanya Indonesia poros China (yang berarti jilid 2) di tangan Jokowi, pastilah stabilitas politik akan bergejolak dan bergolak, dan potensi berdarah-darah akan terulang lagi, karena bagaimanapun China akan menginfiltrasi ideologi komunisnya untuk merontokkan sistem demokrasi yang kita anut dalam bernegara, sekalipun China yang komunis itu sudah dikatakan Komunis Kapitalistik. Itu hanya sekedar politik permukaan saja. Sistem ekonominya bisa bergeser ke kapitalistik, tetapi ideologi komunisnya tidak akan berubah; sistem mono partai dan mono kekuasaan, kekuasaan tunggal yang otoritarian, yang itu bertolak belakang dengan demokrasi.

Dengan kita tidak masuk dalam aliansi militer ke-34 negara tersebut. Kita bisa memahami untuk menereima itu semua sebagai konsekuensi logis, karena apanya yang mau diharapkan, kekuatan ekonomi negara morat marit dan terbelit hutang. Kemampuan teknologi tinggi nol. Pengaruh politik luar negeri bebas dan aktif kita juga ambruk di mata dunia. Kita hanya sebagai pelengkap penderita dalam forum Majelis Umum PBB.

Kebijakan politik ekonomi dan ekonomi politik kita lebih mesra dengan China yang komunis, yang menjadi ancaman bagi negara-negara demokrasi. Semua itu ada resiko dan konsekuensi logisnya. Sadarkah Istana dengan itu semua, bahwa kita sudah jatuh dalam pelukannya. Tinggal nunggu bencana jika Istana membangun Indonesia poros China komunis. ***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles