Memuja sang imam besar, menyembah ideologi khilafah, bersujud pada gairah politik, bersikeras pada satu tafsir teologis. Ini satu contoh bahwa penganut ajaran monoteisme (dalam hal ini Islam) bisa tergelincir pada pemikiran dan praktik yang politeistis.
Ketika Islam sudah cenderung politeistis, maka universalitasnya memudar. Ia berstrata, berkasta, rasis, bigotri dan menjadi agama yang cenderung sebagai ortodoksi, alih-alih sebagai ortopraksi.
Para pemimpin, atau pemerintah; bersimpuh di hadapan tahta, pemuja penggusuran, perampasan tanah adat, perusakan alam, juga teror dan pembunuhan. Ini contoh lain, bahwa ortodoksi sudah tak lagi berguna. Yang ada: eksploitasi.
Bukan hanya mereka, kita pun bisa terjebak pada kekeliruan semacam itu. Sepanjang perjalanan ber-Islam kita, setiap saat, kita bisa secara sadar atau tidak, merasa telah muslim, padahal memiliki banyak Tuhan.
Monoteisme meyakini satu hakikat, satu sumber, dalam kepusparagaman realitas. Yang lebih diutamakan yakni pengetahuan bahwa kita berasal dari entitas tunggal. Akhirnya, ia tidak terjebak pada perbedaan, tetapi melampauinya—setiap perbedaan selalu dipantulkan pada kesamaan.
Politeisme, sebaliknya: mengimani banyak realitas, tetapi juga yakin bahwa tidak ada satu sumber pada tiap realitas itu. Setiap perbedaan, selalu berasal dari dirinya masing-masing. Ia terjerembap pada perbedaan, tetapi gagap mencari kesamaan. Intoleransi menjadi konsekuensi logis dari politeisme.
Puncak intoleransi, puncak politeisme adalah Fasisme. Di sini, konsep monoteisme sedikit memiliki kesamaan dengan ideologi Liberalisme, Marxisme, dan Anarkisme dalam hal menolak hierarki dan otoritas kuasa, demi menuju satu tujuan: kemerdekaan manusia.
Tapi berbeda dengan ketiga ideologi itu, pancang monoteisme bukanlah manusia. Apa yang ditawarkan para rasul Allah, bukanlah ideologi humanisme di dalam dunia modern. Humanisme yang dibawa filsuf ini cenderung ateistik.
Para rasul dan para nabi membawa sesuatu yang lebih canggih dari humanisme. Allah mungkin tahu, bahwa humanisme berpotensi menjadikan seorang manusia menyembah manusia lain atau bahkan ia menjadi tuhan itu sendiri (homo deus).
Lalu datanglah: ajaran tauhid. Kaum ateis sering sinis dan menganggapnya sebagai ajaran non-humanis. Mereka sering merujuk peristiwa Ibrahim yang hendak membunuh anaknya, Ismail. Itu peristiwa tidak manusiawi, katanya. Padahal kita tahu itu tidak terjadi.
Ismail diganti kambing. Dan kambing dimakan manusia. Ini memberitahu kita tentang sebuah konsep yang berkata bahwa manusiawikanlah manusia, tetapi jangan menyembahnya, tetaplah sembah Aku, dan hanya Aku. Humanisme bisa jatuh pada politeisme karena menyembah manusia, karena humanisme bersifat antroposentris.
Monoteisme mengajarkan manusia agar tunduk pada Tuhan Yang Satu. Tidak ada tuhan-tuhan lain: harta, ras, benda, jabatan, status sosial, kelas sosial, ideologi, bahkan manusia itu sendiri. Inilah warisan sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad.
Namun, sepanjang perjalanannya, setiap umat dari ajaran masing-masing, kerap mengalami penyimpangan. Hal tersebut terjadi karena mereka kurang pemahaman atau karena para pseudo-agamawan mereka memelintir ayat-ayat ajarannya. Akhirnya, apa yang semula ajaran monoteisme, telah berubah secara fundamental menjadi politeisme.
Tapi, seperti nubuat Nabi Isa—sesaat sebelum rencana penyaliban—tentang akan datangnya nabi baru bernama Ahmad, yang mana ajarannya akan terus meluas tanpa henti. Itu Islam. Ajaran yang dijaga langsung oleh Allah, sehingga ia tidak akan menjadi ajaran politeisme sampai kapan pun. Dasar ajaran Islam akan selamanya monoteisme.
Dasar ajaran memang tetap kokoh. Saya percaya. Persoalannya, pada praktik beragama itu sendiri. Berhala-berhala masih ada.
Ketika Tuhan mengutus angin; membuat kaum ‘Ad, kaum Nabi Hud, bergelimpangan bagai pokok-pokok pohon kurma yang lapuk, berhala-berhala yang lain masih hidup. Di Damaskus, mereka kemudian dihancurkan Nabi Ibrahim—membuat Sang Nabi digiring kaumnya ke tengah api, meski pada akhirnya kita tahu, api seketika mendingin.
Di Mekah, saat langit jernih dan bercahaya, Nabi Muhammad pun lahir. Konon, Tasik Sava atau semenanjung yang dianggap suci oleh orang Persia, tenggelam ke dalam tanah. Bumi bergetar, dan berhala-berhala yang terpacak di sekitar Ka’bah pun jatuh bergelimpangan.
Meski demikian, selepas Baginda Muhammad mangkat, berhala-berhala yang lain lagi, masih saja berdiri. Yang hancur adalah berhala-berhala dalam wujud materiel. Barangkali beginilah: runtuhnya berhala-berhala materiel hanyalah peristiwa permukaan. Tuhan, rasul, dan nabi, tampak punya target penumbangan yang lebih utama selain berhala materiel.
Penumbangan berhala materiel, saya pikir, tidak serta merta diartikan sebagai pertarungan antara tuhan tampak dan Tuhan tidak tampak. Lebih dari itu, ia punya konteks peristiwa kemanusiaan.
Berhala materiel dirobohkan karena ia menjadi alat manipulasi sekelompok pseudo-agamawan dan umatnya. Mereka melakukan serangkaian tindak dehumanisasi: perbudakan, kapitalisasi atau riba, pembunuhan bayi perempuan, monopoli sumber daya alam, dan sebagainya.
Maka, sesungguhnya, berhala yang ditumbangkan ada pada hati dan pikiran manusia itu sendiri. Itulah berhala primordial, yang inti, yang tak kasat. Dan itulah jenis berhala yang masih ada bahkan, naas, ketika zaman tak lagi punya utusan paling suci.
Praktik politeistis membuat ia (Islam), ajaran yang seharusnya membebaskan dan mencerahkan, malah jadi membelenggu dan menggelisahkan. Islam, di situ, telah kehilangan kekuatan untuk memberi.
Kekuatan memberi adalah kemampuan memaklumi, menghargai, memaafkan, mencintai, mengalah, berempati, bersimpati, bertutur lembut, berlaku adil, bersikap jujur, juga bersabar, dan segala hal yang humanis, toleran, yang mencuat ke luar dari dalam diri kita (memberi), demi menjalin hubungan mesra bersama orang lain. Bukan sebaliknya: kekuatan untuk menunggangi atau memanipulasi demi kepentingan pribadi (mencuri).
Cara ber-Islam kita masih belum beres. Setiap hari, jam, menit, bahkan mungkin detik, tali kekang kita yang menjulur ke langit dan yang terpaut dengan Sang Esa, seringkali putus. Ada atau bahkan saat tanpa rasul dan nabi, manusia tetap bisa goyah. Ini problem mendasar: karena kita manusia, bukan menjangan atau bunga, bukan air atau tanah.
Manusia senantiasa punya potensi untuk membelot. Ia punya ide. Ia bisa mencipta tafsir. Kemerdekaan yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan yang bisa membawa kepada kebaikan, tetapi juga keburukan. Berbeda dengan para hewan, tumbuhan, air maupun bebatuan yang hanya punya kemampuan menerima, dan karenanya senantiasa tunduk dalam gerak kepolosannya, tenggelam dalam ketundukkan abadi kepada Yang Esa.
Sebelum Adam turun dan mengajarkan kepada keturunannanya tentang tauhid, seekor katak sudah lebih dulu menyembah Allah. … dan telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih … Begitulah selarik firman Allah dalam Al-Anbiya, 79.
Ketika di setiap zaman, para rasul dan nabi di turunkan demi membenahi umatnya, katak masih konsisten berzikir. Ketika umat Islam menyembah banyak tuhan, katak masih menyembah Tuhan Yang Satu.
Ketika umat Islam bertutur dan berlaku buruk, katak masih terus mengucapkan nama-Nya dan beribadah. Katak setia pada-Nya, selamanya. Sedang manusia bisa abai kapan saja pada-Nya.
Itulah alasan mengapa doa meminta tuntunan masih diperlukan, sebab manusia bisa kapan saja tersesat. Dan itulah bukti bahwa firman Tuhan dan sabda nabi tidak sekadar dokumentasi masa lampau atau semacan catatan yang termaktub beku dalam mushaf. Firman Tuhan dan sabda nabi masih berdenyut, bergerak, meluas…
Tuhan dan nabi masih berhadap-hadapan dengan manusia, masih berbicara langsung kepada manusia, sekarang dan seterusnya, melintasi zaman demi zaman ke depan. Ia mungkin akan berhenti: saat semua hati dan pikiran manusia khusyuk seperti batu, bening seperti telaga—menjadi muslim sejati. ***